Siapa yang tidak menginginkan putra-putrinya tidak pintar? Rasanya tidak ada. Di tahun ajaran baru, para orang tua berlomba mencarikan sekolah terbaik bagi anaknya. Pilihannya banyak tertuju pada sekolah vaforit. Sekolah yang terbukti menelurkan prestasi. Syukur-syukur berlabel mentereng, SBI/RSBI. Maraknya SBI/RSBI yang tumbuh bak jamur di musim hujan mulai mendapat respon positif. Para orang tua menggantungkan impian masa depan anak-anaknya. Walau untuk memperebutkan kursi, para orang tua harus memikirkan kantongnya. Sanggupkah membiayai anak mereka?
Para orang tua yang peduli pendidikan sudah tidak terlalu mempermasalahkan biaya. Yang penting anak mereka memperoleh pendidikan berkualitas berskala internasional. Meski banyak pertanyaan bergelayut dalam hati orang tua. Hendak dibawa ke mana selepas dari SBI/RSBI? Pertanyaan yang sering mendapat tanggapan klise pihak penyelenggara. Jawabannyapun masih berpedoman blue print SBI/RSBI.
Karena SBI/RSBI yang masih berjalan beberapa tahun ini belum banyak menunjukkan bukti nyata. Belum ada jaminan siswa SBI siap berkompetisi di level internasional. Di beberapa even internasional bahkan level nasional dan regional saja, masih banyak wakil-wakil Indonesia atau wakil daerah yang berasal dari sekolah non SBI/RSBI.
Jika mau jujur, banyak kalangan pendidikan sendiri yang merasa banyak sekolah berlabel SBI/RSBI belum siap menyandang gelar tersebut. Tidak hanya pesyaratan infrastruktur dan suprastruktur yang menuntut standar tinggi. Sistem adimistrasi pun masih berjalan konvensional dan belum berbasis kinerja. Sekolah belum terbiasa terbuka terutama pengelolaan keuangan kepada masyarakat layaknya perusahaan go public sebagai perwujudan akuntabilitas publik. Apalagi persyaratan menjalin kemitraan dengan lembaga pendidikan dan sertifikasi internasional masih belum banyak dipenuhi SBI/RSBI.
Dalam salah satu instrument persyaratan SBI/RSBI yang menuntut penyelenggara pendidikan transparansi dalam penilaian melalui penilaian berbasis ICT. Hal ini juga belum nampak. Mungkin juga karena kekurang siapan sekolah. Dalam penilaian hasil belajar siswa hampir tidak ada perbedaan dengan anak regular. Bahkan dimungkinkan nilai yang diperoleh bisa lebih rendah dari anak regular. Karena dalam pembelajarannya menggunakan bilingual, berdampak pada daya serap materi. Anak-anak SBI/RSBI harus berpikir ganda, memikirkan bahasa baru materi pelajaran. Jikalau menginginkan agar nilai bagus, sering dipaksakan materi yang diberikan sebatas materi dasar, belum pengembangan. Dampak dari hal ini, anak-anak SBI/RSBI cenderung kurang mempunyai kedalaman materi. Untuk itu penilaian anak-anak SBI/RSBI dapat dilakukan dengan dua system. Penilaian seperti anak-anak regular dan penilaian khusus model RSBI/SBI. Dengan demikian jika hasil penilaian ini dipakai untuk kepentingan lain, semisal untuk proses seleksi ke tingkat lebih lanjut berdasar rapor, nilainya bisa bersaing.
Kesiapan sekolah terutama guru-guru pengampu mata pelajaran masih kurang. Penunjukan guru di sekolah, dan diupgrade menjadi guru berskala internasional dalam waktu singkat menjadi kendala. Bagaimana mungkin dalam sekejab, mengubah kemampuan guru untuk memenuhi standar TOEFL > 500. Apalagi guru yang ada kadang kurang potensial dan sudah berumur. Dampaknya pembelajaran dengan bahasa Inggris tidak efektif., selain kurang menguasai ICT. Hal yang berkait dengan penyajian materi dengan media ataupun transparansi penilaian berbasis ICT.
Tidak dipungkiri, suksesnya SBI/RSBI tidak lepas dari sosok kepala sekolah. Kepala sekolah yang mempunyai kepemimpinan visioner menjadi tokoh sentral. SBI/RSBI yang (mulai kelihatan) berhasil sangat dipengaruhi keberadaan kepala sekolah. Atau sebaliknya. Malah manager yang ada dibawahnya kadang kurang mampu menerjemahkan apa yang menjadi visi sang kepala sekolah. Dan ini yang sering menjadi batu sandungan.
Seiring percaturan politik nasional, yang mempopulerkan sekolah gratis kecuali SBI/RSBI. Rasanya sekolah penyelenggara SBI/RSBI bagai mendapat angin segar. Bahwa pendidikan berkualitas itu mahal. Mahalnya biaya penyelenggarakan SBI/RSBI akhirnya ditimpakan kepada orang tua siswa. Ironis memang. Untuk menyukseskan SBI/RSBI yang diukur dari tingkat kompetensi anak, akhirnya dikebiri dengan besaran rupiah. Padahal fakta menunjukkan banyak anak berkompetensi berekonomi lemah. Jika saja banyak anak unggul tidak mampu membayar biaya SBI/RSBI, dan yang mendaftar banyak dari kalangan berduit yang sebagian kemampuan anaknya pas-pasan. Dikuatirnya jalannya akan terseok-seok. Untuk itu perlu balancing dalam perekutan siswa, demi suksesnya SBI/RSBI itu sendiri. Anak-anak unggul itu perlu dimasukkan dan mendapatkan subsidi. Dengan langkah ini kesenjangan antara si kaya dan si miskin dapat diminimalisir. Perwujudan asas keadilan dan pemerataan dalam memperoleh pendidikan berkualitas untuk semua.
Anak unggul itu sendiri mempunyai kelebihan berbeda. Ada yang unggul di semua mata pelajaran dan ada pula hanya pada bidang tertentu saja. Meski SBI/RSBI mengedepankan mata pelajaran yang diunaskan, tetapi tidak ada salahnya tetap memberi porsi bagi siswa yang mempunyai keunggulan di bidang lain. Malah, jika pelajaran lain juga dikembangkan dengan konsep bilingual, hal ini akan mempunyai nilai tambah bagi sekolah peneyelenggara. Sekarangpun kompetisi yang diselenggarakan untuk mengukur parameter keberhasilan penyelenggaraan pendidikan sudah tidak terfokus pada mata pelajaran yang di unaskan. Sudak ada olimpiade seni budaya, olahraga dan ilmu pengetahuan social. Sains pun dalam pengertian pendidikan luar negeri termasuk ilmu pengetahuan social.
Melihat berbagai bentuk pelaksanaan SBI/RSBI, masih banyak hal yang harus dibenahi. Terutama dari sisi guru. Sebagus apapun program yang dirancang, jika tenaga pendidiknya belum siap, jalannya akan timpang. Untuk itu sebelum SBI/RSBI di launching, para guru pengampu perlu mendapat pembekalan, terutama dari sisi TOEFL dan ICT. Meski fakta menunjukkan, tidak mudah mengubah perilaku, kompetensi dan culture guru maupun sekolah dalam waktu sekejap.
Ada hal lain yang bisa diperbuat pemerintah untuk menyiapkan bibit-bibit unggul yang siap bersaing di kancah global. Tidak perlu latah, terburu-buru membentuk SBI/RSBI. Dari pada meng-upgrade satu sekolah atau beberapa kelas menjadi SBI/RSBI. Lebih baik pemerintah membentuk satu sekolah baru dengan sedikit kelas. Merekurut guru beserta tenaga administrasi baru yang diseleksi melalui tes guru yang ada dalam satu wilayah atau merekrut guru-guru muda baru. Tenaga baru tersebut harus menguasai persyaratan minimal tenaga pendidik dan kependidikan di sekolah SB/RSBII. Mereka diberi pengharagaan lebih sesuai kompetensi yang mereka miliki. Dengan demikian SBI/RSBI yang didirikan benar-benar bermutu. Jangan lagi membentuk sekolah berlabel internasional tetapi berkualitas lokal.
Dimuat di majalah Media Dinas Pendidikan Propinsi Jatim edisi November 2009
Sabtu, 07 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar