Kalau mau uji nyali, pergilah ke
luar. Jangan hanya jago kandang. Ini nasehat bagi semua yang bermental
kompetisi. Mudah disimak dalam berbagai even, nilai kompetitif bangsa ini
semakin hari kian terpuruk. Tidak hanya dalam bidang ekonomi dan olah raga,
bidang sosial budaya, SDM kita semakin kalah bersaing di kancah global. Bahkan
di tingkat regional ASEAN, Indonesia mulai ditinggallan Vietnam ataupun Philipina.
Nah, untuk itu bangsa Indonesia harus siap bersaing dengan siapapun. Karena
bagaimanapun juga bangsa Indonesia tidak bisa hidup sendiri dalam percaturan
dunia internasional. Apalagi kalau menilik ke dalam negeri, kebutuhan pokok
bangsa Indonesia saja masih menggantungkan dari negera lain. Oleh karena itu
siap tidak siap, setuju tidak setuju Indonesia harus siap menyambut AFTA 2015.
Dengan ditekennya MOU AFTA beberapa
tahun lalu, seharusnya bangsa ini segera berbenah. Mengevaluasi diri, mencari
kelemahan dan kekuatan. Kekuatan yang dimiliki diperkuat agar mempunyai nilai
tawar tinggi, sedangkan kelemahan yang ada segera diperbaiki. Penolakan dan
mencari kambing hitam hanya akan menghabiskan energi dan mengolor waktu
persiapan. Di saat bangsa kita sibuk berdiskusi, negeri lain sudah bergerak, dan
kita semakin ketinggalan. Keberadan tenaga asing/pendidikan asing di Indonesia
seyogyanya dijadikan sparing partner dan pemacu untuk meningkatkan kualitas
pendidikan.
Jadi wajar, jika ada rasa apriori
dan pesimis dengan kemampuan kita menghadapi AFTA 2015. Namun jika saat yang
dijanjikan datang, toh kita tidak bisa menghindar. Di tengah kegalauan itu, semestinya
bangsa Indonesia segera berbenah. Okelah, di awal pemberlakuan AFTA nanti
Indonesia akan sedikit kelabakan. Tetapi di saat kita mendapat serangan dari
luar dalam bentuk apapun, di saat itu kita akan belajar. Karena belum
diberlakukannya AFTA saja, saat ini kita sudah mulai merara terjajah. Coba saja
tengok barang-barang di sekeliling, bahkan yang melekat pada diri kita. Produk
asing sudah menghiasi kehidupan sehari-hari kita. Kesuburan tanah air kita, yang
kata Koes Plus tongkat ditancap bisa jadi tanaman belum membuat bangsa kita
mandiri di bidang pangan, produk pertanian serta perkebunan. Termasuk juga
sektor pendidikan. Pembaca pasti sering menyimak iklan penawaran pendidikan. Banyak
negara tetangga yang memberi iming-iming agar
bersekolah di luar negeri. Selain fasilitas memadai, berbagai kemudahan
ditawarkan, termasuk beasiswa. Sekolah-sekolah di tanah air berlabel
internasional yang notabene kebanyakan sekolah swasta unggulan menawarkan
keistemewaan sekolahnya, salah satunya mempekerjakan guru asing.
Bisa dibayangkan, tatkala AFTA 2015 benar-benar
diberlakukan bak genderang perang ditabuh. Di sektor pendidikan akan terjadi
persaingan sengit antar sekolah. Sekolah yang mempunyai budget tinggi dan
mempunyai jaringan internasional bisa menggurita di tanah air. Tentu saja sekolah-sekolah
swasta yang saat ini sudah mapan lebih siap menjawab. Sementara sekolah dengan
SDM pas-pasan mulai ditinggalkan, termasuk sekolah negeri. Mengingat luasnya
nusantara, masuknya guru-guru asing
memang belum memberikan ancaman berarti bagi guru-guru Indonesia. Guru asing
baru banyak mengisi tenaga edukasi di sekolah-sekolah tertentu. Meski demikian,
hal ini dapat berpengaruh terhadap perekonomian nasional. Devisa lari keluar
negeri. Lebih dipercanya guru asing yang dipekerjakan oleh sekolah-sekolah
tertentu, hal ini merupakan bentuk pelecehan bagi guru Indonesia.
Bagi guru dan dosen Indonesia, menyambut
AFTA 2015 mau tidak mau harus meningkatkan kompetensi dirinya. Melakukan
inovasi, meningkatkan etos kerja serta melakukan pengembangan diri, seperti melakukan
riset dan publikasi ilmiah, baik di dalam maupun luar negeri. Karena dengan
melihat hasil karya guru dan dosen pihak luar akan mengakui eksistensi pendidikan
Indonesia. Dengan demikian negara lain juga melirik guru dan dosen Indonesia
untuk mengajar di negeranya.
Hal ini juga cocok dengan harapan
Pak De Karwo, agar guru tidak hanya memikirkan kesejahteraan tetapi juga
meningkatkan daya saingnya. Tidak dipungkiri, setelah adanya tambahan tunjangan
profesi, dampak positifnya belum signifikan. Jika yang dimaksud Pak De Karwo
guru harus memanfaatkan TPP untuk meningkatkan kompetensinya, hal ini sudah
arahan memanfaatkan 10% TPP untuk pengembangan diri guru/dosen. Hanya saja
aturan yang mengawasi pelaksanan hal ini belum ada. Jadi aman-aman saja guru
menggunnakan TPP sesukanya. Untuk itu, agar guru/dosen siap bersaing dengan
guru manca, penggunaan10% untuk pengembangan diri guru perlu dipertegas. Caranya
dengan menerbitkan aturan pembuatan laporan pertanggungjawaban penggunaan TPP
minimal 10% untuk pengembangan diri. Bagi guru/dosen yang tidak melaporkan, pencairan
periode berikutnya ditunda bahkan tidak diberikan.
Meski AFTA 2015 sudah diteken,
pemerintah masih perlu mengendalikan keberadaan tenaga guru/dosen asing di
Indonesia. Agar tidak melanggar kesepakatan, guru-guru luar yang akan mengajar
di Indonesia harus memiliki sertifikat pendidik layaknya guru Indonesia. Guru
asing harus menguasai bahasa Indonesia, baik lesan maupun tulisan. Syarat ini
sebagai upaya agar guru asing juga memahami budaya Indonesia dan tidak
menghilangkan rasa nasionalisme siswanya. Efek lain, bahasa Indonesia bisa
lebih mendunia. Sedang bagi guru/dosen Indonesia perlu di tingkatkan kemampuanya, baik dengan dana mandiri, sharing atau
hibah. Memberi penghargaan kepada guru-guru yang berprestasi, inovatif, kreatif
dan beretos kerja tinggi dengan memberi kesempatan meningkatkan kemampuanya
dengan mengikuti diklat, workshop, seminar, bahkan beasiswa baik di dalam maupun luar negeri. Memberikan
wadah yang luas kepada guru/dosen untuk melakukan penelitian, pendampingan
serta mempublikasikan hasil karyanya.
Sehingga orang semakin mudah melihat kompetensi dan perkembangan pendidikan di
Indonesia.
Yang lebih urgen bagi
keberadaan guru/dosen Indonesia adalah menanamkan semangat BERDIKARI (Berdiri
di Atas Kaki Sendiri). Ajaran Bung Karno ini senafas dengan ajaran Gandhi
dengan swadesinya. India yang umur kemerdekaannya sepantaran dengan Indonesia,
kini telah menjelma sebagai salah satu negara yang diperhitungkan SDM-nya. Sekolah/Perguruan Tinggi yang mampu mengimpor
guru/dosen dari luar negeri sah-sah saja. Tetapi akan lebih baik jika
menggunakan bangsa sendiri. Kalau menggaji guru/dosen luar berani memberi
bayaran mahal, hal sama juga diberlakukan untuk guru/dosen Indonesia. Agar
guru/dosen handal tidak dibajak ke luar dan pendidikan Indonesia tidak terjajah
di negeri sendiriArtikel ini dimuat di Majalah Media edisi Mei 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar