Ke-Bhinneka-an Sistem Sekolah, Kenapa Tidak?
Begitu Permendikbud Nomor 23
tahun 2017 tentang Hari Sekolah ditandatangani 12 Juni 2017, langsung panen
ktitikan. Tak kurang Pak Wapres Juyuf Kalla wanti-wanti agar pelaksanaan permen
menunggu ratas kabinet (JP, 14/6) Masyarakat awam juga belum paham benar,
bagaimana pelaksanaannya. Kekuatiran nasib ratusan pendidik yang berkecimpung
dalam pendidikan agama akan jadi pengangguran wajar sekali (JP, 13/6). Gubermur Jawa Timur, Pakde Karwo pun
mengambil sikap. Melakukan langkah bijak dengan mengeluarkan surat nomor
188/1872/013.1/2017 tanggal 16 Juni 2017 untuk menunda pelaksanaan Permendikbud
no 23 tahun 2017 sampai menunggu petunjuk lebih lanjut dari pemerintah pusat.
Dan akhirnya, Presiden Jokowi mengeluarkan jurus pamungkas, menunda pelaksanaan
lima hari sekolah (Kompas.com, 17 Juni 2017). Konon kabarnya, Permendikbud
tersebut akan ditelaah dan kelak jika dilaksanakan akan ditingkatkan kekuatan
hukumnya menjadi Peraturan Pemerintah (PP), dengan tagline, pendidikan
penguatan karakter.
Untuk sementara, hiruk pikuk
terkait Permendikbud 23 tahun 2017 reda. Namun, bagaimanakah sebenarnya arah
pelaksanaan lima hari sekolah itu bermuara? Jika untuk pendidikan penguatan
karakter, bagaimana sesungguhnya karakter yang akan dibentuk? Haruskah semua
pendidikan karakter diformalkan, diatur sedemikian rupa agar di atas hitam
putih terlihat apik? Rasanya, pendidikan kita dalam beberapa waktu terakhir
terlalu banyak dijejali berbagai program. Belum tuntas implementasi kurikulum
2013, sudah ditambah hal baru. Satu hal belum kelar, muncul program berikutnya.
Benar, bahwa evaluasi perlu dilakukan dan akan berlangsung terus menerus.
Tetapi, mengapa jika evaluasi awal terindikasi menimbulkan masalah, kok
dipaksakan? Itulah Indonesia, yang kaya
orang-orang pintar.
Kembali ke masalah lima hari
sekolah. Salah satu yang menjadi polemik adalah kekuatiran nasib madrasah
diniyah (Madin). Meski ada opsi sekolah dapat menjalin kerjasama dengan lembaga
pendidikan agama di sekitar sekolah, hal itu tidak mudah. Tidak hanya terkait
pembiayaan, tetapi juga faktor sosial, kultur, khilafiah, ego bahkan politik. Toh,
banyak lembaga yang dikelola unsur kemasyarakatan, induk organisasinya
berkiprah di dunia politik. Apakah nanti justru tidak menimbulkan politisasi
sekolah? Apalagi dalam media disebut, bahwa lembaga agama yang akan diajak
kerjasama harus sudah terakreditasi oleh Kemenag. Berarti ustad yang mengajari
agama non lembaga terakreditasi tidak bisa?
Belum lama lepas kasus Ahok,
yang efeknya mengancam kesatuan dan persatuan RI. Latar belakang Pak Muhadjir
Efendi yang berasal dari salah satu ormas Islam (Muhammadiyah), dikuatirkan
akan menjadi pemantik terjadinya sentimen negatif terhadap golongan lain,
Nahdlatul Ulama (NU) misalnya. Belum
lagi di kabinet ada unsur PKB. Apakah nanti tidak akan menimbulkan
kegaduhan dalam pemerintahan sendiri? Jika saja efek kasus Ahok menimbulkan
semangat kebanggaan terhadap Pancasila dan ke-Bhineka-an bangkit, apakah dampak
sekolah lima hari justru akan malahirkan gesekan horisontal antar golongan
sesama umat Islam. Lebih baik jangan, dan harus dihindari.
Apalagi ada wacana, jika
kegiatan dilaksanakan di luar sekolah, maka pelajaran agama di sekolah tidak
perlu lagi. Aneh, hal kontradiksi yang bisa menjadi bumerang. Belajar ilmu
agama di lembaga diniyah, muatan materinya pasti tidak sama dengan yang ada di
kurikulum. Dengan keterbatasan sumber daya, sumber dana serta waktu, hasilnya
tidak akan maksimal. Ditambah kegelisahan para sarjana agama dan mahasiswa yang kuliah di pendidikan agama.
Untuk apa kuliah?
Belum terjalinnya koordinasi
efektif antara kemdikbud dan kemenag, juga merupakan pertanda, bahwa program
ini belum siap. Harusnya, sinkronisasi dan kinerja yang sinergis antar pemangku
pendidikan bisa menjadi solusi bagi pengembangan pendidikan karakter beserta
penguatan agama dan budi pekerti.
Sekolah bukan TPA
Salah satu alasan sekolah lima
hari, agar anak tidak lepas kendali dan saat pulang sekolah bisa langsung
bertemu orang tua (bagi pekerja kantoran) bukan alasantepat. Berapa persen
anak-anak yang orang tuanya kerja lima hari?. Justru yang terbaca, mereka yang
kerja lima hari cenderung pulang lebih dari jam lima sore, kenapa tidak
sekalian sekolah pulang sore? Pasti tambah runyam. Jika alasan itu yang dipakai,
berarti sekolah dianggap sebagai Taman Pendidikan Anak (TPA). Sekolah dan
sebagain anak dijadikan korban oleh ego beberapa orang.
Fakta menunjukkan, masih
banyak anak yang sepulang sekolah membantu pekerjaan orang tua, mengembangkan
bakat minat serta menambah belajar. Dan disela jam itu mereka istirahat dulu.
Sepak bola 90 menit saja istrirahat 15 menit, 8 jam istirahat 30 menit, jelas
tidak cukup. Mau nambah jam istirahat, pulang terlalu sore. Membahayakan
keselamatan anak.
Lantas, bagaimana nasib Kurikulum
2013? Orang Jawa bilang, “ojo
angah-angah”. Jangan serakah, maunya banyak hal dikerjakan tanpa mengukur
kemampuan diri sendiri apalagi dampaknya terhadap yang lain. Ketika kurikulum
2013 dilaunching saja, banyak pihak berharap keberhasilannya mampu menyiapkan
genererasi emas. Baru saja digulirkan dan ada hambatan menimbulkan kegaduhan
nasional. Begitu ada pergantian menteri langsung stop di tengah jalan, lalu
direstart.
Pelaksanaan Kurikulum 2013
yang sebagian membutuhkan waktu di luar sekolah beserta tagihan penilaian, bisa
jadi tidak berjalan baik. Jangan-jangan hari, Sabtu menjadi hari lembur
nasional untuk menuntaskan tugas-tugas sekolah. Jika ada wacana, dengan lima
hari sekolah jangan ada lagi tugas anak dibawa pulang, cukup diselesaikan di
sekolah, budayanya sulit diterapkan. Bisa jadi di rumah dianggap hanya untuk
bersantai, belajar serius ya di sekolah. Perlu penataan gamblang, gampang, bermakna dan tidak berefek negatif. Salah
satunya dengan menerapkan kebijakan Ke-bhinekaan Sistem Sekolah. Seperti halnya
diatur dalam pasal 9 ayat 1. Dalam hal kesiapan sumber daya pada Sekolah dan akses transportasi belum
memadai, pelaksanaan ketentuan Hari Sekolah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
dapat dilakukan secara bertahap.
Meski pasal
itu kontradiktif dengan pasal 10 ayat 1. ) Guru pada Sekolah
yang belum dapat melaksanakan ketentuan Hari Sekolah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) tetap melaksanakan ketentuan 40 (empat puluh) jam dalam 1
(satu) minggu untuk memenuhi beban kerja guru sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3 ayat (2) . Memperhatikan pasal 10 ayat 1 ini, sepertinya menjadi beban
tersendiri dan tidak sesuai dengan bayangan guru terhadap pernyataan pihak
kemendikbud, bahwa guru tidak harus 24 jam mengajar. Janji manis itu ternyata
menjadi beban, mana kala guru harus tetap melaksanakan 40 jam perminggu.
Sekolah yang
belum siap bisa melakukan bertahap, tetapi gurunya harus memenuhi 40 jam.
Padahal beban wajib guru sesuai UU Guru dan Dosen pasal 35 ayat (2) adalah 24-40 jam tatap muka.
Samakah makna 24-40 jam tatap muka, dengan 40 jam (60 menit)? Jika makna 24-40 jam tatap muka perminggu dalam UU Guru dan Dosen No 14 tahun
2005, berarti beban 40 jam dalam permendikbud no 23, bertentangan dengan
peraturan di atasnya. Mungkin dalam benak para pembuat peraturan ini, guru
harus bekerja sesuai dengan peraturan bagi ASN, 37,5 jam (40jam-2,5jam).
Tetapi
apakah sama model dan jenis pekerjaan guru dengan ASN lain? Apalagi kalau dibandingkan
dengan TNI/POLRI. Mengapa mereka mendapat uang makan, guru tidak? Yang jelas,
guru bukan buruh. Bukan pekerja yang melaksanakan tugas dalam rentang waktu
tertentun, selesai dan esok kembali lagi, bak komedi putar. Masih ada kegiatan tambahan guru terkait
pendidikan di sekolah baik terkait dengan siswa maupun proses pendidikan yang
tidak tercakup dalam pengaturan lima hari sekolah. Guru juga manusia biasa,
punya keterbatasan dan punya keluarga yang tidak selalu tercakup dalam jam
kerja sekolah. Bagaimana jika guru putra PAUD/TK? Kemana mereka seteah pulang,
meski ada penitipan yang biasanya tidak sampai sore? Ya, pasti keluar ongkos
tambahan. Sementara sudah tiga tahun gaji tidak naik, sementara harga-harga
barang, BBM dan listrik semakin menggerogoti gaji. Belum lagi anak-anak guru
yang masuk kuliah, terkena UKT (Uang Kuliah Tunggal) kategori tinggi.
Ditambah pasal
9 ayat 3, masyarakat penyelenggara pendidikan yang diartikan sekolah swasta,
juga harus melengkapi sumber daya pendukung lima hari kerja. Melihat keadaan
sekolah sekarang ini, hal ini terlalu berat dilaksanakanuntuk kondisi saat ini.
Jangankan untuk sekolah swasta, sekolah negeri saja masih banyak kurang sarana
prasarananya.
Contoh
sederhana terkait jatah istirahat 0,5 jam. Cukupkah untuk makan siang dan
salat. Jika sekolah punya musala dengan kapasitas 100 jamaah, berapa waktu
untuk sekolah yang punya lebih dari 600 siswa dengan estimasi, waktu untuk
wudlu dan salat satu kloter jamaah 10 menit?
Bagaimana
dengan lapangan olah raga untuk sekolah dengan kelas lebih dari 24 kelas?
Apakah mereka harus olah raga mulai jam 11.30-13.00? Apa perlu diganti olah
raga setelah salat subuh, jam 05.00-07.00, karena olah raga di K13, 3jam X 40
menit. Karena fakta menunjukkan
rata-rata sekolah hanya punya satu lapangan olah raga.
Belum lagi
pembagian jadwal pelajaran. Lumrah diatur oleh kurikulum sekolah, bahwa dalam
satu hari diupayakan ada pemerataan mata pelajaran, antara yang mempunyai
tingkat kesulitan tinggi dan sedang. Tujuannya jelas, biar anak dalam satu hari
bisa menyerap ilmu dengan baik. Termasuk juga periodeisasi pengaturan hari.
Dengan lima hari masuk, kemungkinan ketemu mapel sama dalam hari berurutan
kemungkinan besar banyak terjadi. Daya serap anak berkurang, guru pun akhirnya
sekadar menyelesaikan program.
Anak-anak
(utamanya yang tinggal di daerah/desa) juga punya hak berpendapat. Kalau guru
memberi tugas berlebih saja kadang dianggap melanggar HAM, bisa jadi hak-hak
anak untuk bergaul dengan teman di lingkungan sosialnya semakin berkurang.
Pulang sore sudah lelah, tidak bisa bermain dengan temannya, pergi mengaji dan
tentu saja kurang bisa membantu orang tua.
Pemaksaan progam bisa berkebalikan dengan
tujuan. Penulis sepakat dengan berbagai kalangan yang menyetujui pelaksanaan
lima hari kerja hanya bagi sekolah yang sudah siap dan sesuai dengan kehidupan
sosial budaya dan ekonomi masyarakat. Anak-anak itu juga aset bangsa yang kelak
juga akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat. Jangan sampai mereka buta
agama, lelah berangkat ke sekolah diniyah gara-gara lima hari sekolah. Bagaimana
kisah selanjutnya, kita tunggu saja.TULISAN INI DIMUAT DI MAJALAH PENDIDIKAN "MEDIA" JAWA TIMUR EDISI BULAN AGUSTUS 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar