Senin, 13 November 2017

MENAKAR KARAKTER





Minggu itu hari libur. Jadi, ya jangan ada pekerjaan. Karena sepekan otak dan badan sudah diperas. Makanya jangan ada beban tugas. Begitu kira-kira jawaban yang hinggap di telinga saat orang atau anak-anak diberi hadiah pekerjaan di Minggu ini.

Bisa di lihat di jalan,tanah lapang dan di berbagai tempat hiburan. Plasa,taman bermain dan tempat makan ramai. Bukan karena tidak pernah lihat keramaiam atau sedang kelaparan. Tetapi mereka melepas kepenatan.

Tetapi saat kita berjalan, atau sekadar tengok kiri kanan, masih banyak orang-orang yang berjibaku memeras keringat demi upah tak seberapa. Kadang upah seharian habis diminta anak yang merengek untuk beli pulsa. Si anak berchating ria, saat orang tua pulang bermandi peluh dengan tatapan hampa. Mengelus dada saat dengarkan anak dendangkan lagu diiringi gitar di tangannya. Salahkah mereka?
Tidak, mereka tidak salah. Anak tidak boleh disalahkan, karena nanti dianggap melanggar HAM anak. Yang salah orang tua atau guru yang tidak mampu mengubah perilaku anak. Begitu kata mereka di luar sana, yang punya bergiga teori hasil study di berbagai sasana.

Padahal bisa jadi hal itu karena guru dan orang yang tidak tega mendidik anak agar menjadi insan paripurna. Anak-anak itu terlalu dimanja, dipuja dan difasilitasi semau mereka. Agar dianggap orang yang peduli dan mengerti selera anak muda.

Dan akhirnya kita lupa. Falsafah jawa menyimbolkan, jika huruf Jawa "dipangku", itu artinya mati. Anak-anak kita banyak yang mati, sebelum bisa berdiri sendiri. Pendidikan karakter bisa keblinger bila kita tidak tega menghukum, memberi tanggung jawab, terhadap anak sendiri, asal dalam koridor pendidikan hakiki. Tingkah laku anak cermin usaha kita. Kita bisa menakar buah pendidikan karakter tidak dari angka-angka. Karena bisa jadi angka-angka itu dikorupsi dan dimanipulasi demi ambisi dan nama baik saja. Innalillahi wainna Ilaihi Roojiuun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar