Kejarlah dunia bagai hidup selamanya. Gapai akhirat bagai esok sudah tak
bernyawa. Petuah para tetua untuk mengingatkan pentingnya hidup beragama. Kehidupan yang membawa kebahagian dunia
akhirat yang kekal abadi. Bagaimana
anak-anak memperhatikan petuah ini.
Petuah jadul, kuno. Begitu kira-kira anak-anak sekarang kalau
dinasehati. Salahkah mereka? Atau memang mereka belum mengerti arti dari
pitutur luhur itu.
Kehidupan masyarakat yang terkontaminasi
budaya materialistis telah banyak mengubah pola dan gaya hidup manusia. Semua
berlomba mengejar materi. Setiap segi kehidupan tidak lepas dari perhitungan untung-rugi,
enak dan tidak enak. Tak terkecuali
dunia pendidikan. Meski masih banyak yang memegang idealisme dalam mengelola
pendidikan, tidak sedikit lembaga pendidikan yang dirasuki virus sekulerisme.
Mencipta manusia handal, intelektual bak berotak komputer. Sayang, kadang
lembaga pendidikan jenis ini seperti
hanya mencetak robot.
Pendidikan pun serasa memakai jalur satu
arah, menghindari tubrukan. Mengedepankan
otak, menomor duakan budi pekerti. Memisahkan antara yang langsung terkait dengan
tuntutan duniawi dan yang mengarahkan ke jalur ukhrowi. Agama dan budi pekerti jadi
menu nomor buncit, seakan terpisah dan dikalahkah oleh mata pelajaran lain.
Yaa, pendidikan sudah mengarah sekulerisme. Menghindari tabrakan, tapi malah
bisa masuk jurang.
Untuk itulah para pemangku pendidikan
harus segera menyadari perlunya membekali anak didik dengan pendidikan akhlaqul
karimah. Pendidikan budi pekerti berbasis religi. Pendidikaan budi pekerti yang bisa dikemas dengan cantik
dalam setiap pembelajaran. Sistem pendidikan kita yang masih menganut sistem
paket, mau tidak mau harus dimodifikasi. Sekolah mempunyai wewenang untuk
mengembangkan muatan lokal dan melakukan telaah kurikulum. Sehingga pendidikan budi pekerti dapat
menjadi nafas dalam setiap mata pelajaran.
Minimnya alokasi pendidikan agama, bisa dikembangkan waktunya dengan memanfaatkan waktu
yang ada dalam satu pekan untuk menambah penyampaian nilai-nilai peribadatan
dan budi pekerti. Memberdayakan guru bimbingan konseling juga alternatif
jitu. Disamping sebagai tenaga konselor, mereka juga bisa
lebih lugas untuk menanamkan pendidikan nilai.
Untuk kesekian kalinya kita semua merasa,
bahwa kurikulum kita terlalu padat. Pendidikan budi pekerti belum perlu dibuat
sebagai satu mata pelajaran khusus ataupun mata pelajaran pokok. Seperti uraian di atas, setiap guru dapat
menyampaikan pendidikan budi pekerti. Para guru sejenis, lewat MGMPS bisa
merumuskan penyampaikan pendidikan budi pekerti termasuk pendidikan keimanan
dan ketaqwaan pada kompetensi dasar yang akan dibelajarkan. Setiap guru juga
membuat buku catatan kepribadian yang nantinya dilaporkan ke guru agama atau
PKn sebagai bahan pertimbangan penilaian ataupun untuk kenaikan kelas.
Dengan demikian catatan moral mereka
menjadi salah satu penentu keberhasilan belajar di sekolah. Kita tidak perlu mempermasalahkan, nilai moral/budi
pekerti ini posisinya sebagai apa, nomor urut berapa. Sebagai mata pelajaran nomor wahid, atau hanya
sebagai bahan pertimbangan yang letaknya nomor buncit. Apalah arti tata urutan
jika penerapannya tidak konsisten. Tata urut kadang hanya membuat guru fokus
sesaat. Hanya menggugurkan kewajiban, sedang penerapannya ogah-ogahan. Dianggap
sebagai apapun, budi pekerti tetap jadi penentu nasib peserta didik.
Dalam penerapannya, pendidikan budi
pekerti tidak harus memerlukan sarana prasarana mahal. Tanpa sarana, pendidikan budi pekerti bisa
jalan. Apalagi ada sarana penunjang. Keberadaan
sarana berbasis ICT tentunya lebih memudahkan penyampainnya. Dengan ilustrasi
atau media elektronik, anak semakin gamblang
belajar dan mencerna kejadian-kejadian yang bisa dijadikan teladan. Tanpa sarana seperti itu, pendidikan budi pekerti tetap bisa eksis.
Guru adalah media paling tepat sebagai
panutan siswa. Guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Segala perbuatan guru menjadi cermin bagi
anak didiknya. Bagaimana murid bisa
bertutur baik, bertindak sopan santun jika gurunya berbuat berlawanan. Bagaimana siswa mau diajak belajar agama,
sementara gurunya hanya memerintah belaka.
Untuk itulah memanusiakan siswa dan mengasuhnya laksana anak sendiri
akan semakin mendekatkan ikatan emosi diantara guru dan siswa. Bersama-sama siswa melaksanakan apa yang
diperintahkan guru lebih memudahkan dan mempertinggi kepercayaan siswa kepada
gurunya. Dan mereka akan berkata, bahwa
gurunya tidak sekedar mengajari dan memerintah saja.
Kalaupun pendidikan budi pekerti dijadikan
mata pelajaran sendiri, para penentu kebijakan harus menyiapkan segala sesuatunya.
Mulai kurikulum, guru, dan sarana prasarana.
Kurikulum disusun berdasar karakteristik daerah atau sekolah dengan
mengutamakan pembinaan siswa yang paling
diperlukan dan yang berkaitan dengan hal-hal
krusial para remaja. Jangan
sampai melaunching program baru, tetapi perangkat pendukungnya belum disiapkan.
Melihat perkembangan jaman yang semakin
cepat, seyognya pendidikan budi pekerti ini perlu perhatian serius dari semua
pihak. Orang tua tidak boleh lempar
tanggung jawab, guru tidak boleh merasa paling kuasa, sekolah tidak sekedar
tempat penitipan, masyarakat tidak boleh
lepas tangan, Dinas Pendidikan juga jangan asal membuat program. Semua
perlu saling mengisi dan mengingatkan. Agar anak-anak ini selamat dari racun
pergaulan. Terhindar bujuk rayu setan dan tidak tergulung persaingan global. Kalahnya
persaingan bukan hanya pesat dan ketatnya persaingan kesejagadan. Tetapi kita
terlalu lambat dan hanya berkutat issue-issue lokal murahan. Ingat rusaknya budi pekerti bukan hanya karena
niat para siswa, tapi juga kelengahan kita semua. Waspadalah!Waspadalah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar