Buku adalah jendela
dunia. Tanpa buku, ibarat rumah tanpa jendela. Penghuninya merasa terkungkung. Hal
ini seperti gambaran sinetron “ Rumah Tanpa Jendela” yang menceritakan seorang
ayah (diperankan Raffi Ahmad) beserta putrinya tinggal di rumah petak tanpa
jendela dan berjualan ikan hias untuk membeli jendela, agar putrinya bisa
melihat keluar rumah. Dan ketika ada orang menjual jendela bekas, Raffi menukar
seluruh uang ditambah barang dagangan beserta keranjang pikulannya dengan jendela bekas itu. Apa daya, setiba di rumah
didapatinya rumahnya terbakar. Saat menolong ibunya, Raffi terjebak dalam
kobaran api hingga menewaskannya. Jendela buat anaknyapun tidak bisa terpasang.
Pengorbanan yang sia-sia, demi sebuah jendela.
Akankah buku K13 sebagai
salah satu jendela dunia akan bernasib sama? Apalagi Permendikbud No 58 tahun 2014 sebagai penyempurnaan
Permendikbud No 81A tahun 2013 baru
tersosialisasi akhir Agustus 2014 meski tertanggal 2 Juli 2014. Melongok
tahapan pengadaan buku dan pemberlakuan implementasi K13 bagi siswa secara bersamaan
(untuk kelas 7 dan 8 SMP misalnya), jelas
menunjukkan kebijakan ini terburu-buru. Ketika
ajaran baru 2014/2015 dimulai, pelatihan K13 untuk guru belum tuntas, buku tidak
siap. Lha wong sekolah sasaran K13 yang sudah satu tahun saja masih
termehek-mehek melaksanakan, bagaimana dengan sekolah lain? Dua tingkat kelas
sekalian lagi? Bukankah konon buku siswa K13 Kemendikbud menjadi kitab utama
bagi guru dan siswa? Oleh karena itu, keterlambatan buku K13 benar-benar
menjadi momok. Jika sebelumnya keterlambatan dimungkinkan karena sekolah belum
memesan buku, bisa jadi keterlambatan ini lebih dari sistem pengadaan dan
distribusinya. Mungkin kementerian salah perhitungan dalam hal ini. Percetakan
tentunya lebih suka mencetak satu persatu judul buku. Sedang distributor
inginnya mengantar ke satu daerah/sekolah langsung lengkap semua mata
pelajaran. Faktanya, buku-buku yang datang kesekolah tidak bisa langsung
lengkap. Sehingga antara percetakaan dan bagian distribusi tidak klop. Jika buku
lengkap, cukup satu dua kali antar. Tetapi karena mencetaknya tidak paralel,
distribusinya bolak-balik, uang yang dikeluarkan lebih banyak. Agar tidak rugi,
menunggu buku lengkap, baru diantar. Masalah sekolah kelimpungan, urusan
belakang.
Apakah buku-buku K13
yang tiba sesuai harapan? 100% memang tidak. Tetapi dibanding dengan awal
implementasi terbatas K13, kualitasnya lebih baik. Buku tidak terlalu tebal,
tampilan maupun isi lebih menarik. Untuk buku siswa, pendekatan scientifik,
bentuk kegiatan maupun projek tersedia. Meski masih banyak salah ketik atau
salah eja. Dari sisi kedalaman materi, perlu penyajian permasalahan ataupun
contoh kontekstual yang lebih runtut, dan mudah. Sedang buku guru, masih perlu perbaikan. Tidak sekedar copy paste
dari buku siswa yang hanya diberi sedikit penjelasan. Sebagai buku pegangan,
dalam buku guru perlu diberi alternatif model pembelajaran yang sesuai. Untuk
permasalahan yang tidak lazim dalam pelajaran juga diberi alternatif pemecahannya.
Karena dalam K13 yang paling dirasa memberatkan adalah penilaian, dalam buku
guru juga perlu ditambahkan bentuk dan rubrik penilaiannya.
Mengingat buku siswa
begitu urgen dalam implementasi K13, keterlambatannya tentu mengganggu metode pembelajaran K13 di kelas.
Namun demikian, jika guru sudah memahami metode pembelajaran dengan pendekatan
scientifik, ketiadaan buku K13 justru bisa memacu guru untuk berkreasi,
berimprovisasi, ataupun berinovasi dalam pembelajaran. Guru perlu membuat kiat agar
siswa lebih mudah memahami materi dengan metode dan media yang dibuat guru. Dengan memahami silabus dan karakteristik materi serta siswanya, keterlambatan buku
tidak menjadi permasalahan utama. Langkah
efektif lain adalah mengefektifkan MGMPS serta memanfaatkan buku paket lama, membuat suplemen materi sesuai K13 bercirikan
karakteristik sekolah dan kompetensi peserta didik. Sesama guru mapel patungan
menyusun materi pembelajaran, lembar kerja siswa, rubrik beserta penilaiannya.
