Kalau
tidak ada seleksi CPNS, ijazah S1 layaknya barang dagangan. Ditawarkan ke sana
ke mari dalam jepitan stopmap. Dari pintu ke pintu, ijazah keluar masuk kantor/perusahaan
menanyakan lowongan. Di tangan personalia, IP tinggi bukan jaminan diterima.
Malah sering kalah bersaing dengan IP pas-pasan tetapi punya lampiran
ketrampilan khusus, mempunyai pengalaman bekerja dan menunjukkan jiwa
kepemimpinan gemblengan di organisasi mahasiswa. Yaa, kuliah tanpa
berorganisasi ibarat makan tanpa sambal. Hampa. Kuliah sambil bekerja bukan
aneh. Tidak hanya karena kepepet kebutuhan, tetapi mahasiswa type ini memang
sudah menata karier bagi nasibnya sendiri sejak dini. Kalau ada yang keteter wajar saja. Tetapi tidak
sedikit yang moncer. Kuliah sambil berorganisasi dan bekerja dengan resiko
molor setidaknya segaris dengan kata
bijak : berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian, satu kali kayuh dua
tiga pulau terlampaui.
Jadi
kalau pemerintah memaksakan waktu kuliah S1 maksimal 4-5 tahun nampaknya
bertepuk sebelah tangan dengan trend anak kuliah saat ini. Pembatasan waktu
sempit hanya akan melahirkan mahasiswa-mahasiswa kutu buku, membentuk generasi
sendiko dawuh, penurut dan menunggu petunjuk. Alasan pemerintah terkait
kurikulum dan biaya tidak bisa diterima begitu saja. Karena pada dasarnya
kuliah atau sekolah bukan hanya untuk menghasilkan lulusan yang ber-IP tinggi,
tetapi lebih kepada pembentukan jati diri, membentuk jiwa entrepreneur. Lihat
saja tokoh-tokoh nasional, baik yang sukses di pentas politik atau ekonomi dari
jaman penjajahan hingga kini. Banyak yang sukses, tidak hanya sekedar kuliah
tetapi berkat tempaan di waktu senggang kuliah. Entah berorganisasi
atau nyambi kerja.
Memang
tidak dipungkiri, dengan aktif berorganisasi ataupun nyambi kerja kuliah
sedikit terganggu. Menjadi mahasiswa abadi dengan mengambil jatah maksimal
kuliah maksimal 14 semester. Tetapi itulah pilihan hidup. Toh waktu molor bukan
cita-cita, tetapi lebih karena keterpaksaan atau memang disengaja untuk
mematangkan diri. Yang penting, begitu wisuda siap bersaing. Jika pada akhirnya
pemerintah bersikeras membatasi waktu kuliah 4-5 tahun yang berdampak banyak
mahasiswa DO, justru dapat menimbulkan 3 aspek. Pertama, calon mahasiswa dari
keluarga kurang beruntung yang tidak tersentuh program bidik misi dan berencana
kuliah sambil bekerja menjadi ciut nyalinya. Kuliah bagai kemustahilan. Kedua,
mahasiswa yang terkena DO akan menderita syndrom minder, merasa dirinya mahkluk
lemah yang tidak mempunyai daya saing. Manusia type ini berbahaya, karena akan
mempunyai sifat dendam dan menjadi bagian pengangguran intelaktual tanpa gelar.
Dan yang ketiga, mahasiswa yang takut DO akan menjadi manusia kutu buku, kurang
bersosialisasi dan lebih bersifat ego. Karena motonya kuliah... kuliah ... kuliah...dan lulus.
Ini
berarti pembatasan waktu kuliah yang semakin pendek belum bisa menghasilkan
korelasi positif terhadap kualitas sarjana.
Kuliah hanyalah sebagai bagian untuk membekali generasi dengan ilmu yang
lebih aplikatif dan membentuk manusia dewasa paripurna. Sebelum benar-benar
terjun ke masyarakat, mahasiswa perlu mengasah ilmu dan dirinya baik dengan
berorganisasi atau belajar bekerja. Jika kuliah hanya mengejar target lulus
dalam tempo sesingkat-singkatnya justru menghasilkan sarjana instan. Simak saja
kampus-kampus yang memprogramkan semester pendek, atau kuliah Sabtu-Minggu.
Bagaimana kualitasnya dibandingkan dengan program reguler?
Tidak ada
mahasiswa yang bodoh. Masuknya saja melalui seleksi ketat. Kalau ada mahasiswa
lulus hingga batas limit waktu kuliah 7 tahun karena berorganisasi meski secara
kognisi pintar, memang hak mereka sebagai warga negara yang berhak mendapatkan
pendidikan. Hanya saja alasan dan bagaimana mahasiswa tersebut mencukupi
kebutuhan dirinya, itu yang menjadi catatan. Biasanya mahasiswa yang aktif
berorganisasi sudah membentuk link. Mereka tidak kuatir dengan masa depannya. Selepas
lulus akan lebih mudah bekerja. Selain itu mahasiswa type ini biasanya tidak
terlalu menggantungkan diri dari kiriman orang tua. Kuliah, berorganisasi juga
nyambi kerja. Dengan kematangan hasil tempaan berorganisasi, kelak jika sudah
masuk bursa kerja akan lebih cepat jenjang kariernya.
Kurikulum
tidak ada yang sempurna. Sesuai perkembangan jaman wajar jika dalam peroide
tertentu ada perubahan. Tetapi perubahan kurikulum juga sudah memandang jauh ke
depan kemanfaatannya, termasuk mata kuliah yang diprogram tentunya. Bukankah
dosen-dosen yang diangkat jauh hari sebelum ada perubahan kurikulum juga bisa
dan harus menyesuaikan kurikulum baru? Jadi mahasiswa yang molor waktunya lebih
dari 4-5 tahun juga tidak perlu dipermasalahkan. Dengan beban SKS atau mata
kuliah yang ditetapkan bagi seangkatannya, jika ada perubahan kurikulum biarkan
tetap menyelesaikan sesuai program awal. Karena sekali lagi, kualitas mahasiswa
tidak hanya dilihat dari IP atau jenis mata kuliah dalam kurikulum yang
tersurat tetapi lebih pada nilai-nilai yang tersirat, hidden curicullum.
Perubahan kurikulum bukan dihindari, tetapi dijalani dan disikapi.
Jadi
pemerintah masih bisa mencari jalan lain untuk meningkatkan kualitas lulusan
kampus dari sekedar membatasi masa kuliah. Kemudahan akses kuliah bagi anak
bangsa lebih utama. Biaya kuliah yang terjangkau dan beasiswa bagi yang
berprestasi, utamanya dari keluarga kurang beruntung lebih bermanfaat. Untuk
meningkatkan mutu lulusan agar siap bersaiang di bursa kerja global, mahasiswa
disyaratkan mengusai bahasa asing dan mempunyai lisensi pengalaman bekerja. Apalagi
Kemenpan RB sudah mewacanakan moratorium CPNS selama 5 tahun, dan tahun depan
mulai berlaku pasar bebas ASEAN. Untuk itu, pembatasan waktu kuliah perlu
diubah nomenklaturnya menjadi Pendidikan Keprofesionalan beserta kerja riil
dalam jangka waktu 1 tahun untuk berhak mendapat lisensi kerja dengan tenggang
waktu kuliah maksimal 6-7 tahun. Hal ini juga merujuk dengan kebijakan pemerintah
yang mengharuskan calon pendidik harus punya lisensi guru melalui PPG
(Pendidikan Profesi Guru) bagi sarjana apapun, tak terkecuali lulusan FKIP. Tentunya
bangsa ini tidak menginginkan, bahwa
kuliah dilakukan dalam tempo sesingkat-singkatnya untuk mengejar lulusan
sebanyak-banyaknya. Mahasiswa akan merasa dibatasi hak berserikat dalam
berorganisasi, hak mendapat penghidupan yang layak dalam bekerja sambil kuliah yang
hal itu dijamin dengan undang-undang. Jngan terkesan bahwa kuliah hanya untuk orang
berduit. Jika ini terjadi, sakitnya tuh di sini!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar