Lost Generation VS Gold Generation
Aneh, benar-benar aneh! Kelulusan tahun
2012 ini diwarnai keanehan. Prediksi para pakar meleset. Model soal UN 5 kode berbeda
dan komposisi tempat duduk diacak bergantian setiap hari tidak menyurutkan
target sekolah. Kelulusan tetap naik, dan terbukti berhasil. Yaa mirip-mirip
guyonannya almarhum Asmuni Srimulat: suatu hil yang mustahal. Para pengampu
kebijakan menggunakan alasan baku : semua berkat persiapan dan kerja keras
siswa dan pihak sekolah.
Prediksi dan logika sederhananya, dengan
tingkat kesulitan soal yang lebih tinggi dari tahun sebelumnya (seperti
diungkapkan pak Nuh jauh hari sebelum UN) serta model UN yang diatur sedemikian
rupa agar anak bekerja mandiri dan jujur, nilai siswa diperkirakan tidak lebih
baik dari tahun sebelumnya. Bahkan yang tidak lulus bisa lebih banyak. Bukan
berarti pesimis, hanya estimasi. Namun, nampaknya nasib berkata lain. Upaya
”kerja keras” dan ”berita dari langit”
membalikkan prediksi. Nilai anak-anak
bagus-bagus. Dan tentunya banyak yang lulus.
Banggakah anda? Nanti dulu! Anda para
pendidik, pasti tidak menutup mata dan telinga. Berbagai kabar miring berhembus
sejak UN berlangsung. Kode soal beda dan posisi tempat duduk acak ternyata
tidak menyurutkan semangat anak-anak berimprofisasi, mencari celah. Tidak kalah
mengejutkan, beredarnya kunci jawaban
via SMS, baik sebelum atau saat pelaksanaan UN pada hari H membuat kebanggaan atas tingginya
nilai UN beserta kelulusan berbalik 180 derajat. Entah kunci jawaban tersebut
valid atau tidak. Apalagi ini diperkuat warta di media yang mengungkap modus jual beli kunci jawaban yang
dilakukan sekolah/madrasah di Surabaya dengan salah satu lembaga bimbingan
belajar. Itu yang ketahuan, yang tidak? Sungguh mencoreng nilai-nilai kejujuran
yang dijadikan jargon UN. Kebanggaan berujung keprihatinan. Yaa, siapa saja
boleh bangga. Siapa saja boleh menepuk dada. Tetapi semua juga harus
introspeksi. Apakah upaya dan hasil sudah seimbang? Apakah upaya yang dilakukan
sesuai dengan norma? Baik norma dalam konteks pendidikan, sosial bahkan agama? Jika rambu-rambu kehidupan dilanggar, hasil
apapun tidak bisa dibanggakan.
Terlepas dari polemik tingkat kelulusan
siswa, rencana Kemendikbudnas mengintervensi sekolah-sekolah yang angka
kelulusannya 0% patut diacungi jempol. Alibi, bahwa sekolah yang siswanya
banyak tidak lulus karena SDM pendidik beserta fasilitas pendidikannya kurang
layak memang harus diapresiasi. Bentuk treatment yang diperlakukan ada 3 jenis.
Pertama, guru-guru di sekolah tersebut diberi pendidikan dan pelatihan untuk
meningkatkan profesionalitasnya. Kedua, melengkapi sarana dan prasarana. Dan
ketiga, dilakukan pertukaran guru. Pertukaran guru yang dimaksud, guru dari
sekolah yang nilai UN rendah atau banyak yang tidak lulus, tugas belajar di sekolah
maju, serta guru dari sekolah berhasil mengajar di sekolah yang kelulusannya
rendah agar diperoleh transfer pengalaman belajar. Pola seperti juga yang dapat
dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan di NTT. Tetapi perlu ditambah
dengan melakukan pendampingan akademik dari perguruan tinggi. Harapannya, jika
SDM memadahi, sarana prasarana terpenuhi, kelulusan merupakan suatu keharusan.
Lunturnya kebanggaan atas kelulusan ini
berlanjut. Perasaan kita sebagai pendidik kembali teriris tatkala melihat
tingkah polah anak-anak yang merayakan kelulusan. Aksi corat-coret baju, badan,
konvoi hingga pesta yang sebagain menjurus melanggar susila disuguhkan
anak-anak ini. Seakan mereka lupa dengan ajaran yang diterima selama belajar di
sekolah. Beralasan sebagai pelampiasan rasa suka cita melepaskan kepenatan
stress, model hura-hura lulusan usia ABG ini tidak patut dicontoh. Meski
sekolah sudah berupaya mencegah, namun usaha ini hanya ampuh ketika siswa
berada di dalam pagar lingkungan sekolah. Keluar dari halaman sekolah mereka
bebas.
Hal ini yang perlu ditangani sejak dini.
Karena bagaimanapun juga, selama mereka belum menerima ijazah dan merasa bagian
dari keluarga besar civitas akademika sekolah tidak sepantasnya para lulusan
ini melakukan perbuatan negatif. Untuk itu sekolah bisa menerapkan aturan tegas
terkait perilaku siswa usai kelulusan. Bagi siswa yang melakukan pelanggaran,
tidak diberikan surat keterangan kelakuan baik. Sekolah juga perlu menjalin
kerjasama dengan masyarakat sekitar dan kepolisian untuk mengawasi serta menindak
siswa yang melakukan kegiatan yang mengganggu ketertiban masyarakat, berbuat
tidak baik apalagi melanggar hukum. Sekali waktu sekolah memang harus tegas dan
tega sebagai sock terapi. Masih banyak kegiatan positif untuk mensyukuri
kelulusan seperti doa bersama,
menyantuni fakir miskin, melaksanakan bhakti sosial atau sekedar memberi
tali asih untuk guru.
Meski sebenarnya tindakan negatif yang
disuguhkan lulusan bukan mutlak salah meraka. Sekolah juga berperan. Para
pembaca bisa menduga sendiri. Yaa, sejak 2 tahun terakhir dengan menerapkan
formula keluluasan (NA= 0,6NU+0,4NS) yang mengakomodir nilai sekolah,
benar-benar menguji idealisme guru. Nilai NS anak-anak rata-rata bagus. Tak
terkecuali nilai siswa yang langganan remidi bahkan anak-anak nakal yang sering
mangkir tugas dan ulangan. Kebaikan hati guru ini disalah artikan siswa. Dan
efeknya berlanjut saat UN hingga kelulusan. Hak prerogratif guru terkebiri,
kewibawaan pun ikut luntur. Jadi, para guru, kepala sekolah dan para pengambil
kebijakan pendidikan tidak perlu mendewakan kelulusan UN. Semua tahu apa yang
terjadi selama UN. Siapa ditipu siapa menipu. Makanya jika sekolah-sekolah
mempromosikan Lulus 100% sebagai magnet untuk menarik calon siswa baru, hal ini
seperti mau mengiklankan rokok itu sehat. Iklan yang tidak perlu ditayangkan.
Entah sampai kapan negeri ini terlalu bangga
dengan suguhan angka-angka. Tidak melihat proses sesungguhnya. Jika apa yang
terjadi selama UN dan selama proses pendidikan masih terkontaminasi kepentingan
politik, sekolah hanya akan melahirkan generasi semu. Suatu saat akan terjadi
lost generation, generasi yang hilang. Generasi yang tidak mempunyai kebanggaan
atas jati dirinya sendiri. Generasi emas yang diidamkan tidak terwujud. Gagal
hanya karena ambisi sesaat. Jika
dunia pendidikan tidak berbenah, suatu
saat kita akan menyesal, dan itu sudah terlambat. Akankah hal ini dibiarkan?
Pilih Gold Generation atau Lost Generation?
Tulisan ini dimuat di majalah media edisi September 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar