Selasa, 02 Oktober 2012

Lost Generation VS Gold Generation


Lost Generation VS Gold Generation
Aneh, benar-benar aneh! Kelulusan tahun 2012 ini diwarnai keanehan. Prediksi para pakar meleset. Model soal UN 5 kode berbeda dan komposisi tempat duduk diacak bergantian setiap hari tidak menyurutkan target sekolah. Kelulusan tetap naik, dan terbukti berhasil. Yaa mirip-mirip guyonannya almarhum Asmuni Srimulat: suatu hil yang mustahal. Para pengampu kebijakan menggunakan alasan baku : semua berkat persiapan dan kerja keras siswa dan pihak sekolah.
Prediksi dan logika sederhananya, dengan tingkat kesulitan soal yang lebih tinggi dari tahun sebelumnya (seperti diungkapkan pak Nuh jauh hari sebelum UN) serta model UN yang diatur sedemikian rupa agar anak bekerja mandiri dan jujur, nilai siswa diperkirakan tidak lebih baik dari tahun sebelumnya. Bahkan yang tidak lulus bisa lebih banyak. Bukan berarti pesimis, hanya estimasi. Namun, nampaknya nasib berkata lain. Upaya ”kerja keras” dan  ”berita dari langit” membalikkan prediksi.  Nilai anak-anak bagus-bagus. Dan tentunya banyak yang lulus.
Banggakah anda? Nanti dulu! Anda para pendidik, pasti tidak menutup mata dan telinga. Berbagai kabar miring berhembus sejak UN berlangsung. Kode soal beda dan posisi tempat duduk acak ternyata tidak menyurutkan semangat anak-anak berimprofisasi, mencari celah. Tidak kalah mengejutkan, beredarnya  kunci jawaban via SMS, baik sebelum atau saat pelaksanaan UN pada  hari H membuat kebanggaan atas tingginya nilai UN beserta kelulusan berbalik 180 derajat. Entah kunci jawaban tersebut valid atau tidak. Apalagi ini diperkuat warta di media yang  mengungkap modus jual beli kunci jawaban yang dilakukan sekolah/madrasah di Surabaya dengan salah satu lembaga bimbingan belajar. Itu yang ketahuan, yang tidak? Sungguh mencoreng nilai-nilai kejujuran yang dijadikan jargon UN. Kebanggaan berujung keprihatinan. Yaa, siapa saja boleh bangga. Siapa saja boleh menepuk dada. Tetapi semua juga harus introspeksi. Apakah upaya dan hasil sudah seimbang? Apakah upaya yang dilakukan sesuai dengan norma? Baik norma dalam konteks pendidikan, sosial bahkan agama?  Jika rambu-rambu kehidupan dilanggar, hasil apapun tidak bisa dibanggakan.
Terlepas dari polemik tingkat kelulusan siswa, rencana Kemendikbudnas mengintervensi sekolah-sekolah yang angka kelulusannya 0% patut diacungi jempol. Alibi, bahwa sekolah yang siswanya banyak tidak lulus karena SDM pendidik beserta fasilitas pendidikannya kurang layak memang harus diapresiasi. Bentuk treatment yang diperlakukan ada 3 jenis. Pertama, guru-guru di sekolah tersebut diberi pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan profesionalitasnya. Kedua, melengkapi sarana dan prasarana. Dan ketiga, dilakukan pertukaran guru. Pertukaran guru yang dimaksud, guru dari sekolah yang nilai UN rendah atau banyak yang tidak lulus, tugas belajar di sekolah maju, serta guru dari sekolah berhasil mengajar di sekolah yang kelulusannya rendah agar diperoleh transfer pengalaman belajar. Pola seperti juga yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di NTT. Tetapi perlu ditambah dengan melakukan pendampingan akademik dari perguruan tinggi. Harapannya, jika SDM memadahi, sarana prasarana terpenuhi, kelulusan merupakan suatu keharusan.
Lunturnya kebanggaan atas kelulusan ini berlanjut. Perasaan kita sebagai pendidik kembali teriris tatkala melihat tingkah polah anak-anak yang merayakan kelulusan. Aksi corat-coret baju, badan, konvoi hingga pesta yang sebagain menjurus melanggar susila disuguhkan anak-anak ini. Seakan mereka lupa dengan ajaran yang diterima selama belajar di sekolah. Beralasan sebagai pelampiasan rasa suka cita melepaskan kepenatan stress, model hura-hura lulusan usia ABG ini tidak patut dicontoh. Meski sekolah sudah berupaya mencegah, namun usaha ini hanya ampuh ketika siswa berada di dalam pagar lingkungan sekolah. Keluar dari halaman sekolah mereka bebas.
Hal ini yang perlu ditangani sejak dini. Karena bagaimanapun juga, selama mereka belum menerima ijazah dan merasa bagian dari keluarga besar civitas akademika sekolah tidak sepantasnya para lulusan ini melakukan perbuatan negatif. Untuk itu sekolah bisa menerapkan aturan tegas terkait perilaku siswa usai kelulusan. Bagi siswa yang melakukan pelanggaran, tidak diberikan surat keterangan kelakuan baik. Sekolah juga perlu menjalin kerjasama dengan masyarakat sekitar dan kepolisian untuk mengawasi serta menindak siswa yang melakukan kegiatan yang mengganggu ketertiban masyarakat, berbuat tidak baik apalagi melanggar hukum. Sekali waktu sekolah memang harus tegas dan tega sebagai sock terapi. Masih banyak kegiatan positif untuk mensyukuri kelulusan seperti doa bersama,  menyantuni fakir miskin, melaksanakan bhakti sosial atau sekedar memberi tali asih untuk guru.
Meski sebenarnya tindakan negatif yang disuguhkan lulusan bukan mutlak salah meraka. Sekolah juga berperan. Para pembaca bisa menduga sendiri. Yaa, sejak 2 tahun terakhir dengan menerapkan formula keluluasan (NA= 0,6NU+0,4NS) yang mengakomodir nilai sekolah, benar-benar menguji idealisme guru. Nilai NS anak-anak rata-rata bagus. Tak terkecuali nilai siswa yang langganan remidi bahkan anak-anak nakal yang sering mangkir tugas dan ulangan. Kebaikan hati guru ini disalah artikan siswa. Dan efeknya berlanjut saat UN hingga kelulusan. Hak prerogratif guru terkebiri, kewibawaan pun ikut luntur. Jadi, para guru, kepala sekolah dan para pengambil kebijakan pendidikan tidak perlu mendewakan kelulusan UN. Semua tahu apa yang terjadi selama UN. Siapa ditipu siapa menipu. Makanya jika sekolah-sekolah mempromosikan Lulus 100% sebagai magnet untuk menarik calon siswa baru, hal ini seperti mau mengiklankan rokok itu sehat. Iklan yang tidak perlu ditayangkan.
Entah sampai kapan negeri ini terlalu bangga dengan suguhan angka-angka. Tidak melihat proses sesungguhnya. Jika apa yang terjadi selama UN dan selama proses pendidikan masih terkontaminasi kepentingan politik, sekolah hanya akan melahirkan generasi semu. Suatu saat akan terjadi lost generation, generasi yang hilang. Generasi yang tidak mempunyai kebanggaan atas jati dirinya sendiri. Generasi emas yang diidamkan tidak terwujud. Gagal hanya  karena ambisi sesaat. Jika dunia  pendidikan tidak berbenah, suatu saat kita akan menyesal, dan itu sudah terlambat. Akankah hal ini dibiarkan? Pilih Gold Generation atau Lost Generation?

Tulisan ini dimuat di majalah media edisi September 2012