Guru tidak kurang lakon.
Dengan kecanggihan teknologi, ketiadaan buku
K13, baik untuk siswa dan guru dapat juga disiasati dengan memanfaatkan file. Guru
atau siswa bisa menggandakan atau
mencetak dengan swadaya. Seperti halnya BSE yang bebas didownload, file buku
K13 seyogyanya juga bisa diakses oleh siapapun asal bukan untuk komersial. Toh
ada UU hak cipta. Dengan disediaknnya file buku K13, tidak ada alasan bagi
sekolah untuk tidak menyelenggarakan K13. Jika K13 sudah menjadi program
nasional, kebijakan ini perlu dijalankan dengan penyempurnaan-penyempurnaan. Bukankah
pengadaan buku K13 sudah ada bansos buku? Sekolah cukup menyediakan dana
pendamping dari BOS. Kalau toh adanya penolakan K13, penulis yakin penolakan
itu bukan semata karena belum lengkapnya buku K13 atau mengharap fee. Penolakan
itu bisa jadi ketidaksiapan guru melaksanakan K13, baik dalam administrasi
perangkat, pelaksanaan pembelajaran maupun penilaian. Guru bagai menjalankan mission
imposible. Pendekatan scientifik dan penilaian autentik dengan menggunakan
seabreg indikator penilaian bisa membuat rambut rontok dan tangan keriting. Kalau
toh guru sambat atau bertanya kepada nara sumber, jawaban yang didapat adalah, “masa
guru tidak punya cara. Kan bisa disiasati?”. Nah!!, Guru kok belajar tidak jujur? Lantas
bagaimana lagi? Sebagian guru lain malah dengan enteng menjawab, “Memberi nilai
anak dengan predikat A, B, C ..... D apa
susahnya sih, sambil memejamkan mata bisa. Soal diskripsi serahkan saja kepada
kurikulum atau operator. Beres. “ Itu sebagian contoh keluhan guru terkait K13.
Maka wajar sekali
apabila banyak pihak menganggap bahwa K13 lahir prematur. Sebagai sebuah
kebijakan nasional, terasa aneh apabila pelaksanannya tidak kompak dan terkesan amburadul. Jika di
lingkungan Kemendikbud, implementasi K13 dipaksakan serentak langsung di dua
tingkat sekaligus, tidak demikian halnya sekolah/madrasah di lingkungan
Kementerian Agama. Di tahun ajaran 2014/2015, implemetasi K13 baru untuk siswa
baru di satu tingkat. (Misal di MTS baru kelas VII). Bagaimana jika sudah 3
tahun K13 dijalankan, terkait ujian akhir? Apa sendiri-sendiri yang satu
menggunkan K13 yang lain KTSP?
Hingga Oktober 2014 ini
saja, masih banyak sekolah yang belum menerima buku K13. Dampak belum
lengkapnya buku K13 tidak hanya dirasakan oleh sekolah, guru dan siswa. Para
orang tua juga uring-uringan. Kiat memfotocopy materi untuk bab awal belum
membuat sekolah nyaman. Mau memfotocopy, nanti SPJ-nya dianggap double account
karena nantinya sudah ada buku. Dibebankan ke orang tua juga memberatkan. Serba
repot. Jika sekolah boleh menfotocopy pun, bagi sekolah besar tidak masalah,
sedang bagi sekolah kecil anggaran BOS yang tersedot bisa menggangu operasional
sekolah. Itupun perlu ada kebijakan hitam di atas putih agar kelak SPJ BOS
untuk foto copy buku K13 sah.
Yang jelas, belajar
tanpa buku ibarat berlayar tanpa peta. Jika ingin tetap sampai tujuan, nakhoda
akan menggunakan tanda-tanda alam sebagai pemandunya. Tidak ada rotan, akar pun
jadi, tidak ada jendela ventilasi udara pun bisa. Buku K13 bukan kitab suci. Buku
K13 boleh tersendat. Tetapi anak-anak bangsa butuh guru hebat. Guru hebat tidak
tergantung buku, tetapi guru yang punya integritas, kreatifitas, kesabaran dan kaya
hati.
Tulisan ini dimuat dimajalah Media edisi November 2014