Kalau
bisa cepat mengapa harus lama? Keluar duit lebih banyak bukan masalah,yang
penting urusan beres. Ada uang ada
barang. Hukum permintaan penawaran berlaku. Begitulah fenomena sekarang.
Termasuk urusan memperoleh ijazah. Pembaca pasti sudah terbiasa melihat pemandangan
saat pemilu legislatif atau pilkada.Para calon memapang poster diri beserta
nama yang dilengkapi deretan gelar kesarjanaan. Sepertinya gelar dianggap
magnet untuk menunjukkan keintelektual diri sang calon. Tak peduli bagaimana
memperolehnya. Termasuk juga para birokrat. Tidak terdengar kabar kuliahnya,
tiba-tiba sudah mendapat promosi dengan gelar baru sebagai prestise demi jabatan
eselonnya. Ya, masyarakat terbius faham keningratan. Gelar bisa mengangkat
derajat dan martabat. Dengan gelar seseorang merasa dirinya sudah mumpuni dan
layak berada di atas yang lain. Termasuk di kalangan pemerintahan. Pengakuan
angka kredit dan perjenjangan eselon,membuat
seeorang yang ambisius berusaha meraih ijazah yang kadang dengan cara tidak
sah.
Jadi
wajar saja, momentum seperti ini merangsang kreatifitas seseorang/lembaga
menyediakan jasa penyediaan jasa ijazah ilegal. Pembaca tentu masih ingat saat
sertifikasi guru lewat jalur portofolio dibuka. Banyak event organiner
ramai-ramai mengadakan diklat/workshop di daerah-daerah. Bertajuk
seminar/diklat nasional, cukup membayar puluhan ribu, peserta bisa pulang
membawa 2 atau 3 sertifikat yang dalam pelaksanaanya hanya beberapa jam. Adakah
tindakan pencegahan pada waktu itu. Tidak, ada. Malahan pada waktu itu panitia
sudah mendapat rekomendasi dari dinas terkait. Termasuk juga adanya kuliah
kelas jauh, atau kuliah singkat. Kuliah cepat, bayar murah, ijazah pun keluar
dengan mudah dengan indeks prestasi waah. Semua aman-aman saja. Tidak adanya
pengawasan dan sanksi bagi penyedia jasa penyedia layanan ijazah ilegal inilah
yang menjadi sebab menjamurnya praktek kotor ini.
Apalagi
di negeri ini,jika ada skandal hukum sepertinya sulit dan lama terkuak. Bagai tontonan
sinetron.Dibuat panjang,meski sebenarnya pelaku utamanya sudah diketahui.
Ujung-ujung, pelaku utama diberitakan meninggal atau melarikan diri dan menjadi
DPO. Meski setelah sekian tahun orangnya muncul lagi dan bebas melanggang
karena perkaranya sudah di SP3. Apa sebab, kasak-kusuk kalau masalahnya
dibongkar ada orang-orang penting ketahuan juga masuk daftar. Jangankan untuk
masalah ijazah ilegal, kasus prostitusi online yang melibatkan artis AA hingga
terbunuhnya Deudeh pun sampai-sampai Wapres Jusuf Kalla wanti-wanti untuk tidak
mempublikasikan pemakai jasanya. Kenapa? Pembaca bisa menerka sendiri. Jangan-
jangan ada orang penting yang terlibat. Masalah pun cepat menguap dari
pemberitaan publik. Pelaku merasa aman, dan secara diam-diam terus menjalankan
aksinya.
Jadi
siapa yang salah? Karena pengeluaran ijazah oleh suatu lembaga pendidikan
berada di bawah naungan kementerian pendidikan, tentu saja kementerian
pendidikan dan kebudayaan juga bersalah dalam kasus ini. Masalah munculkarena
lemahnya pengawasan.Kementerian pendidikan dari pusat hingga struktur paling
bawah, mestinya bisa mendeteksi dini lembaga-lembaga penyelenggara pendidikan
yang mengeluarkan sertifikat. Baik sebagai lembaga kursus atau setingkat
sekolah atau kampus yang bisa mengeluarkan ijazah. Pihak penegak hukum pun juga
bisa salah. Bukankah mereka punya badan penyelidik? Jika para intel jeli,
penyalahgunaan dan praktek ijazah ilegal akan mudah dideteksi. Dan yang tidak
kalah penting,masyarakat juga punya andil salah. Baik sebagai pengguna ataupun
pengawas non formal.Sudah tahu ilegal, mengapa tetap memakai dan membiarkan?
Lantas kalau semua salah, akankah semua dihukum? Yang pasti, segera menyadari
kesalahan itu lebih baik dan segera berbenah.
Ijazah
sebagai dokumen vital seharusnya tidak boleh dikeluarkan sebarang. Harus ada
lembaga yang menstandarisasinya. Pembaca bisa merasakan tampilan ijazah
SD/SMP/SMA dengan ijazah sarjana, mana yang lebih keren dan aman dari
duplikasi? Dari sisi tampilannya saja ijazah sarjana kalah dengan piagam
penghargaan atau sertifikat diklat. Belum tingkat keamanan orisinialitasnya. Untuk
itu pengeluaran ijazah perlu diperketat. Mulai SD hingga perguruan tinggi,
ijazah hanya dikeluarkan oleh lembaga terstandar di bawah lingkungan
Kemendikbud. Lembaga tingkat perguruan tinggi tidak diperkenankan menerbitkan
sendiri ijazahnya. Untuk mengecek keabsahan alumnus dan lembaga pelaksana
pendidikan, dibuat bank data alumnus. Bank data alumnus ini bisa diakses secara
on line.. Di dalamnya ada data diri seseorang
secara lengkap yang terkoneksi dengan lembaga asal ijazahnya. Masing-masing
lembaga pendidikan juga wajib melengkapi profil danidentitas peserta
didik/mahasiswa beserta alumnusnya.Sehingga siapapun dapat mengecek status
lembaga dan ijazah seseorang.
Di
jaman serba canggih, tidaklah sulit membedakan ijazah asli dan palsu.
Sebagaimana para pelanggar hukum juga bisa membuatnya. Jika nantinya ijazah
hanya dibuat/dikeluarkan oleh badan khusus, pastinya ada ciri khas sendiri yang
menjadi rahasia perusahaan agar ijazah asli sulit dipalsukan dan mudah untuk
membedakan dengan asli. Misalnya menambah gambar air atau pita identitas seperti pada uang kertas, memberi hologram ataupun barkode. Karena
selama ini, sebagai orang awam sulit membedakan ijazah asli ataupun palsu. Orang
baru bisa mengecek dari bentuk tampilan misalnya berhologram, no registrasi
(biasanya menunjukkan tahun masuk) dan tanggal lulus, nama pimpinan beserta
tandangan dan stempel dan tentunya nama lembaga yang mengeluarkan, kredibel
atau tidak.
Tulisan ini dimuat dimajalah Media Prop Jatim edisi September 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar