Jumat, 08 September 2017
PAJAK PENULIS DAN NASIB BANGSA
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawan.
Bangsa yang cerdas, adalah bangsa yang banyak membaca.
Nyambung enggak ya? terserah. Tetapi kenyataanya demikian. Banyak kisah bangsa dan orang-orang sukses berkah dari membaca. Dengan membaca akan membuka cakrawala pikir sesorang. Dengam membaca orang tahu kekurangan diri dan termotivasi untuk maju menjemput masa depan.
Para pendiri bangsa inipun menyadari hal ini. Makanya dalam pembukaan UUD 1945, tercantumlah salah satu tujuan kemerdekaan itu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa... Bagaimana kenyataan pendidikan Indonesia saat ini?
Berprestasi? Boleh juga. Terpuruk? silahkan selidiki dulu. Yang jelas, kalau disimak dari berbagai survei internasional, prestasi pendidikan kita masih di peringkat bawah. Termasuk juga dalam hal kemampuan berhitung dan kemampuan bahasanya. Hal ini sebenarnya mudah bagi kita, mengapa hal ini terjadi. Budaya membaca buku jauh dari harapan. Tetapi kalai membaca staus bersosmed ria, Indonesia termasuk jago.
Lantas apa sebabnya? Salah satunya ya karena gerakan membaca itu sendiri kurang greget. Baru sekadar gerakan, kurang action. Dibutuhkan sarana prasarana pendukung, termasuk buku. Dalam hal produktifitas jumlah judul buku saja kita kalah jauh dari negeri tetangga.
Untuk perlu dirangsang, agar muncul buku-buku baru berkualitas. Penulis perlu insentif agar produktif. Caranya? Tidak perlu diberi modal uang, tetapi diberi kemudahan dan wadah berapresiasi. Salah satunya jangan dibebani pajak terlalu tinggi. Dulu, ketika olah raga belum bisa dijadikan pegangan hidup, orang ogah-ogahan berprestasi maksimal. tetapi setelah olah raga bisa jadi ladang hidup, anak-anak muda pun tidak canggung lagi memilih olah raga untuk jalan hidupnya. Termasuk bermusik.
Nah, kalau menulis juga mendapat angin segar dalam berkarya, alangkah indahnya dunia literasi Indonesia. Penulis bisa produktif dan nyaman berkarya. Mendapat perlindungan dari para pembajak, tidak menjadi obyek pajak yang memberatkan dan tentunya berperan penting dalam menentukan nasib bangsa.
Iqra'... itu wahyu pertama. Bisa menjadi rahmatal lil'alamin saat kalam Allah itu dalam bentuk kitan suci yang bisa dipegang dan diresapi dalam hati. Menuntun pikiran untuk berpikir dan bertindak yang benar.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar