I
love you full, school. Ungkapan bagi sekolah bak kekasih yang selalu merindu.Tempat
menuntut ilmu, mencurahkan isi hati, mengekspresikan diri dan menorehkan
prestasi. Siswa, guru dan sekolah
laksana pasangan kekasih dan bahtera yang bersimbiosis mutualisme. Saling berbagi dan membutuhkan untuk menciptakan keharmonisan yang memancarkan sinar terang.
Seiring dinamika kehidupan yang kian
menuntut kecepatan, ketepatan dan kewaspadaan, perkembangan intelektual,
emosional, spiritual dan kreatifitas siswa menjadi fokus dalam pendidikan. Peran orang tua pun dari hari ke hari
semakin tergerus. Baik oleh kesibukan mereka atau pergaulan anak-anak yang kian
bebas. Agar kebebasan anak ini terkoordinir dan bermanfaat
perlu wadah yang tepat. Daripada menciptakan wadah baru yang menghabiskan banyak
waktu dan tenaga, maka sekolahlah media tepat bagi penyelenggaran pendididkan
plus dengan menambah waktu belajar di sekolah yang dikemas dengan nuansa Full Day
School. Dengan Full Day School, kegiatan anak-anak lebih terorganisir baik
pengelolaan waktu ataupun muatan materinya. Orang tua pun tidak lagi terlalu
disibukkan dengan pengawasan ataupun memberikan tambahan bekal ilmu lain,
terutatama budipekerti dan agama.
Tentu
saja kebijakan Full Day School ini mempunyai banyak konsekuensi. Tidak hanya
dari segi biaya, pembagian waktu di sekolah dan kegiatan rumah yang mungkin
saja berkaitan dengan kehidupan para siswa bisa menimbulkan efek negativ. Meski
anak-anak sekolah “dilarang” mencari uang, tetapi tidak dipungkiri masih banyak siswa kita yang
di luar waktu sekolah membantu kehidupan ekonomi keluarga. Bahkan untuk biaya
sekolah mereka sendiri.
Untuk
pemberlakuan Full Day School tidak dapat serta merta untuk semua jenjang sekolah
atau seluruh sekolah dalam jenjang sama.
Faktor sosial ekonomi dan
demografi harus dipertimbangkan. Memang, dengan pemberlakuan ke semua jenjang,
sekolah akan memudahkan koordinasi. Baik dari sisi birokrasi, kurikuler
maupun ektrakurikuler. Tetapi di sisi lain, masih ada sekolah yang tidak
siap melaksanakannya. Baik faktor sarana
prasarana, guru bahkan siswa itu sendiri.
Apalagi untuk anak-anak di tingkat dasar.
Di tingkat dasar, anak-anak yang masih
banyak membutuhkan kasih sayang orang tua, bisa tergerus haknya. Selain
itu sebagai anak dalam taraf bermain, pemberlakuan Full Day School berdampak
hilangnya masa emas itu. Masa
penting dalam perkembangan mental dan intelektual anak di masa depan.
Kalau toh Full Day School dipaksakan
pelaksanaannya, tentu akan ada konsekuensi logis. Konsekuensi yang
cenderung mengurangi makna Full Day School itu sendiri. Kurangnya
tenaga guru berkompeten jelas-jelas menampar wajah sekolah. Apalagi sarana
prasarana tidak lengkap. Untuk itu perlu
strategi jitu menyiasati minimya SDM guru.
Sekolah bisa memanfaatkan komite sekolah untuk membantu mengangkat
tenaga baru yang kompetensinya sesuai kebutuhan. Jika program berkaitan dengan pengayaan
ataupun penambahan muatan baru, sekolah
bisa memanfaatkan orang tua siswa yang mempunyai keahlian khusus untuk mengisi
kegiatan full day school. Menjadikan
orang tua siswa sebagai bagian learning community. Sekolah memprogramkan parents day dalam full
day school. Sekolah hendaknya
menyelenggarakan Full Day School sesuai kemampuan sarana yang dimiliki. Sekolah pun dapat memanfaatkan potensi yang
ada di sekitar sekolah untuk menunjang kegiatan Full Day School.
Kemampuan
otak yang terbatas, situasi lingkungan yang kurang mendukung acapkali menjadi
penyebab gagalnya menciptakan suasana
pembelajaran yang kondusif. Perlu kiat mengatur strategi pembelajaran yang
menyenangkan. Pergantian suasanan dan
penciptaan pembelajaran kontekstual bernuansa persahabatan dan menyenagkan akan
memudahkan guru. Pembelajaran sekolah yang identik indoor bisa diubah
outdoor. Penggunaan media interaktif
termasuk multimedia juga bisa dipakai, agar siswa dapat memvisualisai dan
mencerna materi lebih mudah.
Meskipun
demikian pelaksanaan Full Day Scholl jangan diiibaratkan membangun gunung
mencipta jurang. Keinginan meningkatkan intelektualitas, dengan tanpa
terasa memisahkan ikatan batin antara anak dengan orang tua. Bagi orang tua
sibuk, ini bukan masalah. Weekend dirasa sudah cukup memenuhi kebutuhan ruhani
dan curahan hati. Meski hal ini belum
menunjukkan penciptaan ikatan batin dan membangun watak anak.
Bagi yang lain, anak akan semakin terasing
dengan orang tuanya sendiri. Terlebih
setiba di rumah anak masih diracuki berbagai les privat dan seabreg kegiatan
lain. Full Day School yang diharapkan tidak menambah
beban pelajaran di rumah, tetapi karena budaya dan rasa kekurangpercayaan
masyarakat/orang tua terhadap penyelenggaraan pembelajaran di sekolah
seringkali memberi beban tambahan sendiri bagi anak. Walau pelaksanaan full Day School sudah mengkonsep
tidak ada pekerjaan yang di bawa pulang.
Semua tugas sudah diselesaikan di sekolah dan siswa mendapat tambahan
muatan unggulan sekolah bersangkutan.
Budaya orang tua yang pasrah bongkokan,
menyerahkan sepenuhnya anak-anak mereka kepada sekolah kadang melupakan tanggung jawab mereka sendiri dalam
mendidik putra putrinya. Terutama dalam
menjalin hubungan mesra antara orang tua dan anak. Keterbatasan waktu yang
dimiliki orang tua dapat disiasati dengan membuat parents day di sekolah.
Dengan demikian anak akan merasa masih ada perhatian dan keterikatan batin. Orang tua juga bisa membuat jejaring sosial
dengan pihak sekolah, agar perkembangan
jiwa dan akademis terpantau. Ketersedian
jejaring sosial dalam dunia maya dapat juga dipakai sebagai upaya membentuk jalinan kasih sayang. Perlu diingat pula, canggihnya teknologi
tidak akan dapat menggantikan kedudukan orang tua. Menyempatkan waktu dengan
sedikit mengorbankan ego orang tua diantara kesibukkan merupakan solusi cantik
agar anak merasa masih mempunyai orang tua.
Agar tidak muncul anggapan bahwa Full Day School ibarat taman penitipan anak, wadah pelarian
tanggung jawab orang tua.
TULISAN DIMUAT DI MAJALAH MEDIA edisi Agustus 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar