Sesuatu yang gratis sering berkonotasi dengan kualitas buruk. Seperti ungkapan ada harga ada rupa. Tanpa uang jangan harap mendapat pelayanan terbaik. Akankah pendidikan gratis juga demikian? Kita tidak boleh apriori. Malah sebaliknya, dengan BOS seharusnya anak lebih terpacu berprestasi. Karena fakta menunjukkan, dengan BOS banyak anak bangsa terbantu pendidikannya.
Hanya saja, di sana-sini masih terdengar kabar miring. Peruntukan BOS tidak tepat sasasaran dan waktu pencairan. Malah ada yang diselewengkan. Malah ada yang akhirnya harus berurusan dengan hukum. Hal ini yang akhirnya menimbulkan pertanyaan. Sekolah atau sistem yang salah? Ketika sekolah membelanjakan anggaran tentunya menggunakan rambu-rambu yang ada. Jadi kalau tetap salah berarti ada miss. Perbedaan tafsir terhadap kalimat yang tertera pada buku panduan penggunaan BOS antara sekolah dengan manager BOS ataupun pihak inspektorat.
Banyak contoh temuan yang membuat sekolah kelimpungan. Ketika Badan Pemeriksa Keuangan melakukan pengawasan, pihak BPK berpegangan dan menerjemahkan secara kaku apa yang tersurat pada buku panduan BOS. BPK tidak mau tahu dengan aplikasi riil di lapangan. Misalnya, banyak kegiatan siswa tidak bisa di spj-kan. Distribusi BOS baru dengan proporsi 30% untuk barang modal, 50% belanja barang dan jasa dan 20% untuk transport dan honor nampaknya juga mempersempit gerak sekolah menerapkan manajemen berbasis sekolah. Bagaimana jika sekolah (negeri dan swasta) mempunyai banyak GTT/PTT dan bukan tenaga honorer ber-SK Bupati/Walikota? Hanya tergantung dari honor sekolah lewat BOS? Rasanya para GTT/PTT ini harus siap gigit jari atau di-PHK massal karena terbatasnya dana untuk honor. Atau terpaksa bertahan dengan honor seadanya sambil menunggu kebijakan baru, syukur masuk data base.
Sekolah pun kadang terpaksa ngutang. Disebabkan belum bisa mencairkan dana BOS karena spj belum rampung. Bendahara masih mengotak-atik angka agar spj-nya klop. Bendahara bekerja ekstra menyelesaikan pertanggungjawabannya kalau tidak mau kena semprit. Ancaman Kemendiknas memotong anggaran pendidikan bagi daerah yang terlambat menyalurkan BOS menambah beban psikologis pengelola BOS. Untuk memperoleh pendidikan gratis ternyata harus ditempuh melalui jalan berliku. Subsidi pendidikan benar-benar menguras tenaga dan pikiran. Bagaimana jika sanksi Kemendiknas itu benar-benar diterapkan? Siapa yang disalahkan? Akanakan subsidi pendidikan tergerus hanya gara-gara keterlambatan administrasi? Ini berarti menciptakan subsidi bermata dua. Berniat membantu tetapi mempersulit kinerja di lapangan.
Maka tidak aneh, ketika Kemendiknas memwarning daerah yang belum menyalurkan BOS akan diberi sanksi, banyak daerah protes. Selaian mepetnya sosialisasi, rumitnya administrasi menjadi alasan utama pemerintah yang lambat menyalurkan BOS keberatan. Jika diberi sanksi pemotongan anggaran pendidikan pada tahun depan. Protes yang akhirnya ditanggapi Kemendiknas dengan memberi pendampingan kepada daerah.
Terkait subisidi pendidikan dalam bentuk BOS itu sendiri, sebenarnya masih perlu dikaji lagi. Efek pendidikan gratis dengan BOS tidak mendidik masyarakat. Menghilangkan tanggung jawab masyarakat, terutama orang tua mampu. Subsidi hanya untuk yang benar-benar tidak mampu setidaknya perlu menjadi pijakan. Seperti halnya listrik dan BBM. Kalimat di depan bahwa untuk memperoleh sesuatu yang bagus tetap perlu dana ada benarnya. Dan pendidikan bisa meniru apa yang dilakukan pemerintah ketika menaikkan harga BBM. Bagi warga tidak mampu diberi Bantuan Langsung Tunai (BLT). Sedang yang mampu tetap harus mengeluarkan biaya. Hanya saja karut marut seputar BLT kala itu perlu menjadi perhatian.
Yaa, BOS model BLT adalah alternatif pembiayaan pendidikan berkualitas untuk semua. Yang kurang mampu terbantu, yang mampu mempunyai tanggung jawab berbagi dengan sesama. Dengan BOS model BLT, setidaknya sekolah berkurang beban kerja dan psikologisnya. Bisa dirasakan sekolah utamanya bendahara BOS, bagaimana susahnya membuat SPJ. Tidak jarang para bendahara ini harus lembur larut malam, layaknya pegawai bank atau akuntan publik. Tidak hanya pagawai tata usaha, guru pun juga kecipratan jadi bendahara BOS. Tugas maha berat melebihi tugas pokok guru sebagai pendidik. Jangan heran jika pada akhirnya banyak bendahara ini mengalami stress berat. Masuk rumah sakit dan terkena stroke. Honor yang diterima tidak sepadan dengan beban kerja. Saking beratnya, ada usulan dalam gagasan Jawa Pos agar sekolah mengangkat tenaga pengelola khusus BOS berlatar belakang akuntan.
Di lapangan, adanya BOS bukan berarti semakin mudahnya menyediakan pelayanan terbaik bagi pendidikan. Penetapan ratio penggunaan BOS memaksa sekolah memeras otak. Pembatasan untuk pembinaan siswa.saja dirasa semakin sulit meningkatkan prestasi siswa. Memang, guru adalah PNS yang sudah mendapat gaji rutin setiap bulan. Namun juga wajar guru mendapat intensif untuk tugas ekstra. Alasan guru tidak boleh diberi intensif lagi karena sudah mendapat tunjangan sertifikasi tidak tepat. Karena belum semua guru menikmatinya.
Oleh karena itu mekanisme penyaluran dana BOS perlu diubah. Agar program pendidikan gratis tidak salah sasaran dan tidak membuat masyarakat dininabobokkan. Anak-anak orang mampu tidak sepantasnya menerima bantuan. Dana BOS disalurkan langsung ke orang tua tidak mampu melalui desa atau rekening, tidak lagi langsung ke sekolah. Seperti model BLT (Bantuan Tunai Langsung) sebagai kompensasi kenaikan BBM.
Pemerintah daerah bersama sekolah melakukan pemetaan terhadap orang tua tidak mampu yang layak menerima bantuan. Sekolah menghitung biaya standar pendidikan dan kebutuhan pendidikan rata-rata setiap anak. Hasilnya diajukan ke pemerintah daerah untuk dikaji dan disahkan. Bantuan yang diberikan minimal sebesar perhitungan. Setelah diterimakan, orang tua membayarkannya ke sekolah. Sedang bagi yang mampu biaya pendidikannya swadana. Laporan penggunaan dari penerima BOS model BLT ini cukup dari bukti penerimaan yang dibuat desa berdasarkan penggunaan oleh orang tua siswa. Dengan demikian sekolah tidak terlalu disibukkan dengan spj.
Kalaulah akhirnya BOS dengan mekanisme apapun pemerintah daerah tetap terlambat menyalurkan biaya pendidikan, pemda tetap diberi sanksi. Tetapi jangan yang langsung berhubungan dengan hajat hidup masyarakat seperti pendidikan. DAU untuk biaya operasional dan pengadaan barang serta jasa ditunda pencairannya. Jika ini diberlakukan akan menjadi sock terapy. Siapa pun kepala daerah kan berpikir 1000 kali jika dana pegawai tidak terbayarkan gara-gara BOS tidak cair. Di era demokrasi Pilkada, pencitraan publik akan menentukan nasib seorang pemimpin. Dan BOS dapat sebagai kartu As. Semoga BOS tidak menjadi alat politik.
Sabtu, 11 Juni 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
BOS itu singkatan Biarkan Orang Sengsara..... hehehehehehehe sori yo kang...guyon kok....
BalasHapusBenar memang kenyataan di lapangan BOS banyak membuat pelaku pendidikan (Kepsek, Bendahara)seringkali pekerjaan menyelesaikan SPJ justru melebihi tugas utama guru,....
BalasHapusyg terjadi hampir semua bendahara BOS ketika mengalami mutasi "KAPOK" kalau disuruh jadi bendahara lagi...