Toleransi Linierisasi Jangan Mereduksi Mutu Pendidikan
Bukan salah bunda mengandung, tetapi salah bapak tidak
memakai sarung, Begitu guyonan untuk program KB yang kurang memuaskan hasilnya.
Tidak mungkin anak ketiga dimasukkan kembali ke rahim ibu, bukan? Guru juga
punya joke : bukan salah guru lolos sertifikasi, mengapa aturan linierisasi
datang belakang hari. Tujuan utama meningkatkan mutu pendidikan lewat profesionalisasi
guru dengan bonus TPP, awalnya memang untuk menghargai guru kompeten sesuai
yang diundangkan. Belakangan syarat-syaratnya direduksi, dan mengalah. Meminjam
istilah Pak RT dalam serial kartun Keluarga Somad, “demi kesejahteraan bersama,
teh….”.
Seiring berjalannya waktu, nampaknya pemerintah sadar,
bahwa guru memang harus profesional. Legal formalnya, salah satunya guru harus
punya SIM (Surat Ijin Mengajar) yang sesuai. Start salah berujung kepada laju
tidak stabil. Kualitas pendidikan yang ditandai berbagai parameter out put
sekolah, baik dalam bentuk angka atau akhlak menunjukkan mesin pendidikan tidak
bekerja sesuai tupoksinya. Ibarat mesin, bakan bakarnya pertamax, tapi lajunya
bak jalannya gerobak. Karena cc mesin memang tidak layak terjun di medan laga. Kalau
mesin sudah tua, diupgrade seperti apapun, susah untuk menjadi mobil balap.
Maka, pemilik mesin harus bisa memilah dan memilih, mesin seperti apa yang
perlu di upgrade dan yang tidak. Maka
dengan keluarnya surat Edaran Linearitas Kualifikasi Akademik dalam Kepangkatan
Guru nomor 134741/B.BI.3/HK/2015,
setidaknya sudah menampung aspirasi guru yang masuk kategori mesin tua. Jadi perlakuan
istimewa seperti ini sesuatu yang wajar. Lha kalau tidak bisa dipaksa, mau
diapain lagi? Galau sertifikasi berujung toleransi.
Jangan kagetan dan jangan mudah heran. Berbagai kebijakan
di negeri ini acap kali membuat kita bingung atau kadang tersenyum kecut. Pendidikan
yang sering menjadi komoditi politik dirasa menjadi medan pencitraan. Untuk
meredam gejolak guru, langkah pemerintah yang sering berubah-ubah dalam
menjalankan proses sertifikasi harap dimaklumi. Jangankan tuntutan menjadi guru
professional seperti dalam PP no 74 tahun 2008, untuk proses pengajuan pangkat
dengan syarat pembuatan dan publikasi ilmiah saja masih ditawar? Syarat-syarat
kompetensi sebagai guru profesioanal masih sekedar normatif. Pokoknya ada dan
berjalan baik berdasar penilaian atasan.
Ibarat paket kebijakan ekonomi berjilid-jilid, kebijakan
sertifikasi setiap saat berubah, sesuai cuaca. Bukankah di bagian akhir
keputusan lazim tercantum “Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dan
akan dilakukan perbaikan jika dikemudian hari ditemukan kesalahan”, ditambah kata-kata
jurus pamungkas bahwa surat keputusan itu bukan kitab Tuhan, jadi setiap saat
bisa diubah. Banyak aturan/undang-undang, yang pada awalnya disusun idealis
dengan tujuan mulia, lambat laun dikebiri dengan kebijakan tambahan yang
diselipkan agar mudah untuk “dibijaksanai”. Contohnya tarik ulur UU KPK. Sikap
lunak pemerintah yang sering dicap plin-plan, justru menjadi boomerang bagi
dunia pendidikan. Tujuan hakiki pemberian TPP lewat sertifikasi jalurnya tidak
lagi pada rel semula. Rohnya terabaikan, mutu yang diharapkan tak kunjung
terwujud dengan apik.
Secara mendasar SE itu memang kontra produktuktif. Namun
apa daya, berbagai permasalahan di lapangan soal linearisasi juga tidak kalah
pelik. Terutama dari sisi tehnik, belum biaya. Dari sisi penguasaan materi ajar
saja misalnya, bagaimana mungkin guru yang tidak menguasai mata pelajarannya
dipaksa mengajar mapel lain. Entah awalnya tidak ada guru, atau sekedar
memenuhi alokasi waktu 24 jam. Lha wong yang linear saja, masih banyak jauh
panggang dari api. Memang, masih ada guru mumpuni meski ijazahnya tidak sesuai karena pengalamannya sudah lama dan
mau belajar, tetapi itupun tidak banyak..
Untuk linierisasi kualifikasi S1 ada beberapa kendala. Disamping
faktor umur yang berdampak terhadap kesehatan dan semangat belajar, beberapa
jurusan tidak berada di kampus yang ada di daerahnya sendiri atau kota
terdekat. Kalaupun ada, untuk membuka kelas tersendiri bagi guru juga sulit,
karena pihak kampus mensyaratkan jumlah mahasiswa tertentu. Padahal untuk jurusan
tertentu, guru yang belum S1 sedikit. Jika mengikuti kelas regular berbenturan
dengan kebijakan, karena tidak mungkin meninggalkan jam mengajar. Jika harus ke
kota yang jauh, terpaksa harus cuti di luar tanggungan, dan ini sangat janrang
guru mau. Selain costnya tinggi, juga masalah keluarga. Maka kalau banyak guru
yang merasa tidak mampu memenuhi persyaratan S1 linear lantas rela tidak
menerima TPP tetapi akhirnya mengajar ogah-ogahan apalagi mengajukan pensiun
dini, bagaimana nasib anak-anak?
Mekanisme sertifikasi yang berubah-ubah tidak masalah.
Yang penting wajar dan bisa dilaksanakan
guru. Bukan siapa yang punya idea, sekedar beda nomenklatur atau malah membuat
takut guru. Jalur portofolio rawan
pemalsuan dokumen. Jalur ini baik, karena bisa terlihat rekam jejak serta
menghargai karya, karsa dan pengabdian guru. Jalur PLPG baik untuk menambah
ilmu. Tetapi waktunya terlalu singkat untuk menunjukkan hasil sebuah diklat, serta membuat
peserta stress. Jalur PPG perlu waktu lama, tempat dan biaya banyak. Bagi guru
yang usianya lanjut, terlalu berat. Bagi guru yang sudah berkeluarga tidak bisa
optimal karena banyak gangguan, salah satunya masalah keluarga.
Dari ketiga
jalur itu, nampaknya PLPG plus merupakan jalan tengah terbaik. Disamping bisa
mengetahui modal awal pendidik, pendidik juga mendapat bekal ilmu. Tentu saja
perlu pembenahan dari segi pelaksanaan dan materi, terutama materi-materi yang
mengandung nilai stress tinggi, semisal membuat karya tulis. Pelaksanaan PLPG
bisa dibuat dengan system IN – ON –IN servis. In servis pertama satu pekan, on
servis 2-3 bulan dan in servis kedua satu pekan. Pada in servis pertama
digunakan untuk mengetahui kemampuan dasar guru dan pembekalan. Saat on servis
guru menerapkan hasil in servis dengan pembimbingan secara on-line, termasuk
mengumpulkan data dan menyusun kerangka karya tulis. Dan pada on servis kedua,
dilakukan pengecekan hasil, hingga guru mampu menghasilkan KTI yang orisinil. Dengan pola PLPGPlus, profesionalisme guru
akan terbangun secara simultan seiring bertambahnya pengalaman guru. Kalau ada
kambing hitam kala kegagalan datang, pasti ada jalan keluar saat bertemu jalan buntu.
Tulisan ini dimuat di majalah Media edisi April 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar