Jumat, 11 Maret 2016

Mencetak Guru Sejati dengan Double Degree



            Ingin jadi wakil rakyat atau pengusaha, tak perlu sekolah khusus. Tapi kalau ada yang ingin jadi dokter, akuntan, arsitektur, dan pekerjaan yang butuh keahlian khusus, pasti ada syarat pendidikan keahlian khusus yang harus dimilkii. Lantas di manakah posisi pekerjaan guru? Jenis pekerjaan khusus atau bidang umum, yang siapa saja bisa menjadi seorang pendidik? Nah ini yang saat ini jadi wacana publik pendidikan. Sejak Kemendikbud mengeluarkan pernyataan bahwa untuk menjadi guru (Guru PNS) tahun 2013 tidak harus keluaran LPTK, banyak kalangan pendidikan dan calon pendidik yang kuliah di jurusan kependidikan mempertanyakan kebijakan ini. Para calon guru harus menempuh PPG untuk memperoleh sertifikat pendidik. Ijazah dan akta mengajar dari kampus jurusan kependidikan belum bisa dijadikan jaminan kelayakannya untuk menjadi guru. Lulusan kependidikan harus bersaing dengan lulusan non kependidikan.  Mengapa pemikiran ini muncul? Jangan-jangan gagasan ini terinpirasi Robert T Kiyosaki penulis Dad Rich, Dad Poor yang menulis If You Wat To be Rich and Happy... Dont Go to School.  Mau kaya, jangan sekolah. Asal kreatif punya tekat, uang bisa datang dengan sendirinya. Ide ini akhirnya memunculkan sentimen negatif, bahwa untuk menjadi guru tidak perlu lagi kuliah di jurusan pendidikan. Siapapun bisa, asal lulus PPG.
Wajar saja wacana membuat mahasiswa yang kuliah di kependidikan kuatir  Bagaimana tidak, jika yang dijadikan pegangan kemampuan akademis pada kompetensi profesional, secara keilmuan lulusan non kependidikan  semisal lulusan kedokteran, MIPA, akutansi murni penguasaan materi boleh dikatakan lebih baik. Alasan sederhananya, kemampuan awal mereka itu rata-rata lebih tinggi. Terbukti dulu ketika SNMPTN, kebanyakan yang masuk jurusan kependidikan adalah mereka yang kalah bersaing dengan mereka yang masuk jurusan-jurusan favorit. Kalau dulu profesi guru dipandang sebelah mata, kelak profesi guru menjadi profesi alternatif utama bagi lulusan akademisi favorit setelah mereka gagal mencari pekerjaan dengan keahlian ssuai ijazah aslinya.
            Kalangan pendidikan sebenarnya cukup faham dengan rencana ini. Pemerintah juga  beranggapan, bahwa untuk menghasilan out put pendidikan yang baik diperlukan guru yang baik pula. Guru yang baik diperoleh dari penjaringan bibit calon guru yang baik. Bibit yang baik berasal dari proses pendidikan yang baik. Bukan berdasar lama magang /pengabdian yang belakangan ini menjadi sebagian dasar perekrutan guru. Hal ini tidak lepas dari sorotan banyak pihak terhadap kualitas pendidikan pada umumnya dan kualitas pendidik pada khususnya. Salah satu parameter adalah hasil UKG.  Jebloknya hasil UKG dan kualitas lulusan yang belum menggembirakan, membuat pemerintah meradang. Bagaimana mau menghasilkan generasi emas, jika koki pendidikannya saja belum menunjukkan kompetensi dan kinerja memuaskan. Memang hasil UKG tidak secara frontal menggambarkan kualitas guru. Gagal UKG bukan berarti guru tidak bisa mengajar dan mendidik. Tetapi siapa pula mau memberikan garansi, jika kualitas guru/calon guru tidak baik akan mampu meluluskan out put memuaskan. Oleh karena itu, sejak guru bersertifikat profesional mendapat TPP, hal ini diharapkan mampu menjadi magnet lulusan SMA/K memilih jurusan keguruan. Namun nampaknya, taktik ini terlalu lama dan belum menampakkan gelagat menggembirakan. Maka diambillah jalan pintas, calon guru tidak harus berasal dari program keguruan. Segala jurusan bisa asal sudah menempuh PPG, yang berarti SIM menjadi guru sudah sah.
            Tentunya jika kebijakan ini berlaku akan ada rasionalisasi bidang pendidikan keguruan. Jika pada saat ini kampus keguruan masih ramai menjadi pilihan, suatu saat tidak lagi. LPTK harus mengubah platform dan regulasinya. Pepatah anda jual, saya beli pantas dipakai. LPTK setidaknya harus mampu menunjukkan tajinya. Disamping itu LPTK harus punya lobi kuat, agar hanya perguruan tinggi keguruan yang berhak mengadakan PPG. Tidak ini saja, jika syarat menjadi guru PNS harus punya sertifikat pendidik lewat PPG, lulusan mahasiswa program lama harus diberi hak utama untuk mengikuti PPG. Waktunya lebih singkat, dan hanya kepada yang berminat. Sehingga para lulusan angkatan lama mempunyai hak sama menjadi guru PNS. Akta IV adalah SIM (Surat Ijin Mengajar) yang tidak boleh diabaikan begitu saja. Akta IV adalah pengakuan legal calon pendidik. Jika sebelumnya pendidik harus punya akta IV, seyogyanya mereka yang mengikuti PPG juga harus mempunyai akta IV.
            Sehingga kebijakan keharusan calon guru mengikuti PPG bersinergi dengan keharusan memiliki akta IV. Dengan pola ini pula dapat diterapkan pola kuota antara mahasiswa kependidikan dan non kependidikan dalam mengikuti PPG. Untuk menjaring calon peserta PPG, bagi mahasiswa juga diterapkan aturan. Misalnya ada syarat minimal IPk, dan tes seleksi awal. Sehingga calon guru dari mahasiswa kependidikan benar-benar terpilih yang kelak menjadi guru kompeten. Termasuk juga bagi mahasiswa non kependidikan juga ada tes awal, terutama dari sisi minat dan psikologisnya.
            Karena profesi guru adalah panggilan jiwa. Guru bukan pekerjaan alternatif. Mendidik adalah seni memanusiakan manusia. Perlu hati untuk mendidik anak. Seorang profesor belum tentu bisa memintarkan anak.  Tetapi seorang guru ndeso bisa mencetak calon  profesor. Mereka yang kuliah kependidikan sudah separuh guru. Kalau keamatiran mereka yang ditandai dengan ijazah dan akta IV nantinya tidak dihargai sebagai separuh guru, itu memang nasib. Para pemegang akta IV harus berlapang dana. Ibarat bayi, mereka harus dimasukkan kerahim ibunya lagi agar lahir kembali dengan membawa sertifikat pendidik hasil PPG. Bukan salah bunda mengandung.
Program PPG bagi calon guru tidak menjamin meningkatan kulitas profesionalisme calon guru. Pemerintah dapat menempuh beberapa kebijakan untuk mencetak guru berkompeten. Pertama, untuk guru yang ada saat ini diberikan pendidikan dan pelatihan serta pendampingan berdasarkan kualifikasi guru hasil UKG atau hasil supervisi pengawas.  Kedua, untuk merekrut calon guru yang handal, pemerintah dapat mencontoh program calon pegawai di kementerian lain, seperti STPDN, AKABRI, AKPOL, STAN, dsb. Kemendikbud mendirikan sekolah khusus calon guru dengan model ikatan dinas, mirip SPG jaman dulu. Bedanya, sekolah calon guru ini setingkat dengan perguruan tinggi. Dengan Sekolah khusus guru ini, calon guru yang berminat dan kompeten  sudah terjaring sejak dini. Ketiga, untuk LPTK yang terakreditasi diberi kewenangan memberi doble degree bagi lulusannya. Di samping menerima ijazah dan Akta IV, mahasiswanya juga bisa menerima sertifikat pendidik sama halnya sertifikat program PPG. Hanya saja waktu kuliah lebih pendek, misal satu semester. Untuk materi yang sama antara mata kuliah di LPTK dan program PPG SKS diakui. Sedang yang tidak ada, mahasiswa calon guru harus menempuhnya. Model ketiga ini bisa mereda kegalaun hati mahasiwa kependidikan dan memberi harapan mereka yang sudah dari awal berniat menjadi guru. PPG jangan hanya program instan mencari guru terbaik. Kita mengaharap mencari guru sejati. Guru yang dengan hati ikhlas mengadikan diri untuk anak negeri dengan kompetensi diri yang tinggi, mempunyai etos kerja tinggi yang tidak bersandar besaran gaji.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar