Blunder! Itulah kata yang tepat bagi kebijakan pemerintah terkait UU BHP. Sebuah ironi, ketika digaungkan pendidikan berkualias untuk semua, sementara untuk mengenyam pendidikan tinggi dirasa semakin sulit diraih.
Putra seorang dosen sebuah PTN di Jawa Tengah diterima di fakultas kedokteran PTN tempat ayahnya bekerja. Kabar gembira yang terpaksa harus disambut senyum kecut. Karena untuk registrasi harus membayar puluhan juta rupiah. PTN tersebut tidak mau kompromi. Uang sumbangan tidak boleh ditawar ataupun diangsur. Tidak ada KKN diantara kita, begitu semboyan panitia. Patut diacungi jempol untuk semangat anti KKN. Tetapi, acungan jempol itu kemudian terpaksa dibalik, karena aturan yang dibuat mengkebiri semangat pendidikan berkualitas untuk semua. Akhirnya putra dosen tersebut tidak kuliah di PTN tempat ayahnya bekerja.
Apakah anak-anak lain yang mau masuk perguruan tinggi akan senasib demikian? Jika mencermati UU BHP yang baru saja dilaunching, kiranya akan semakin banyak anak-anak bangsa dengan bekal ekonomi pas-pasan tidak bisa masuk perguruan tinggi. Meski ada pasal yang memberi peluang bagi (calon) mahasiswa memperoleh keringanan. Akankah hal ini terwujud dengan mudah?
Dengan label Badan Usaha, nilai profit dan gengsi menjadi tameng bagi PT untuk mempersulit mengajukan keringanan. Sebelum terbit UU BHP saja, berbagai upaya mahasiswa menolak kenaikan SPP atau sumbangan lainnya sulit mengubah keputusan yang ditetapkan rektorat. Apalagi payung hukumnya sekarang sudah ada, UU BHP.
UU BHP dibuat dengan semangat idealime tinggi. Pemerintah dan DPR beranggapan bahwa pendidikan tidak selamanya menjadi tanggung jawab pemerintah. PT tidak boleh lengah, terlalu berharap dengan bantuan pemerintah. Diandaikan anak, PT adalah anak dewasa yang mempunyai tanggung jawab hidup mandiri. PT dapat memberdayakan potensi yang ada, lebih aktif dan kreatif dalam melaksanakan riset yang dapat dikomersiilkan dunia usaha untuk meraup dana.
Kalau akhirnya UU BHP menimbulkan kontroversi dan reaksi, hal itu karena kekuatiran masyarakat dengan pelaksanaan UU tersebut. Meski Mendiknas atau kalangan DPR telah memberikan penjelasan tentang essensi UU BHP, tetapi berdasar pengalaman masyarakat dan mengingat perkembangan global, ekses negatif dikuatirkan timbul. Bagaimana pasar-pasar tradisional mulai sekarat, setelah aturan usaha riteil diijinkan. Biaya kesehatan semakin mahal, karena rumah sakit dan farmasi mulai dikuasai para kapitalis. Setelah banyak siswa-siswa pintar di bajak ke luar negeri, akankah perguruan tinggi juga akan dikuasai para pemilik modal dan pihak luar?
Untuk pelaksanaan pendidikan dasar dan menengah yang didukung BOS, masih banyak siswa tidak mampu sekolah karena biaya-biaya tambahan? Kalau pendidikan yang setengah gratis saja dalam pelaksanaannya masih banyak biaya ekstra, bagaimana dengan pendidikan tinggi berlabel Badan Usaha?
Bahwa UU BHP dibuat adalah keputusan politik. Apakah ada udang di balik batu di balik keputusan itu? Bukankah sampai hari ini, menjelang Pileg dan Pilpres jarang parpol yang mengusung pendidikan sebagai senjata utama? Kebanyakan membawa kemasan peningkatan kesejahteraan, sembako murah, penciptaan lapangan kerja, turunkan BBM dan jargon-jargon bercirikan parpol? Untuk sementara angin perubahan pendidikan belum berhembus dengan jelas? Sudah puaskah dengan alokasi pendidikan 20% APBN?
Berkaca pada kenyataan masih banyak siswa –siswa cerdas dan miskin tidak mampu meneruskan ke PT, seyogyanya UU BHP di yudicial review. Dalam UU minimal ada jaminan bahwa anak-anak berprestasi apalagi yang kurang mampu mendapat wild card masuk PTN beserta biaya pendidikannnya. Juga perlu pengaturan bagi pihak luar yang akan mendirikan PT untuk tetap mengggunakan dan mengutamakan anak bangsa dalam pengelolaan dan menampung anak-anak Indonesia .
Kalau peninjauan ulang tidak dilakukan, kekuatiran pemerataan pendidikan berkualitas sulit terlaksana. Para pemodal akan berlomba-lomba mendirikan PT sekedar profit oriented dan obral gelar. Dampak PT diliberalkan, akan terjadi perlombaan pendirian PT yang tidak sehat. Pada akhirnya terjadi krisis kepercayaan kepada pendidikan itu sendiri. Kita ingat menjelang krisis 1998, pendirian bank begitu mudah diijinkan. Akhirnya banyak bank kolaps dan krisis ekonomi berkepanjangan. Yang teranyar, krisis ekonomi global sekarang ini juga akibat sistem kapitalisme dan liberalisme. Apakah hal ini tidak menjadi pelajaran?
Dengan UU BHP akan terasa bahwa yang paling diuntungkan adalah orang kaya dan pemerintah. Orang kaya dengan mudah memilih PT dan jurusan yang diinginkan. Berapapun dana tidak jadi masalah. Pemerintah bisa berhemat, untuk mengalihkan pembiayaan PT ke sektor lain. Orang miskin dirugikan karena sulit menyenyam pendidikan tinggi dan memperbaiki nasib. PTN secara tidak sadar akan dirugikan. Apapun hasilnya kalau proses berjalan tidak baik akan menghasilkan sesuatu yang tidak baik pula. PTN hanya diuntungkan sesaat dari fresh money mahasiswa. Dalam jangka menengah dan jangka panjang, mutu PTN semakin tenggelam. Karena kalau anak-anak pintar dengan ekonomi kurang tidak masuk PTN, mutu PTN dengan sendirinya merosot. Tujuan PTN yang akan mengembangkan riset dan menjualnya ke dunia usaha tidak akan terwujud.
Padahal otonomi kampus yang dibawa di UU BHP bukan diidentikkan dengan kapitalisme dan liberalisme pendidikan. Otonomi kampus diarahkan untuk memberdayakan potensi kampus dalam merencana, mengelola, mengembangkan dan mengevaluasi kehidupan seluruh civitas akademika agar mampu mandiri, menghasilkan produk berkualitas dan mampu berdiri di atas kaki sendiri.
Sebuah Undang-undang tidak boleh langsung dimakan ataupun ditolak mentah-mentah. Yang kurang bisa diperbaiki. Jika UU BHP dilaksanakan sesuai pasal-pasal yang ada, kemanfaatannya sulit dirasakan. UU BHP disorot banyak kalangan berkaitan dengan penggalian, pengelolaan dan pertanggung jawaban dana. Belum banyak menyorot bagaimana proses berlangsung. Jika yang diributkan dana, pada akhirnya proses terlupakan. Sehingga implementasi UU BHP untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang lebih baik dan siap bersaing di dunia global semakin sulit tercapai. Dan kita semakin ketinggalan.
Akankah hal ini akan mendekatkan bangsa Indonesia ke jurang kebodohan. Bukankah kebodohan mendekatkan kepada kemiskinan. Sementara kemiskinan dekat dengan kekufuran dan kehancuran. Kebodohan lebih berbahaya dari efek rokok Akankah MUI mengeluarkan Fatwa, bahwa biaya pendidikan mahal itu Haram. Kita tunggu saja.
Rabu, 03 Juni 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar