Kurikulum bukan kitab suci. Kurikulum merupakan dokumen hidup yang setiap waktu bisa saja berubah. Setidaknya hal itu bisa dirasakan pada pemberlakuan kurikulum 2013. Maka bukan hal mengejutkan kalau sejak 3 tahun lalu dilaunching, beberapa kali direvisi. Respon guru yang sering terdengar : yang lama belum lancar, disuruh mempelajari, memahami dan menerapkan versi baru.
Yang terakhir tentu para guru mengira, terbitnya Permendikbud 53 tahun 2015 merupakan revisi final kurikulum 2013. Penilaian yang sebelumnya menjadi biang kerok tersendatnya implementasi kurikulum 2013 telah banyak pemangkasan. Dibuat mendekati harapan guru. Hal itu selintas dapat dilihat pada Pedoman Penilaian yang diterbitkan oleh Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah.
Nah, yang jadi pertanyaan, sudahkah pedoman itu mengatur dengan jelas dan tegas agar tidak menimbulkan bias pemahaman. Mengapa? Ya, karena kalau dipelajari dengan seksama, pedoman penilaian itu masih banyak celah dan multi tafsir. Sehingga Pak Tirto Adi pun angkat bicara, tentang bagaimana penilain K13 masih menimbulkan hiruk pikuk di lapangan (Jawa Pos 2 Juni 2016). Seperti diungkap pak Tirto, Permendikbud no 53 beserta pedoman penilaiannya belum bersinergi dengan baik. Rilisnya saja menimbulkan keanehan, ditengarai pedoman penilain terbit lebih dulu. Karena tertanggal 14 Desember 2015, sementara Permendikbud baru diundangkan tanggal 15 Desember 2015, meski sudah ditetapkam tanggal 11 Desember 2015.
Penulis sepakat dan menambahkan beberapa hal janggal serta perlu adanya perbaikan setidaknya penjelasan serta penegasan dalam penilaian. Karena aneh, sebuah pedoman diberlakukan nasional tanpa dasar hukum jelas. Di dalam pedoman penilaian untuk SMP dari direktorat (hal 3) tidak tercantum landasan hukum Permendikbud nomor 53 tahun 2015 sebagai pijakannya. Pada lampiran hasil belajar, untuk rapor siswa dicantumkan KKM tunggal di bagian atas (lihat bagian yang dilingkari pada pedoman penilaian SMP hal 61 di bawah ini) .
Bagaimana mungkin KKM pengetahuan dan ketrampilan untuk semua mata pelajaran sama. Bukankah daya dukung dan kompleksitas antar mata pelajaran berbeda?
Apalagi Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah pada panduan penilain untuk SMA (hal 61) juga mencontohkan bahwa sebuah satuan pendidikan bisa membuat KKM dan interval predikat berbeda untuk mata pelajaran yang ditetapkan satuan pendidikan. Dan ada keterangan bahwa nilai KKM merupakan nilai minimal untuk predikat Cukup. Sayang dibagian akhir ada kalimat kontradiksi : “Berkaitan hal tersebut diharapkan satuan pendidikan dapat menentukan KKM yang sama untuk semua mata pelajaran.” Aneh!
Ketika penulis mengikuti TOT instruktur Kurikulum 2013 akhir Mei 2016 di LPMP Surabaya, hal ini menjadi bahan diskusi hangat. Beberapa sekolah menyikapinya dengan pemahaman dan solusi beragam. Ada sekolah yang membuat rata-rata KKM dari seluruh mata pelajaran, ada juga yang mengambil KKM terendah sebagai KKM tingkat satuan pendidikan. Menurut hemat penulis, pencantuman KKM dalam rapor sebagai penerjemahan pasal 9 bagian b Permendikbud no 53 tahun 2015 yang menyatakan : “KKM yang harus dicapai oleh peserta didik ditetapkan oleh Satuan Pendidikan” sebaiknya tetap per mata pelajaran dengan membuat satu kolom tambahan. Bisa jadi untuk satu mata pelajaran, KKM pengetahuan dan ketrampilan berbeda. Penulisan bagian diskripsi juga dibuat lebih lebar agar tulisan lebih jelas. Bentuk tabelnya bisa dibuat berbentuk seperti berikut :
NO |
MATA PELAJARAN |
ASPEK |
CAPAIAN |
DESKRIPSI |
||
KELOMPOK A |
|
KKM |
Angka |
Predikat |
|
|
1 |
Pendidikan Agama dan Budi Pekerti(nama guru) |
Pengetahuan |
|
|
|
|
Ketrampilan |
|
|
|
|
||
2 |
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan(nama guru) |
Pengetahuan |
|
|
|
|
Ketrampilan |
|
|
|
|
Nama guru pada rapor yang dulu ada kemudian dihilangkan, juga perlu dicantumkan kembali sebagai wujud tanggung jawab guru dan pendidikan budi pekerti. Agar siswa sekarang atau nanti tetap mengenang dan menghormati guru. Hal ini juga cocok dengan pengalaman Bu Yuni saat studi banding ke Tiongkok beberapa waktu lalu yang dimuat di Media edisi Pebruari 2016.
Hal lain yang bisa membuat kebingungan adalah perbedaan rentang untuk predikat antara yang diterbitkan Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah dengan Pusat Penilaian, seperti pada tabel di bawah ini.
|
Dirjendasmen |
Pusat Penilaian Pendidikan |
Predikat dan Rentang |
Sangat Baik (A) : 86-100Baik (B) : 71 – 85Cukup (C) : 56 – 70Kurang (D) ≤ 55 |
Sangat Baik (A) : 86-100Baik (B) : 70 – 85Cukup (C) : 56 – 69Kurang (D) : ≤ 55 |
Pengesahan |
14 Desember 2015 |
Januari 2016 |
Nggeh sangat sangat perlu dicermati lagi Pak. Masukan Bapak semoga bisa di dengar penyusun kebijakan Kurikulum.
BalasHapusya pak erik. kemarin waktu di LPMP saya sudah berdiskusi dengan pak Anang. Salah satu jawaban pusat, yang ada di panduan direktorat itu contoh, sekolah bisa mengembangkan sendiri sesuai dokumen 1 sekolah. Tetapi kebanyakan sekolah kalao sudah ada panduan, yaa itu yang dipakai. semoga ada keputusan yang tidak membingunkan
BalasHapussaya mau tanya pak. bagaimana interval predikat jika KKM = 65, KKM = 70, KKM = 75 ?
BalasHapusTerima kasih pak.