Orang
bisa karena biasa. Memulai dari yang kecil, dari diri sendiri dan mulai dari
sekarang. Begitu nasehat bijak menuturkan bagi orang agar bisa sukses dan
bermartabat. Sayang, kenyataan menunjukkan orang Indonesia yang dikenal ramah
tamah, sabar, santun, suka menolong, hidup bergotong-royong,tidak mudah
menyerah dan punyarasa nasionalis tinggi, mulai luntur. Tengok saja kejadian
sehari-hari disekitar dan lewat media.Orang dengan mudahnya membuang sampah
sembarangan, merokok seenaknya tanpa memperhatikan sekitar, lebih suka berebut
daripada antri, sampai perang antar kampung. Di kalangan pelajar, tawuran
merajalela, anak lebih suka bermain gadget daripada membaca buku,tindak asusila
merebak, anak lebih suka mengadopsi budaya asing, serta semangat belajar
anak-anak kendor.
Coba
pembaca perhatikan anak-anak usia sekolah. Sikap hormat anak kepada orang tua
dan guru berkurang. Di jam sekolah siswa-siswa berseragam keluyuran, mulai sore hingga malam hari banyak calon
generesi emas ini begitu enaknya menikmati hidup. Nampang di pinggir jalan, duduk
santai sambil makan di warung ataupun angkringan pinggir jalan sambil merokok,
astaghfirullohal’adziim. Belajar dianak tirikan.
Fenomena
di atasnampaknya menggugah perasaan para pengampu negeri ini untuk mengawal
anak-anak negeri ini menjadi insan paripurna. Insan yang tangguh, berakhlaqul
karimah, nasionalisdan berkompeten.Hanya saja, haruskah segala sesuatu yang
berkaitan dengan peri kehidupan ini diformalkan. Terlalu diatur. Ingat, bahwa
semakin banyak aturan dibuat, justru akan ditabrak dan bisa mengakibatkan
kontra produktif. Para guru bisa merasakan, bagaimana pelaksanaan tata tertib
siswa dengan sistem point. Meski aturan sudah disosialisasikan dan disepakati
oleh sekolah bersama orang tua wali, toh punishmentnya sering tumpul ketika
pointpelanggarannya sudah melampui batas toleransi. Karena alasan kemanusiaan. Ujung-ujungnya
aturan tinggallah dokumen hitam putih yang terpajang indah di dinding.Selain
itu pelaksanaan program yang tidak merinci teknis pelaporan hanya akan menambah
beban kerja yang akhirnya berlalu begitu saja. Apalagi kalimat dalam permen
yang menyebut, sekolah yang tidak melaksanakan akan diberi sanksi tanpa
menyebut bentuk sanksinya dianggap terlalu dangkal.
Karena
sebelum Permendikbud Program Pembudayaan Budi Pekerti diluncurkan, pembiasaan
yang dicanangkan sudah banyak dilaksanakan sekolah. Baik
yang berdiri sendiri atau terintegrasi dalam kegiatan intra, ekstra maupun nonkurikuler.
Jadi PBP hanyalah pengulangan ataupun penegasan. Dengan kata lain hanya bentuk
legalitas. Kalau toh PBP ini berhasil, hal ini lebih tergantung kepada kultur
sekolah itu sendiri sudah berjalan.Sekolah yang kultur sekolahnya berjalan
baik, PBP bukan hal baru. Tetapi sekolah yang kulturnya belum mapan, PBP lebih
menjadi beban kegiatan.
Dan
karena PBP ini sudah diformalkan, tentu saja harus dilaksanakan sesuai dengan
regulasi. Untuk mengukur tingkat keberhasilan pasti ada indikator beserta
rubrik evaluasi. Program dijalankan bagaikan angin mengalir saja, sebagai
budaya. Tidak perlu harus dengan kawalan ketat. Dengan mengalir, tanpa merasa
diawasi, kegiatan lebih alamiah. Monitoring dan evluasi tetap perlu dilakukan
secara periodik oleh pihak sekolah sebagai self assesment.
Evalusai
dilakukan dalam bentuk keterlaksanaan dan hasil. Keterlaksanaan berdasarkan program,
jurnal dan daftar kegiatan. Sedangkan
keberhasilan diukur dengan melihat fakta
dan data yang diperoleh dari isntrumen pengukuran baik dalam bentuk kuantitatif
maupun kualitatif.Misalnya, bisa dipantau dari tingkat kebersihan, kenyamanan,
tidak adanya corat-coret, tingkat kenakalan dan tentunya prestasi sekolah.
Agar
keberhasilannya bisa dilihat dan diamati perkembangannya, hal-hal yang
diprogramkan dalam PBPdibuatkan penilaian yang dilaporkan bersamaan dalam
pelaporan hasil belajar siswa.Bagi sekolah pelaksana kurikulum 2013, pelaporan
implisit dalam penilai sikap spiritual maupun sosial dan penilaian ektra
kurikuler. Sedangkan bagi sekolah bukan pelaksana K13, pelaporan bisa implisit
dalam mapel Agama dan PKn serta dalam penilaian pembiasaan.
Keberhasilan
memang tidak harus terlihat dalam bentuk angka-angka. Perikehidupan sekolah
yang berjalan kondusif, aman, nyaman, tentram, minim pelanggaran dan
berprestasi adalah salah satu indikator keberhasilan PBP. Hukuman hanya akan
membuat orang melaksanakan kewajiban sekedar menggugurkan kewajiban. Kesadaran
melaksanakan justru akan membuat keterlaksanaan program berjalan alami dan
membuahkan hasil positif. Sekolah yang
tidak menjalankan PBP atau apapun nama kegiatannya,pasti perikehidupan di
sekolahnya tidak berjalan baik. Dan masyarakat sekarang sudah pintar. Bisa
memilah dan memilih sekolah terbaik. Sanksi formal tidak perlu, sanksi
sosial-lah yang akan memberi pelajaran. Masyarakat lebih merindukan sekolah yang
mendidik putra-putrinya dengan mental, attitude, spiritul dan intelektual. Jangan
sampai PBP hanya sekedar program, agar sekolah bukan PHP, pemberi harapan palsu
yang akhirnya ditinggalkan masyarakat. Mau!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar