Pembaca masih
ingat syair lagu Puput Melati kala kecil berikut? 1+1=2 ... 2+2=4 ... 4+4=8 ... 8+8=16.... Lagu berbau hitung-hitungan itu begitu
femelier di kalangan anak-anak. Mereka
pun fasih melantunkannya. Sekilas orang menerka, anak-anak yang menyanyikan
lagu tersebut sudah pintar hitung-hitungan. Apakah anak-anak TK memang sudah
pintar menghitung (menjumlahkan) bilangan yang hasilnya lebih dari sepuluh?
Coba saja. Kemudian coba lakukan hitung-hitungan pengurangan, bahkan perkalian.
Hampir dipastikan, sebagian besar kesulitan. Mengapa? Ya, karena anak-anak TK hanya hafal. Yang
lancar, biasanya ikut les sempoa atau sejenisnya.
Bagaimana dengan baca tulisnya? Berbeda
sedikit dengan berhitung, untuk baca tulis, anak-anak TK lebih lancar. Karena sekolah
selain mengajarkan baca tulis juga memberi les. Memang, ada fenomena, ada
anggapan bahwa anak TK yang hebat adalah yang sudah pandai membaca, menulis dan
berhitung. Maka tak heran, sekolah-sekolah TK pun menawarkan keunggulan dalam calistung.
Tengok juga Taman Pendidikan Al Qur’an (TPQ/TPA). Banyak anak-anak kecil seusia
anak TK bahkan PAUD sudah lancar membaca tulisan arab. Tidak jauh juga dengan
TK bukan?
Apa kiatnya? Sederhana saja. Metode yang
tepat. Jangankan calistung untuk anak normal, untuk anak di bawah usia TK
bahkan yang mempunyai kelainanpun jika metodenya tepat tidak ada hambatan untuk
menciptakan anak-anak hebat. Pembaca bisa memetik pengalaman dari Deddy
Corbuzier misalnya. Dalam tayangan Hitam Putih 17 Juli 2014 diceritakan, bahwa
anak Dedi pada awalnya tidak bisa membaca meski sudah dileskan. Karena anak
Dedi menderita disleksia, setelah diajar dengan metode khusus, menjadi hebat.
Apalagi kalau kita mengikuti acara Hafizd ataupun AKSI Yunior di TV saat
Ramadan. Anak-anak yang pengucapannya saja belum lancar, ternyata sudah mampu
menghafal Alqur’an ataupun teks pidato dalam waktu singkat. Melihat hal seperti ini, saya berpendapat, calistung
tidak masalah diajarkan di TK. Karena sesungguhnya setiap anak itu mempunyai
kemampuan tersembunyi, bahkan kemampuan nyleneh. Anak nakal, anak-anak
disleksia, hiperaktif bahkan anak
autispun sebenanrnya mempunyai kemampuan lebih yang rata-rata potensi besarnya
tidak terdeteksi sejak dini. Albert Einstein, Tom Cruise ataupun tokoh-tokoh dunia sekelas Agatha Critie, John Lennon ataupun
Leonardo da Vinci contoh orang-orang yang punya keterbatasan ataupun kelainan
ini mulai kecil ternyata setelah dewasa menjadi orang hebat.
Suatu
perbedaan pandangan pasti ada hikmahnya. Ada plus minus calistung di TK. Dengan
calistung diberikan di TK, potensi anak tergarap. Mereka lebih siap kala masuk
di SD/MI dan menumbuhkan rasa percaya diri. Sedang kelemahannya, dapat
mengganggu perkembangan motoriknya. Mengapa? Karena, jika memfokuskan
calistung, anak terbiasa duduk berdiam diri. Aktivitas dan sosialisasinya kurang.
Apalagi bagi anak yang kemampuannya sedang-sedang saja. Jika kesulitan
calistung mengakibatkan rasa rendah diri
yang dapat membuat anak malas belajar dan bermain.
Tetapi
hidup adalah pilihan. Kita bagian dari dunia. Kita mungkin sering terperangah oleh
kemampuan anak-anak kecil seusia TK di manca negara yang dipertontonkan ataupun
diberitakan di media. Mereka banyak yang hebat-hebat. Apalagi sering
masyarakat, anak dan orang tua dibanding-bandingkan. Maka wajar ada keinginan
agar anak negeri ini tidak kalah. Jika para pakar berbekal teori, masyarakat
berharap tinggi kepada anaknya, jadilah pengelola taman kanak-kanak
berimprovisasi dan melayani keinginan masyarakat. Klop kan? Jadi di lapangan
tidak ada masalah.
Iqra’,
bacalah. Begitu agama mengajarkan. Untuk dapat membaca dimulai kapan? Agama
juga menuturkan, carilah ilmu mulai lahir hingga akhir hayat. Pengertian
membaca pun luas. Tidak hanya membaca huruf latin, tetapi juga mengenal
bilangan, huruf arab termasuk menulis. Nah, masalahnya jika membaca itu sudah
masuk ranah pendidikan, kapan, seperti apa dan kepada siapa membaca dalam arti
sempit itu dimulai di lembaga formal? Karena faktanya, ada saja SD/MI yang
melakukan tes calistung ketika PPDB. Maka, sekolah-sekolah TK pun
berlomba-lomba mencekoki anak didiknya dengan calistung. Marahkan orang tua?
Ternyata tidak. Orang tua lebih senang anaknya di TK diberi calistung.
Karena, kalau
berpijak dengan surat edaran Dirjen Dikdasmen nomor1839/c.c2/TU/2009, sepertinya
bangsa ini hanya disiapkan untuk ikut balapan start dari pitstop dengan target
juara. Hebat! Hebat! Mengapa demikian? Jelas sekali aturan itu kontraproduktif
untuk kondisi sekarang. Harus diakui,
jika sekarang sekolah TK hanya mengajarkan bermain, tanpa embel-embel kemampuan
plus termasuk calistung, TK itu akan sepi pendaftar. Pada awalnya TK swasta
lebih menggeliat dari pada TK negeri. TK swasta lebih berani berimprovisasi.
Aturan dikesampingkan. Yang penting TK-TK itu memperoleh siswa banyak dan orang
tua puas karena putra-putrinya memiliki ketrampilan lebih. Tidak hanya
calistung, penguasaan teknologi dan bahasa Inggris pun menjadi menu anak-anak
TK. Tak mau kalah dengan TK swasta, TK negeri pun latah mengikuti. Aturan
tinggal aturan. Nah! Yang perlu menjadi pertimbangan, anak-anak kita adalah
pemegang tongkat estafet yang bersaing di dunia global.
Jadi yang
penting bukan boleh dan tidak mengajarakan calistung di TK. Jika di dalam
aturan, anak-anak TK ini tidak diperkenankan diberi materi calistung, calistung
diberikan sebagai pengayaan. Melalui tes diagnostik, anak-anak TK dipetakan. Bagi anak yang dinilai
mempunyai kemampuan untuk dikembangkan lebih lanjut, bisa diberikan materi
calistung. Sedang yang kemampuannya
memang sesuai dengan tingkat berkembangan, bermain sambil belajar, belajar
dengan bermain menjadi menu pokoknya. Yang penting, bentuk apapun tambahan muatannya
jangan memaksa apalagi membebani anak. Tentunya kebijakan ini tidak bisa
mandiri. Pihak TK perlu berkoordinasi dengan SD/MI agar di dalam penerimaan peserta
didik baru tidak menyaratkan ataupun melakukan tes calistung. Kelak, calistung
anak SD/MI kelas 1 menjadi tanggung jawab guru SD/MI. Memberdayakan potensi anak TK akan lebih
bermanfaat. Anak-anak TK adalah masa lanjutan usia emas. Jika tidak
dioptimalkan, rugi besar. Pendidikan anak TK perlu dikemas apik sebagai titian
menuju generasi emas agar kelak menjadi generasi yang produktif, inovatif,
kreatif dan efektif.
Tulisan ini dimuat di majalah Media edisi september 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar