Carilah ilmu hingga ke
negeri Cina, bahkan hingga ke liang
lahat. Begitu nasehat yang sering dituturkan guru kepada siswa agar mereka
semakin termotivasi belajar dan sekolah ke tingkat setinggi mungkin. Apakah
gurunya juga dimotivasi demikian? Pasti, ya. Cuma, kalau hal itu dilaksanakan sekarang
harus pikir-pikir. Mengapa? Jangankan belajar hingga ke negeri Cina, ke tempat
kuliah yang melebihi jarak 60 km dari tempat asalnya saja sudah dilarang. Kalau
nekat, siap-siap gigit jari. Gelar kesarjanannya tidak akan diakui dalam
pengajuan jenjang kepangkatan. Ya, pemerintah telah menerbitkan aturan tidak
populis, membatasi jarak kuliah maksimal 60 km dari tempat/kota asal guru, agar
gelar akademiknya bisa melekat dan diakui negara.
Penulis
teringat keluhan teman guru matematika saat bertemu di forum olimpiade
matematika. Guru yang bersemangat meningkatkan kompetensi dirinya itu
mengajukan ijin kuliah S2, linear. Tentu saja harus kuliah di kota lain yang
jaraknya melebihi 60 km. Surat ijin belajar keluar, tetapi ada catatan dalam
surat ijin tersebut, bahwa di kemudian hari guru yang bersangkutan tidak akan
menuntut pengakuan gelar akademiknya dalam kedinasan. Otomatis tidak akan
dinilai angka kreditnya. Wejangan yang dipakai adalah meningkatkan kompetensi
boleh dan harus, tetapi penghargaan dalam
kepangkatan nanti dulu. Di bagian lain, banyak guru-guru yang belum bergelar S1
juga ancang-ancang melanjutkan studinya.
Semangat
melanjutkan studi ini sebenarnya sejalan dengan keinginan pemerintah untuk
meningkatkan kompetensi guru. Karena sebagaimana laporan yang dirilis pemerintah
sendiri, masih banyak guru yang belum S1,
dan perlu segera ditingkatkan strata pendidikannya. Baik melalui program beasiswa, maupun jalur mandiri. Hal ini sesuai tuntutan
Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007
tentang standar Kualifikasi Akademik Dan Kompetensi Guru yang menyebutkan
bahwa kualifiasi guru minimal harus S1.
Masih
segar dalam ingatan kita ketika program sertifikasi digulirkan. Karena S1
sebagai syarat, guru-guru bergegas menempuhnya. Meski semangat itu sedikit
kendor karena ketika pelaksanaan sertifikasi begitu banyak dispensasi untuk
syarat keikutsertaannya. Syukurlah,
dampak positif lain muncul. Akhirnya banyak guru yang segera menempuh S1 begitu
TPP-nya cair.
Namun
begitu aturan pembatasan jarak maksimal kuliah, banyak yang kecewa dan
kecele. Kalaupun ingin kuliah dan gelar
akademiknya mau diakui ada pengorbanan yang bagi guru terlalu besar. Harus kehilangan sebagian hak guru, termasuk
TPP. Siapa yang mau? Jadi jangan heran jika ada beasiswa S1 atau S2 untuk guru,
hanya sedikit peminat. Selain tempat kuliah jauh dari keluarga,
tunjangan-tunjangan ikut melayang.
Bagaimanapun juga guru butuh ketenangan ketika kuliah. Bisa dekat
keluarga dan tidak kehilangan pendapatan yang bisa menunjang pendidikannya itu
sendiri.
Batasan jarak 60 km
itupun juga perlu didiskusikan. Misalnya
saja guru Ngawi yang berada di sebelah
timur berbatasan dengan Madiun dan yang bertempat di Mantingan mau kuliah di
UNS Solo. Sama-sama guru Ngawi, yang
satu jaraknya lebih 60 km yang satu kurang dari 60 km. Guru Madiun asal Dolopo
dan guru Saradan yang mau kuliah di Jombang, juga demikian. Sama-sama satu
kabupaten, yang satu lebih dan yang satu kurang dari 60 km. Ini kalau ditinjau
dari posisi domisili dalam satu daerah.
Dari segi ketersediaan
jurusan S1 saja, tidak semua jurusan tersedia dalam radius 60 km dari tempat
asal. Baik itu jurusan di perguruan tinggi negeri maupun swasta. Untuk jurusan
langka seperti IPA (fisika, kimia, biologi) dan bahasa Jawa, tidak banyak PT
(swasta) membuka jurusan. Apalagi mau kuliah S2 linear? Kalau dilarang, mau kuliah di mana?
Kebijakan pembatasan
jarak maksimal kuliah sejauh 60 km ini perlu ditinjau kembali. Dengan
dilarangnya kuliah jauh, untuk program pendidikan tertentu bagaikan tamparan gelombang
tsunami. Kalau jelas tidak ada jurusan dalam radius 60 km, lantas mau kuliah ke
mana. Ke laut? Memang masih ada peluang. Mungkin hanya melalui program
Universitas Terbukan hal ini bisa terlaksana. Tetapi dengan daya tampung
terbatas, program percepatan pemenuhan standar kualifikasi pendidikan minimal
S1 bagi guru sepertinya terhambat. Dengan demikian target terselesaikannya
program sertifikasi guru bisa terhambat juga.
Tidak saja hanya untuk
pemenuhan standar kualifikasi pendidik, batasan kuliah maksimal 60 km ini bisa
juga berdampak sistemik. Munculnya ijazah S1 palsu ditengarai juga akibat
kebijakan ini. Atau jika kelak untuk memenuhi standar kualifikasi pengawas baik
pengawas satuan pendidikan ataupun pengawas mata pelajaran mensyaratkan S2
linear, siapa yang mengisinya. Atau juga jenjang karier lain yang memerlukan
latar belakang guru bergelar S2 linear. Bukankah masih langka guru-guru yang
mempunyai S2 kependidikan linear. Rasanya hanya guru-guru di kota besar yang
bisa menempuhnya. Sedang guru ndeso
cukup pensiun sebagai guru. Asal TPP cair tidak masalah tidak naik karier.
Padahal banyak guru ndeso yang kompeten, tidak kalah dengan guru kota.
Latar belakang jarak 60
km agar guru tetap bisa memenuhi beban mengajar 24 jam atau jam kerja 37,5 jam
masih bisa diatasi. Kalau bisa dipermudah mengapa harus dipersulit? Misalnya
mengajar Senin s.d. Kamis, dengan tambahan tugas sekolah lain. Hari lain bisa
kuliah ke tempat yang jaraknya lebih dari 60 km. Guru juga tidak dikenakan
pasal tugas belajar yang menghilangkan hak-hak guru, termasuk TPP. Biarkan
pendapatan tambahan guru digunakan untuk membiayai kuliahnya. Model ini bahkan
lebih menguntungkan pemerintah. Pemerintah tidak keluar ongkos, standar
kualifikasi guru terpenuhi. Sekali dayung dua tiga pulai terlampuai.
Dalam keadaan mendesak
utamanya untuk jurusan S1 terbatas/langka dan S2 linear, pemerintah/kementerian
pendidikan dan kebudayaan dapat mengeluarkan kebijakan untuk terlaksananya
pendidikan jarak jauh dengan pengawasan dan syarat ketat. Hanya bisa dibuka
oleh PT negeri atau PT swasta terakreditasi A.
Jika semua sudah
deadlock, pada akhirnya para guru memang hanya bisa menyandarkan kepada yang di
atas. Sebagai negara hukum semua warga negara (termasuk guru) berhak mendapat
pengajaran yang layak, seperti tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 pasal 31. Apakah
kebijakan pembatasan menempuh pendidikan sudah sejalan dengan undang-undang
yang berlaku? Sambil menggerutu mungkin para guru berkata : padalah yang
membuat larangan kuliah 60 km itu mungkin saja dulunya juga ada yang kuliah
instan. Kok sekarang tega! Perlukah kebijakan itu diajukan judicial review ke
Mahkamah Konstitusi. Akankah hakim MK tanpa Akil Mochtar membatalkan pembatasan
jarak kuliah maksimal 60km? Guru bukan pakar hukum. Guru hanya bisa menghakimi
dirinya sendiri. Mungkin biro hukum organisasi guru yang dapat memahami hati
nurani guru. Kita para guru juga tidak ingin hanya karena sulitnya menempuh S1
terjadi aksi mogok masal guru seperti saat mempertingati hari Guru
Internasioanl 5 Oktober. Meski sebatas mogok dengan doa bersama, toh PBM
terganggu. Jangan ajak guru kencing berdiri, agar murid tidak kencing berlari. Selamat
memperingati Hari Guru, Dirgahayu Guru Indonesia!
Tulisan ini dimuat di majalah media edisi Okober 2013 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar