Ingin
jadi wakil rakyat atau pengusaha, tak perlu sekolah khusus. Tapi kalau ada yang
ingin jadi dokter, akuntan, arsitektur, dan pekerjaan yang butuh keahlian
khusus, pasti ada syarat pendidikan keahlian khusus yang harus dimilkii. Lantas
di manakah posisi pekerjaan guru? Jenis pekerjaan khusus atau bidang umum, yang
siapa saja bisa menjadi seorang pendidik? Nah ini yang saat ini jadi wacana
publik pendidikan. Sejak Kemendikbud mengeluarkan pernyataan bahwa untuk
menjadi guru (Guru PNS) tahun 2013 tidak harus keluaran LPTK, banyak kalangan
pendidikan dan calon pendidik yang kuliah di jurusan kependidikan mempertanyakan
kebijakan ini. Para calon guru harus menempuh PPG untuk memperoleh sertifikat
pendidik. Ijazah dan akta mengajar dari kampus jurusan kependidikan belum bisa
dijadikan jaminan kelayakannya untuk menjadi guru. Lulusan kependidikan harus
bersaing dengan lulusan non kependidikan. Mengapa pemikiran ini muncul? Jangan-jangan gagasan
ini terinpirasi Robert T Kiyosaki penulis Dad Rich, Dad Poor yang menulis If
You Wat To be Rich and Happy... Dont Go to School. Mau kaya, jangan sekolah. Asal kreatif punya
tekat, uang bisa datang dengan sendirinya. Ide ini akhirnya memunculkan
sentimen negatif, bahwa untuk menjadi guru tidak perlu lagi kuliah di jurusan
pendidikan. Siapapun bisa, asal lulus PPG.
Wajar saja wacana membuat mahasiswa yang
kuliah di kependidikan kuatir Bagaimana
tidak, jika yang dijadikan pegangan kemampuan akademis pada kompetensi
profesional, secara keilmuan lulusan non kependidikan semisal lulusan kedokteran, MIPA, akutansi
murni penguasaan materi boleh dikatakan lebih baik. Alasan sederhananya,
kemampuan awal mereka itu rata-rata lebih tinggi. Terbukti dulu ketika SNMPTN, kebanyakan
yang masuk jurusan kependidikan adalah mereka yang kalah bersaing dengan mereka
yang masuk jurusan-jurusan favorit. Kalau dulu profesi guru dipandang sebelah
mata, kelak profesi guru menjadi profesi alternatif utama bagi lulusan
akademisi favorit setelah mereka gagal mencari pekerjaan dengan keahlian ssuai
ijazah aslinya.
Kalangan
pendidikan sebenarnya cukup faham dengan rencana ini. Pemerintah juga beranggapan, bahwa untuk menghasilan out put
pendidikan yang baik diperlukan guru yang baik pula. Guru yang baik diperoleh
dari penjaringan bibit calon guru yang baik. Bibit yang baik berasal dari
proses pendidikan yang baik. Bukan berdasar lama magang /pengabdian yang
belakangan ini menjadi sebagian dasar perekrutan guru. Hal ini tidak lepas dari
sorotan banyak pihak terhadap kualitas pendidikan pada umumnya dan kualitas
pendidik pada khususnya. Salah satu parameter adalah hasil UKG. Jebloknya hasil UKG dan kualitas lulusan yang
belum menggembirakan, membuat pemerintah meradang. Bagaimana mau menghasilkan
generasi emas, jika koki pendidikannya saja belum menunjukkan kompetensi dan
kinerja memuaskan. Memang hasil UKG tidak secara frontal menggambarkan kualitas
guru. Gagal UKG bukan berarti guru tidak bisa mengajar dan mendidik. Tetapi
siapa pula mau memberikan garansi, jika kualitas guru/calon guru tidak baik
akan mampu meluluskan out put memuaskan. Oleh karena itu, sejak guru bersertifikat
profesional mendapat TPP, hal ini diharapkan mampu menjadi magnet lulusan SMA/K
memilih jurusan keguruan. Namun nampaknya, taktik ini terlalu lama dan belum
menampakkan gelagat menggembirakan. Maka diambillah jalan pintas, calon guru
tidak harus berasal dari program keguruan. Segala jurusan bisa asal sudah
menempuh PPG, yang berarti SIM menjadi guru sudah sah.
Tentunya
jika kebijakan ini berlaku akan ada rasionalisasi bidang pendidikan keguruan. Jika
pada saat ini kampus keguruan masih ramai menjadi pilihan, suatu saat tidak
lagi. LPTK harus mengubah platform dan regulasinya. Pepatah anda jual, saya
beli pantas dipakai. LPTK setidaknya harus mampu menunjukkan tajinya. Disamping
itu LPTK harus punya lobi kuat, agar hanya perguruan tinggi keguruan yang
berhak mengadakan PPG. Tidak ini saja, jika syarat menjadi guru PNS harus punya
sertifikat pendidik lewat PPG, lulusan mahasiswa program lama harus diberi hak
utama untuk mengikuti PPG. Waktunya lebih singkat, dan hanya kepada yang
berminat. Sehingga para lulusan angkatan lama mempunyai hak sama menjadi guru
PNS. Akta IV adalah SIM (Surat Ijin Mengajar) yang tidak boleh diabaikan begitu
saja. Akta IV adalah pengakuan legal calon pendidik. Jika sebelumnya pendidik
harus punya akta IV, seyogyanya mereka yang mengikuti PPG juga harus mempunyai
akta IV.
Sehingga
kebijakan keharusan calon guru mengikuti PPG bersinergi dengan keharusan
memiliki akta IV. Dengan pola ini pula dapat diterapkan pola kuota antara
mahasiswa kependidikan dan non kependidikan dalam mengikuti PPG. Untuk
menjaring calon peserta PPG, bagi mahasiswa juga diterapkan aturan. Misalnya
ada syarat minimal IPk, dan tes seleksi awal. Sehingga calon guru dari
mahasiswa kependidikan benar-benar terpilih yang kelak menjadi guru kompeten. Termasuk
juga bagi mahasiswa non kependidikan juga ada tes awal, terutama dari sisi
minat dan psikologisnya.
Karena
profesi guru adalah panggilan jiwa. Guru bukan pekerjaan alternatif. Mendidik
adalah seni memanusiakan manusia. Perlu hati untuk mendidik anak. Seorang
profesor belum tentu bisa memintarkan anak.
Tetapi seorang guru ndeso bisa mencetak calon profesor. Mereka yang kuliah kependidikan
sudah separuh guru. Kalau keamatiran mereka yang ditandai dengan ijazah dan
akta IV nantinya tidak dihargai sebagai separuh guru, itu memang nasib. Para
pemegang akta IV harus berlapang dana. Ibarat bayi, mereka harus dimasukkan
kerahim ibunya lagi agar lahir kembali dengan membawa sertifikat pendidik hasil
PPG. Bukan salah bunda mengandung.
Program PPG bagi calon guru tidak menjamin
meningkatan kulitas profesionalisme calon guru. Pemerintah dapat menempuh
beberapa kebijakan untuk mencetak guru berkompeten. Pertama, untuk guru yang
ada saat ini diberikan pendidikan dan pelatihan serta pendampingan berdasarkan
kualifikasi guru hasil UKG atau hasil supervisi pengawas. Kedua, untuk merekrut calon guru yang handal,
pemerintah dapat mencontoh program calon pegawai di kementerian lain, seperti
STPDN, AKABRI, AKPOL, STAN, dsb. Kemendikbud mendirikan sekolah khusus calon
guru dengan model ikatan dinas, mirip SPG jaman dulu. Bedanya, sekolah calon
guru ini setingkat dengan perguruan tinggi. Dengan Sekolah khusus guru ini,
calon guru yang berminat dan kompeten sudah terjaring sejak dini. Ketiga, untuk LPTK
yang terakreditasi diberi kewenangan memberi doble degree bagi lulusannya. Di
samping menerima ijazah dan Akta IV, mahasiswanya juga bisa menerima sertifikat
pendidik sama halnya sertifikat program PPG. Hanya saja waktu kuliah lebih
pendek, misal satu semester. Untuk materi yang sama antara mata kuliah di LPTK
dan program PPG SKS diakui. Sedang yang tidak ada, mahasiswa calon guru harus
menempuhnya. Model ketiga ini bisa mereda kegalaun hati mahasiwa kependidikan dan
memberi harapan mereka yang sudah dari awal berniat menjadi guru. PPG jangan
hanya program instan mencari guru terbaik. Kita mengaharap mencari guru sejati.
Guru yang dengan hati ikhlas mengadikan diri untuk anak negeri dengan
kompetensi diri yang tinggi, mempunyai etos kerja tinggi yang tidak bersandar
besaran gaji.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar