Tulisan ini saya buat tanggal 29 Mei lalu sebelum kabar Kecurangan Unas dihembuskan. Dan saya kirim ke majalah Media Dinas Pendidikan Jatim dan terbit pada Edisi Juli 2009 ini. Bukan bermaksud membuka dapur sendiri. Ini terlebih sebagai otokritik pada dunia pendidikan. Jangan sampai kita berbangga dengan hasil Unas yang baru diumumkan. Sementara kita (Para pemimpin dan guru) tahu sendiri bagaimana proses Unas itu berlangsung. Selengkapnya tentang Unas dan standarisasinya saya kupas berikut ini............
Apapun makanannya, minumnya air juga. Berapapun standar nilai unas , akhirnya lulus juga. Tak peduli bagaimana menempuhnya. Ungkapan yang banyak diucapkan siswa menjelang unas. Seolah mereka merasa bahwa nanti pasti lulus sekolah. Toh setiap tahun standar nilai kelulusan dinaikkan, yang tidak lulus semakin sedikit. Berita kenaikan standar nilai kelulusan bukan hal yang perlu dipusingkan. Bagaikan angin lalu, tidak membekas. Berlalu tanpa makna. Meski tidak sedikit yang was-was dengan kenaikan standar kelulusan ini.
Padahal guru dan pihak sekolah merasa sangat kuatir dengan murid-muridnya. Dengan standar nilai kelulusan tahun sebelumnya yang lebih rendah dari tahun 2009 saja masih banyak yang tidak lulus. Bagaimana kalau standar kelulusannya dinaikkan? Apakah kenaikan ini hanya berdasarkan target, tanpa analisa matang? Atau guru dan siswa dianggap makhluk sakti? Setiap tahun mampu mengejar kenaikan standar nilai kelulusan yang melaju seperti barisan aritmetika? Apakah nilai unas tahun sebelumnya dianggap angka-angka yang valid, pertanda semakin baik SDM kita? Sering, nilai kelulusan sulit membedakan. Mana anak berkompetensi tinggi sebenarnya dengan anak-anak penggembira unas. Nilai-nilai unas yang tinggi bagaikan fatamorgana kenaikan mutu lulusan. Kualitas pendidikan nasional tertipu dibalik gemerlap prosentase kelulusan dan nilai-nilai unas yang menggelembung tinggi.
Sekolah berusaha sekuat tenaga agar anak-anak mereka kelak dapat menempuh unas dengan lancar. Bimbingan intensif dan bimbingan spiritual termasuk istighosah pun rutin dilakukan. Unas bak ancaman atau musibah besar yang akan melanda negeri ini. Lalu apa tanggapan anak-anak? Mereka tak seperti yang dibayangkan guru. Mereka tidak segera mempersiapkan diri. Santai dan cenderung mengentengkan. Meski dari beberapa kali try out, masih banyak yang tidak lulus. Nasehat guru dianggap sekedar menakut-nakuti. Mereka lebih percaya wasiat yang diwariskan kakak-kakak alumni. Bahwa selama unas banyak kejadian aneh. Wasiat itu terbukti manjur bagai candu. Meresap dan menghipnotis anak-anak untuk santai-santai saja menghadapi unas. Begitu pengumuman tiba, mereka pun berkata. “Nah, benar kan. Yang tidak lulus sedikit. Di sekolah kita saja lulus 100%. Si Fulan yang tidak biasa ngitung saja matematikanya dapat 10. Si Anu yang jago matematika cuma dapat 9. Mending kalau mau unas nyantai. Tapi hasilnya aduhai.” Salahkah mereka? Atau kita para guru bertanya, mengapa?
Kebebasan bekerjasama, membawa HP, SMS berantai, bahkan oknum guru bak dewa penolong yang terang-terangan memberikan kunci jawaban gratis segila-gilanya menjadi pertanda betapa unas telah mengubah banyak perilaku orang. Pesan tak bermoral dari penyiasatan aturan-aturan unas. Sering anak-anak ini memperhatikan proses unas yang dari tahun ke tahun seperti hanya rutinitas ceremonial kelulusan belaka. Demi suksesnya wajib belajar. Betapa pandainya anak-anak membaca ketakutan guru, kepala sekolah dan para pengambil kebijakan yang kuatir banyak anak-anaknya tidak lulus. Bahkan dengan kasat mata para siswa menangkap peluang pobia unas ini. Apalagi anak-anak langsung mendapat doktrin. Mulai wejangan guru agar hidup tolong menolong, hingga pengaturan pola-pola strategi sistematis yang dirancang jauh hari sebelum unas.
Padahal fakta menunjukkan, banyak pelaku kecurangan yang harus berurusan dengan pihak berwajib, sampai menginap di hotel prodeo. Ditambah korban-korban unas yang tidak lulus. Unas memang mampu menjadi magnet banyak kalangan untuk fokus dalam even tahunan hajat dunia pendidikan. Sayang hajatan ini dikhianati. Bangsa kita belum siap menerima perubahan dan kekalahan. Berbagai pertimbangan terkait unas belum mampu menjamin keterlaksanaan unas sesuai yang dicita-citakan. Di tengah kontroversi pelaksanaan unas, kita seyogyanya segera menyikapinya.
Pemerintah memang mempunyai dasar pelaksanaan unas UU no 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas dan Permendiknas no 20 tahun 2007 tentang standar penilaian. Dalam permendiknas tersebut dinyatakan bahwa hasil unas sebagai salah satu penentu kelulusan siswa. Dengan pijakan ini, unas diharapkan mampu memacu semangat belajar siswa untuk meningkatkan mutu pendidikan. Akankah aturan produk manusia itu juga mengorbankan manusia dalam arti luas? Boleh-boleh saja unas dilaksanakan untuk menstandarisasi mutu pendidikan nasional. Meski standar itu dirasa setengah dipaksakan. Bagaimana tidak? Daerah dengan fasilitas dan input berbeda (jauh) diberlakukan sama dengan daerah maju. Meski soal yang dibuat sudah diklasifikasi tingkat kesulitannya.
Untuk itu hasil unas janganlah menjadi dasar utama memvonis seseorang gagal menempuh jenjang sekolah yang sudah dijalani selama 3 tahun. Pelaksanaan unas beserta hasilnya yang menimbulkan kontradiktif dan kontra produktif seyogyanya dievaluasi. Hasil unas bisa dipakai untuk parameter mutu pendidikan. Unas masih perlu dilaksanakan. Tapi kelulusan bukan mutlak tergantung kepadanya. Nilai boleh menjadi target, tapi batas nilai jangan dijadikan harga mati penentu kelulusan. Sebaiknya dibiarkan apa adanya, seperti jaman dulu. Pola jadul (jaman dulu), tapi menghasilkan bibit unggul. Kelulusan bisa ditentukan dengan aturan-aturan yang dibuat sekolah, termasuk menggunakan hasil unas. Sekolah mempunyai hak otonom menentukan kelulusan dengan rambu-rambu pendidikan sesuai nafas KTSP. Seleksi ilmiah menjadi filter bagi anak-anak berkompetensi untuk menggunakan hasil unasnya memasuki jenjang pendidikan lebih tinggi.
Naiknya standar nilai kelulusan pada akhirnya dirasa lebih banyak menjadikan beban daripada menjadi tantangan. Untuk itu kebijakan ini perlu kajian lebih dalam. Berbagai penyimpangan yang terjadi selama unas, sudah cukup membuat dunia pendidikan prihatin. Sekedar memperoleh cap lulus, nama baik, harga diri atau mungkin menyelamatkan kedudukan. Bangsa ini telah diracuni perselingkuhan moral. Moral bangsa digadaikan. Bahkan unas menjadi komoditi politik dan kekuasaan. Kalau kita tidak segera berbenah, maka kehancuran negeri ini di masa depan tinggal menunggu waktu. Dan kita akan mengalami lost generation. Setiap perubahan perlu pengorbanan. Tidak perlu takut jatuh korban, dari pada timbul korban lebih besar di masa depan. Sudah puaskah kita dengan kondisi sekarang? Ataukah kita nanti akan meradang, menyesal karena terlambat menyadari dari sekarang? Segera berbenah atau bangsa ini akan bubrah! Wallohu’a’lam.
Rabu, 08 Juli 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar