Jangan melakukan
pekerjaan jika sudah ada rasa pesimis. Kalau anda mau berhasil, optimislah. Begitu
pesan orang bijak. Tetapi untuk menciptakan optimis tidak cukup bermodal semangat.
Diperlukan materi pendukung yang harus bersinergi dengan apik. Demikian pula
dengan pelaksanaan kurikulum 2013. Melihat tarik ulur pemberlakukan K-13 ini
rasanya para guru mulai was-was dengan K-13. Tidak hanya dari muatan
kurikulumya, tetapi juga persiapannya. Bagaimana tidak, kurang dari satu bulan
sebelum tahun ajaran baru, baru ada kepastian hukum pemberlakuan K-13. Jeda
satu bulan ini digunakan untuk mematangkan pemberlakuan K-13. Mulai pelatihan
insruktur, guru inti, guru sasaran serta pendistribusian buku ajar. Faktanya,
begitu tahun ajaran dimulai buku ajar tidak terdistribusi dengan baik.
Pembaca pasti bisa
merasakan, bagaimana waktu yang singkat ini digunakan untuk mengerjakan tugas
nasional yang maha berat. Istilah Jawanya kemrungsung,
tergesa-gesa. Dari pelatihan singkat menjelang pemberlakuan K13 untuk
sekolah sasaran, guru-guru (termasuk nara sumber) belum bisa memberikan
pemahaman yang matang. Apalagi perangkat administrasi yang harus dilaksanakan
guru tidak sesederhana yang diperkirakan sebelumnya. Melihat kondisi ini tingkat
keberhasilannya K13 baru 75%. Sebatas terlaksana, belum membumi.
Memang, sosialisasi
K-13 cukup baik. Jauh hari Kemendikbud sudah melakukan road show dan uji
publik. Walau kebanyakan guru hanya mendengar sepotong-sepotong melalui media
dan katanya. Model ini baru menyentuh
di tingkat perkotaan dan yang melek teknologi. Bagi guru di wilayah pinggiran,
roh K13 yang dianggap kurikulum terbaik selama ini belum bisa disimak dengan
seksama. Sosialisasi lebih efektif melalui forum guru di daerah. Tenaga profesional
Kemendikbud langsung turba ke daerah.
Begitu juga dengan promo
keunggulan K13 yang sering dilansir Mendikbud.
Para guru cenderung apatis dan mereka-reka nasib K13 sama saja
pelaksanaannya dengan kurikulum sebelumnya. Bagus di atas kertas, biasa saja di
lapangan. Perencanaan dan penilaian yang ribet begitu saja diabaikan ketika kenaikan
kelas atau kelulusan. Demi suksesnya wajib belajar dan nama baik.
Di dunia ini tidak ada
yang kekal. Yang abadi adalah perubahan. Apalagi untuk urusan kurikulum. Istilah
ganti menteri ganti kurikulum masih melekat dalam angan-angan kita. Dinamika
global yang begitu pesat membutuhkan sumber daya manusia yang mumpuni. Dan
dunia pendidikan dituntut untuk terus dan terus berinovasi dan berimprovisasi.
Semakin pesat kemajuan jaman semakin banyak tantangan dan hambatan. Baik
menyangkut kemampuan intelektual, mental maupun moral. Tidak akan ada yang
berani menjamin dalam 20 tahun ke depan K13 akan tetap relevan. Yang lebih
klop, kurikulum akan selalu berdinamika. Yang utama, kurikulum relevan dengan
perkembangan jaman, bisa dilaksanakan, bukan latah atau pesanan dan tidak bermuatan
politik maupun bisnis.
Kemajemukan bangsa
Indonesia ini memerlukan perlakuan khusus. Kalau dalam politik demokrasi kita
demokrasi Pancasila, maka kurikulum kita juga Kurikulum Pancasila. Boleh kita
berkaca ke negara manca yang maju dengan kurikulumnya. Para pakar kita tentu sudah
studi banding dan mengambil pengalaman serta pelajaran terbaik dari mereka.
Tetapi jika budaya kita berbeda, jangan terlalu dipaksakan. Kurikulum Indonesia
harus tetap berorientasi global, memenuhi selera pasar, berbudaya serta memuat nilai-nilai luhur yang terkandung dalam
Pancasila. Dengan kurikulum yang sesuai dengan kondisi bangsa kurikulum lebih
lebih dilaksanakan.
Menyimak pernak pernik
K13 memang kita boleh menaruh harapan besar. Kehandalan K13 untuk membentuk
generasi emas mendatang yang berkarakter baik setidaknya menjadi tujuan mulia.
Namun dari sisi pelaksanaan, banyak pihak masih merasa was-was. Berkaca pada proses
pesetujuan pemberlakuan K13, jangan-jangan ke depan daya dukung pelaksanaan K13
terseok-seok. Karena untuk penerapan bertahap saja, hingga awal pelaksaannya
juga belum berjalan mulus, terutama distribusi buku. Pelatihan bagi guru di
sekolah sasaran juga belum optimal. Berdasar pengalaman guru-guru sekolah
sasaran pelaksana K13 yang mengikuti pelatihan, materi diklat dari nara sumber
belum bisa dicerna dengan baik. Guru-guru banyak yang bingung menerjemahkan
pelaksanaan K13. Tidak seperti janji Mendikbud jauh hari yang menyatakan K13
akan memanjakan guru dari sisi administrasi guru, agar guru lebih konsentrasi
mengajar di kelas. Ternyata K13 hanya
menyediakan Kompetensi inti, kompetensi dasar dan silabus. Guru harus ekstra
keras membuat administrasi pembelajaran.
Untuk mengatasi
kekurangan ini sekolah dan guru dituntut kreatif. Kekurangan buku bisa dengan
mendownload atau mengcopy soft copy buku ajar yang diterbitkan Kemendikbud.
Jika untuk mencetaknya terlalu mahal, guru memanfaatkan buku lama. Dan apabila
guru-guru berkeinginan memudahkan pembelajaran, para guru bisa patungan
menyusun bahan ajar berdasarkan silabus yang ada. Sedang untuk administrasi
mengajar, guru-guru di sekolah pelaksana K13 bekerja sama menyusun perangkat
yang disesuaikan kondisi sekolah.
Pada akhirnya, sebagus
apapun program jika tidak diniati itikad baik dan semangat untuk maju tidak
akan terwujud. Kolektifitas, kolegalitas dan saling membelajarkan sesama
pendidik menjadi kunci untuk menyukseskan K13. Kekurangan dan ketidaktahuan
dipecahkan dengan belajar sambil berkarya. Dengan pendekatan scientific dalam
pembelajaran, siswa jangan hanya dijadikan obyek. Mereka bisa menjadi subyek
pembelajaran yang aktif. Siswa juga pustaka berjalan. Dari mereka guru juga akan
belajar untuk mengembangkan diri demi suksesnya kurikulum 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar