Sabtu, 30 Mei 2009

BUKU LKS... BISNIS YANG MENJANJIKAN

Belajar tanpa guru mustahil. Belajar tanpa buku, hasilnya bakal nihil. Ini kira-kira petuah yang cocok diberikan kepada siswa. Meski ada satu dua pengecualian. Di jaman yang mulai berbau kapitalis, segala sesuatunya hampir tak lepas dari perhitungan ekonomi. Pekerjaan, pengadan jasa dan barang tak luput dari hitung-hitungan rupiah. Tak hanya pengusaha yang segala gerak-geriknya dihitung bagaikan pulsa berjalan yang setiap detik berharga rupiah. Para pejabat, buruh, dokter, wakil rakyat dan berbagai pelayanan jasa tertular virus materialistis. Bahwa untuk mencapai kesuksesan yang sekarang diraih, dulu diperoleh dari kerja keras, pengorbanan, pengabdian, relawan sebagai tim sukses bahkan harus setor upeti agar lancar bertransaksi dan meraih posisi. Sekarang waktunya balik modal.

Dari berbagai kesempatan penulis mengikuti kegiatan guru tingkat regional maupun nasional, banyak diperoleh informasi berkaitan pengadaan buku dan lks. Pengadaannya kebanyakan ditangani pemerintah daerah, dinas pendidikan, MKKS ataupun panitia lokal sekolah. Masih mending kalau pengadaan lks ditangani pemda dan bersifat gratis. Siswa tinggal menerima LKS yang sudah dialokasikan dalam APBD. Tetapi kalau pengadaannya ditangani dinas pendidikan atau MKKS dan sekolah hanya terima jadi, dikirimi buku dan harus setor pembayaran ke pekabat terkait hal ini akan menjadi preseden buruk bagi dunia pendidikan.

Bagaimanapun juga dalam pembelajarn buku dan LKS masih diperlukan. Guru mempunyai hak prerogratif untuk menentukan bahan ajar yang cocok dan baik bagi siswanya. Untuk itu pengadaannya harus melibatkan guru mata pelajaran. Guru mapel diberi hak untuk memilih buku atau LKS yang sesuai. Mekanisme pengadaan dilakukan melalui koperasi sekolah. Sah-sah saja sekolah membentuk panitia khusus. Karena tanpa panitia jika terjadi suatu kesalahan dapat segera diatasi. Tetapi sebenarnya melalui koperasi siswa hal ini akan lebih baik. Bahwa dalam bertransaksi terjadi tawar-menawar hal itu wajar saja. Koperasi siswa juga perlu profit. Guru pengampu memperoleh fee sah-sah saja. Tetapi jangan lupa. Siswa sebagai pemakai juga berhak menikmati discount.

Melalui kopsis, disamping menunukkan tranparansi dan accountbilitas publik juga akan membelajarkan kepada siswa untuk belajar berwirausaha. Membentuk mental entrepeneur sejak dini. Kekuatiran guru tidak memperoleh bagaian keuntungan adalah hal yang salah. Guru sebagai pembina dapat mengajarkan kepada peserta didiknya bagaimana menghargai setiap unsur dalam trnasaksi perdagangan. Siapapun yang terlibat berhak mendapat volue. Dan tidak lupa, bahwa sebagain keuntungan akan kembali ke siswa dalam bentuk bantuan ataupun kegiatan-kegiatan siswa yang ditetapkan dalam Rapat anggota tahunan kopsis. Pengadaan melalui kopsis juga menunjukkan berlakunya hukum pasar. Ada penawaran dan permintaan. Siapa yang butuh pasti membeli

LKS yang beredar sekarang sebenarnya sudah bukan LKS dalam arti sesungguhnya. Rangkuman materi beserta latihan soal yang dibungkus buku LKS adalah salah satu ide kreatif untuk memasyarakatkan buku dan memudahkan pembelajaran. Jadi siswa tidak wajib memilikinya. Gurulah yang berkewajiban menyusun lembar kerja yang disampaikan dalam tatap muka untuk mencapai ketuntasan kompetensi dasar. LKS disusun untuk menumbuhkan kreatifitas anak dalam menemukan konsep dan membuktikan teorema.

Dengan kehadiran buku LKS memang membantu guru dalam pembelajaran. Apalagi buku LKS berbudget murah meriah. Lebih murah dibanding buku-buku ajar keluaran toko. Termasuk lebih murah bahan ajar BSE yang telah dibukukan. Namun sayangnya keberadaannya sering dimanfaatkan untuk menggantikan fungsi guru di kelas. Siswa tinggal diberi tugas mengerjakan soal-soal dari LKS dan dikumpulkan. Itupun masih banyak yang hanya diberi paraf dan dikembalikan ke siswa tanpa ada pembahasan dan tindak lanjut. Keengganan guru memeriksa LKS bisa disebabkan banyaknya beban mengajar yang terdiri banyak kelas, teknik evaluasi dan pembelajarn yang memanfaatkan LKS kurang pas atau karena LKS yang kurang menunjang ke arah pembelajaran interaktif. Sehingga LKS hanya berupa take-over dari rangkuman materi yang sudah ada di dalamnya, tidak mengarah ke eksplorasi.

Di era sekarang ini di mana BOS buku sudah dapat mulai mencukupi kebutuhan buku ajar, pengadaan LKS dapat di lakukan secara mandiri yang disesuaikan dengan kebutuhan lks per mata pelajaran. Sehingga pengadaannyapun tidak harus membeli lansung dalam satu paket. Bagi guru-guru yang kreatif LKS tidak lagi disajikan dalam bentuk buku tetapi disusun dalam lembar kerja terpisah yang disusun menjadi portofolio siswa yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi dan sudah terencana dalam RPP.

Dengan demikian siswa tidak harus membeli. Jikalau LKS itu sudah dibukukan, siswa yang tidak mampu dapat merangkum atau menukil bagian LKS yang menjadi tugas siswa. Guru juga tidak boleh mengintimidasi dan memberlakukan perbedaan dalam penilaian, jika ada siswa tidak membeli LKS.

LKS-LKS yang dipakaipun juga tidak boleh asal comot. Pemberian fee yang lebih seringkali mengabaikan mutu LKS itu sendiri. Guru memakai buku LKS keluaran penerbit yang memberikan fee besar. Akibatnya LKS tidak berdayaguna yang berdampak rendahnya mutu pembelajaran. LKS-LKS kadang disusun tidak sesuai kurikulum yang ada atau hanya berupa tambalan-tambalan materi dari berbagai sumber.

Kurangnya bahan ajar dapat disiasati guru dengan menyusun bahan ajar sendiri. Disamping kebutuhan bahan ajar terpenuhi, hal ini juga mempunai nailai tambah guru untuk portofolio dalam sertifikasi guru dalam jabatan. Dengan demikian pengadaan LKS jangan selalu dikonotasikan dengan fee dan uang. Proses penyusunan, pengadaan dan penggunaan juha harus dilihat dari sisi positifnya. Siswa beruntung dapat memperoleh materi ajar yang murah dan membantu belajarnya. Koperasi siswa/sekolah dapat mengambil profit untuk menunjang kegaiatan sekolah dan guru penyusun LKS dapat mengembangkan kreatifitasnya dalam menyusun bahan ajar.

GIMANA KALAU TIDAK LULUS?

Hari-hari unas bagi anak SMA telah berlalu. Senin hingga Kamis, 30 April saat-saat mendebarkan bagi anak SMP berjuang meniti jembatan laksana melalui shirothol mustaqim. Sekali tergelincir, celakalah yang diterima.

Semoga anak-anak masih ingat petuah guru agama. Kalau ingin selamat melalui shirothol mustaqim harus mempunyai bekal cukup. Kalau tidak, siaplah dengan segala resiko. Anak-anak yang duduk di bangku akhir SMP dan SMA adalah anak-anak remaja yang sudah mulai bisa berfikir dewasa. Sudah tahu resiko yang diterima jika melakukan hal-hal yang dijalaninya.

Kelulusan bukan ditentukan persiapan dalam waktu satu-dua hari, satu minggu, satu bulan bahkan hanya dalam satu semester. Mereka yang biasanya nyantai dari kelas VII atau kelas X hingga menjelang unas, dan ngebut pilih program instant menjelang unas akan menyadari. Betapa sulitnya memahami suatu materi jika dasar konsepnya belum dikuasai. Yang timbul, menjelang dan selama unas adalah rasa was-was, tidak lulus. Sudah siapkah kalian jika tidak lulus?

Dijamin, 99,99% anak-anak tidak siap. Kalau kalian punya pacar idaman: cantik/ganteng, smart, romantis dan suatu saat diputus gara-gara kalian sendiri tidak setia dengan si dia-nya atau hanya gara-gara salah paham, siapkah kalian diputus cinta? Lagi-lagi jawabnya tidak siap. Dan lantunan lagu Meggy Z pun pantas diputar. Lebih baik sakit gigi dari pada sakit hati. Putus pacar tidak perlu ditangisi. Masih banyak mencari pengganti. Lha kalau diputus unas, gimana? Unas itu kan bisa dianggap pacar terakhir. Kalau sampai diputus gimana? Nah ini yang patut direnungkan. Tapi yaa tidak usah dipikir-pikir amat. Si Amat saja ndak ikut mikir. Mending kalau musibah itu menimpa kalian, modalnya tabah dan tawakkal.

Tapi semua sudah terjadi, meski baru pelaksanaa unas. Hasilnya masih nunggu bulan Juni. Untuk itu tidak ada jeleknya menjelang pengumuman nanti anak-anak kelas IX dan XII menyiapkan hati dan mental. Tapi ingat masih banyak aktifitas yang harus dijalani sebagai persyaratan kelulusan. Ujian Praktek dan Ujian Akhir sekolah. Jangan sepelakan itu. Termasuk jaga kesehatan dan keselamatan diri karena itupun bisa berpengaruh terhadap nasibmu.

Anak-anak juga bisa belajar dari pemilu legislatif lalu. Jangan tiru mereka yang gagal jadi caleg. Stress atau bahkan ada yang meregang nyawa. Jangan tirukan itu. Anak-anak Indonesia adalah anak-anak yang kuat. Tidak takut menghadapi segala resiko. Bolehlah menangis, tapi jangan meratap terus. Boleh menyesal, asal jangan terus tidur di atas bantal.

Ketidaklulusan bisa jadi karena selama tiga tahun ini lengah. Terbuai kebebasan yang diberikan orang tua, dan tidak menurut nasehat guru. Mungkin saja keliru ketika mengisi LJK karena malamnya asyik terbuai TV dan HP. Atau terbawa latah pileg, tidak mengarsir bulatan tapi hanya mencontreng. Di saat unas siapapun bisa salah. Unas, kadang layaknya uji keberuntungan. Yang langganan juara Olimpiade bisa tidak lulus. Yang terbiasa bolos, bisa lulus dengan nilai joss.

Kalaupun ada diantara siswa tidak lulus, itu bukan akhir segalanya. Jika biasanya siswa berkomentar Jadul terhadap contoh teladan masa lalu bagi siswa tidak lulus. Kini contoh siswa tidak lulus biasa mengulang di sekolah yang sama bisa dijadikan pertimbangan. Kalau gengsi dengan adik kelas boleh lah pindah ke sekolah lain.

Thomas Alfa Eddison bukan anak pandai di kelas dan tidak selesai sekolah. Tapi menjelma menjadi penemu hebat. Jangan tiru Thomas yang tidak sekolah, tirulah semangatnya. Kalian yang tidak lulus harus tetap sekolah. Bisa ikut ujian kejar paket atau menunggu ujian tahun depan. Hanya kalian, orang tua dan guru kalian yang bisa menentukan. Jangan malu dengan kegagalan. Jadikan kegagalan awal keberhasilan. Sesungguhnya, Alloh tidak akan merubah nasib seseorang, jika orang itu tidak mau berusaha. Sak bejo-bejone sing lali, isik bejo wong kang eling lan waspodo.

KE MANA SETELAH LULUS?

Hari-hari gini, brosur dan pamflet penerimaan siswa dan mahasiswa baru bertebaran. Yang gemar searching di website, tinggal menentukan pilihan. Mana sekolah atau perguruan tinggi yang mau dipilih. Semakin banyak pilihan semakin bingung. Yach, dasar manusia, tidak diberi pilihan protes, diberi banyak pilihan bingung, kayak promosi iklan saja.

Lalu, sekolah mana yang mau dipilih? Bagi anak-anak kelas IX SMP, sekolah pilihan tidak jauh dari sekolah favorit. Yang di pinggiran pilihan sekolahnya kadang agak katrok. Yang penting sekolah di kota, ganti pemandangan. Masak sekolah di daerah terus. Sekali-kali sekolah ke kota. Tiap hari bisa mejeng, pulang mampir plaza dan jauh dari pengawasan orang tua. Begitu alasan, sebagian anak pinggiran tentang rencana sekolah selepas SMP. Wah..wah. kalau begini bisa gawat! Masak sekolah dicari enak dan nama besarnya. Jadi apa nanti generasi muda ini?

Anak-anak SMP ini memang masih labil. Masa pubertas banyak berpengaruh terhadap pola pikirnya. Belum banyak yang tahu, kemana arah kehidupannya kelak. Kalau belakangan ini di TV gencar diiklankan SMK, bukan tanpa alasan. Ditengah perekonomian global diperlukan calon entrepreneur-entrepreneur yang siap menciptakan lapangan usaha. Bukan pencari kerja. Coba saja simak tanggapan Boss Ciputra diberbagai kesempatan tentang sekikitnya entrepeneur di Indonesia.

Jadi ke mana meneruskan sekolah selepas SMP? Bagi yang berorientasi melanjutkan kuliah ada baiknya meneruskan ke SMA. Pilihlah SMA yang kredibel. Lihatlah prestasi akademis dan non akademis. Kelak kamu bisa mengeksplorasikan potensi. Jangan hanya pilih nama besar dan gengsi, agar kamu tidak merugi. Pertimbangkan kemampuan ekonomi orangtuamu. Yang punya bakat dan berencana segera mempunyai usaha selepas sekolah lanjutan atas, pilihlah sekolah kejuruan. Tidak usah manut grubyuk, karena bolo akrab, ikut-ikutan pilih satu jurusan. Pilihlah jurusan yang belum banyak dibuka sekolah lain. Lihatlah kebutuhan masyarakat yang paling menggantungkan jasa lulusan SMK. Dan jangan lupa, konsultasikan dengan guru ataupun orang tuamu.

Bagi kamu-kamu anak SMA kelas XII, mungkin inilah saat penentuan diri kalian kelak. Salah memilih bisa berabe. Kalian lebih pintar membaca keadaan. Coba lihat alumnus jurusan dari berbagai perguruan tinggi. Mana yang laris manis, dan mana yang banyak menggangur. Jadi kalian sudah bisa mempertimbangkan. Kuliah di PT tidak murah, seperti yang sudah kalian dengar atau baca sendiri. Berjuta-juta rupiah harus disiapkan untuk masuk PT lewat jalur tertentu. Apalagi saat ini sudah ada UU BHP (UU Badan Hukum Pendidikan). Pilihlah jalur yang paling aman dan murah sesuai bidang yang kamu kuasai dan masih laris di pasaran. Kuliah memang mencari ilmu. Tetapi apalah artinya kalau ilmu tidak laku segera terserap di masyarakat. Pilihlah program-program ikatan dinas ataupun diploma yang terbukti cepat memperoleh pekerjaan. Ataupun jurusan S1 yang masih langka dan masih banyak dibutuhkan diberbagai sektor pembangunan.

Bagi yang merasa bermodal kemampuan akademis dan ekonomi pas-pasan. Pilih saja program-program D1 yang cepat terserap di dunia kerja. Atau kalau sudah ada yang menawari pekerjaaan. Terima saja dulu selama pekerjaan itu masih dalam jangkauan kemampuan fisik dan intektektualmu. Mungkin dari menyisihkan sebagaian gajimu nanti, kamu masih ada waktu melanjutkan kuliah. Jadi masa depanmu kelak terletak ditanganmu hari ini! Keberhasilan kelak tidak saja tergantung dari prestasimu hari ini, tapi juga pilihanmu sekarang! Pertimbangkan masak-masak!!

Rabu, 20 Mei 2009

CINTAKU KANDAS TERHEMPAS UNAS

(Baca di harian Radar Madiun, Selasa 12 dan 19 Mei 2009)

“Teet…Teet..Teet…Teet”, bunyi bel listrik paling kutunggu. Bel tanda pulang sekolah. Aku dan Dani langsung ke tempat parkir sepeda motor.

”Gus, apa acaramu malam Minggu,”

“Biasa, apel ke rumah Mila” jawabku ketus

“Masak mau ujian masih apel terus. Apa ortu Mila nggak nglarang? Ntar kalau belajarnya Mila terganggu, kamu bisa digantung sama calon mertuamu.”

.

”Ya nggak lah! Masa calon menantu ganteng begini mau digantung. Siapa tahu kalau aku apel, semangat Mila tambah menyala-nyala. Kalau aku nggak ketemu Mila satu hari saja, rasanya kayak setahun!”

”Agus! Agus! Dasar play boy. Mila dapat kamu itu apa nggak salah. Mila itu tanpa dirimu nggak ada pengaruh, sudah pinter dari sononya. Lha kamu, status IQ-mu saja diragukan Jangan-jangan Mila kamu pelet!”

”Yaa nggak lah yaw. Inilah resiko jadi cowok ganteng. Jadi rebutan cewek-cewek, kayak Ande-Ande Lumut”. Aku pun ngloyor pergi dengan motor.

Waktu ujian nasional masih dua bulan lagi. Hari-hari aku habiskan di sekolah ikut bimbingan intensif. Pulang sekolah mampir warnet. Facebook-an sama sohib-sohib di dunia maya. Tambah kenalan. Lumayan, wajah gantengku melanglang buana. Tambah terkenal. Semakin banyak cewek yang nge-fans padaku. Selingkuh berkadar rendah. Mila kan tidak tahu. Mila tetap pacar dunia riilku.

Di tembok kamarku terpampang foto Mila. Menghadap diriku kalau aku terlentang mau tidur. Mila jadi penyemangatku. Sering aku termangu lama memandang foto Mila. Melamun membayangkan betapa bahagianya mempunyai pacar seperti Mila. Cantik, pintar, rajin dan setia. Kadang aku heran juga. Kok Mila mau pacaran sama aku. Kalau aku ganteng, itu jelas. Tapi aku tak sepintar Mila. Sesekali Mila menasehatiku agar belajar rajin. Ahh... perhatian sekali Mila padaku. Ortuku saja tak seperhatian Mila. Sibuk dengan urusan. Ayahku sibuk dengan bisnis, ibuku jadi wanita karier. Bahkan aku sendiri merasa berdosa, kadang masih tergoda nambah gebetan. Aku kan cowok, wajar punya pacar lebih dari satu. Kanjeng Doso saja istrinya banyak.

Hari-haripun berjalan semakin cepat. Unaspun kurang satu minggu.

”Agus. Gimana? Sudah siap!” Mila menyapaku sambil jalan.

”Untuk dirimu, aku selalu siap,”

”Kamu ini, yang dipikir kok cuma aku. Sesekali mikir dirimu sendiri. Biar nanti lulus. Syukur dapat nilai baik. Kabarnya unas nanti soalnya lebih sukar. Syarat nilai kelulusannya saja tinggi. Kalau nggak siap, nanti nyesal.”

”Mila, kamu kok kaya bu guru saja. Nakut-nakuti. Buktinya tiap tahun syarat kelulusannya naik, yang tidak lulus sedikit. Sekolah kita mesti 100% lulus. Aku sih nggak kuatir. Moga-moga saja kalau unas nanti yang ngawasi tidur. Aku bisa kerjasama dengan temen-temen. Atau kalau mungkin kamu bisa transfer jawaban via SMS. Waktu unas kamu bawa HP kan?”

”Nggak ah! Itu melanggar aturan. Kalau ketahuan kamu bisa kena sanksi. Kalau kita yang masih sekolah saja sudah curang, gimana kalau jadi pejabat?. Apa kata dunia?”

”Iya-ya. Apa pejabat-pejabat yang korupsi itu waktu sekolah dulunya sering curang ya. Dapat nilai baik dengan cara nggak bener. Demi nama baik menghalalkan segala cara. Keenakan curang akhirnya masuk jurang. Eh... kok jadinya nglantur jadi pengamat hukum dan politik.”

”Makanya. Jadi anak itu belajar yang bener. Jangan banyak main HP and internetan.”

”Inggih bu guru,” akupun mengiyakan nasehat Mila. Nasehat seorang kekasih hati. Meski nasehat itu sering hanya sekedar pengingat. Aku masih kalah dengan godaan nafsuku. Main-main, dan malas belajar. Padahal Mila dan teman-temanku sudah puasa HP-an and internetan. Malah Mila sudah katakan HP nya seminggu menjelang unas hingga pelaksanaan unas dimatikan.

Hingga waktu unas pun datang. Alamaaak! Yang dikatakan Mila benar. Soal unas bener-bener membuat kepala jadi panas. Jurus pamungkas jadi andalan, aji pengawuran. Bukan tanpa alasan aku ngawur. Di samping ruangku tidak ada bintang kejora buat konsultasi jawaban, pengawasnya bak pengawal kerajaan Buckhingham Inggris. Tanpa senyum, tanpa ekspresi. Dingin, bak pembunuh berdarah dingin. Diam terpaku duduk di kursi pengawas. Meski tidak hilir mudik, ruangan ujian laksana ruang penyidik. Setelah unas dilanjutkan ujian sekolah dan ujian praktek. Kalau ujian yang begini sih aku tidak kuatir. Semua kulalui dengan lancar.

Setelah itu hari-hari kuisi cari informasi masuk perguruan tinggi. Kesana-kemari mencari peluang yang mungkin dalam jangkauan kemampuan. Bukan masalah biaya, tapi aku sesuaikan kemampuan IQ dan cita-citaku kelak. Sementara Mila sudah melenggang mulus masuk perguruan tinggi lewat jalur PMDK nun jauh di sana, IPB Bogor. Akankah aku dan Mila akan seperti Acha Septiarsa dan Irwansah? Harus berpisah karena kuliah?

Sebulan lebih unas berlalu. Waktu pengumuman kelulusanpun tiba. Kali ini aku tak sesemangat seperti biasanya. Kulihat teman-temanku bersorak kegirangan. Mila hari ini tidak masuk. Dia ke Bogor mencari kos-kosan. Mila sudah pe-de lulus. Sedang aku, tak tahu. Aku masih termangu duduk di selasar kelas. Kulihat satu dua temanku menangis, tidak lulus. Aku memberanikan diri mendekat melihat pengumuman. Kucari nomor ujianku. Kucari dan terus kucari. Tapi nomorku belum ketemu. Aku terus mencari. Dani yang berada di sebelah membantuku.

”Sudah ketemu?”

”Belum,”aku menjawab dengan suara serak. Pencarian terus aku lakukan. Kutelusuri satu persatu nomor-nomor panjang yang terpampang di papan itu beberapa kali. Tapi nomorku tidak kutemukan juga.

”Agus, kelihatannya nomormu tidak ada. Kamu .... kamu... tidak lulus”, Dani yang sedari tadi membantuku mengucapkan kalimat yang paling aku takuti. ”Tidak lulus”.

Tiba-tiba saja dunia jadi gelap. Seketika aku pingsan. Hari itu menjadi hari terburuk sepanjang hidupku. Aku tidak bisa merayakan kelulusan dengan teman-temanku. Aku menjadi pasien dadakan.

Setelah itu aku mengurung diri di kamar meratapi diri. Teman-temanku sibuk daftar SPMB. Aku sendiri masih belum tahu berbuat apa. Ikut ujian kejar paket C atau ikut ujian tahun depan. Sementara Mila sudah siap kuliah di bogor.

Kebekuan pikiranku akhirnya cair. HP ku berdering. Dari Mila.

”Agus, jangan putus asa. Masih ada kesempatan di depan mata. Waktu tidak bisa diputar. Tapi waktu harus dimanfaatkan. Kita memang terpisah jauh. Tapi hati kita masih tetap dekat. Jadilah seorang pria sejati. Jangan jadi cowok yang mungkin kamu banggakan selama ini. Semoga kita selalu menjadi sahabat sejati”

Itulah beberapa kalimat yang jadi penggugah semangatku. Ternyata Mila masih memperhatikanku. Perhatian sebagai sahabat bukan sebagai pacar. Perhatian yang selama ini salah aku tafsirkan. Mila bukan sekedar cewek. Mila seorang perempuan sejati. Anak perempuan yang tidak saja enak untuk berteman. Tetapi seorang yang mampu mandiri, mau menerima kenyataan, mau nasehat-menasehati dan mampu bangkit serta membangkitkan semangat siapapun yang ada disekelilingnya.

Meski aku tidak tahu apa arti cinta sebenarnya, tetapi pelajaran berharga baru aku petik dari Mila dan unas. Cintaku sebagai cowok kepada Mila memang sudah kandas, terhempas unas. Terhempas karena diriku terlena, terbuai keegoan. Aku hanya bisa menasehati dirku sendiri ,”Wowalah Agus.... Agus! Malas belajar bisa berbuah fatal, akibatnya unaspun gagal. Nasib.....nasib. Aku berjanji akan berubah. Aku akan menjadi pria sejati”