Tulisan Pak Tirto Adi di opini JP (5/5)
terkait indeks kejujuran Ujian Nasional (UN) memantik ingatan saya saat
penentuan kululusan di era Ebtanas. Ketika itu untuk penentuan kelulusan
diberlakukan rentang nilai tertentu antara nilai Ebtanas dengan nilai rata-rata
rapor untuk menghasilkan nilai ijazah dalam penentuan kelulusan. Sementara saat
ini tidak ada. Dikatakan pak Tirto, salah satu pola pelulusan siswa secara
masif di mulai sejak dini dengan cara mengkatrol nilai anak melalui nilai rapor
ataupu ujian sekolah. Sehingga ketika nilai UN muncul, banyak nilai jomplang.
Nilai UN rendah, sedang NS-nya tinggi-tinggi. Hal ini mengindikasikan ketidakobyektifan
penilaian di kelas yang akhirnya berdampak kepada ketidakjujuran UN.
Untuk
itu formula kelulusaan perlu direvisi. Tidak hanya menggunakan ratio 40% NS
(70% NR, 30% NUS) dan 60% NUN, tetapi juga mencantumkan rentang maksimal antara
NUN dan NS, misalnya 2 atau 3. Jika melebihi rentang maksimal, nilai NS/M
dihargai maksimal sama dengan NUN + 2 atau 3. Dengan adanya rentang maksimal, secara
nacional tidak perlu syarat nilai minimal untuk lulus. Kelulusan ditentukan
oleh sakolah sesuai dengan aturan sekolah. Sehingga nilai menunjukkan kemampuan
asli siswa dan meminimalkan tindak kecurangan dalam pendidikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar