Begitu DPR mengetok palu menyetujui UU RI No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, secercah harapan baru muncul seperti menemui oase di gurun pasir. Apalagi Amandemen Undang-undang Dasar juga mengamanatkan bahwa APBN harus mengalokasikan anggaran 20% untuk bidang pendidikan. Rasanya laksana pasangan yang sedang jatuh cinta pada cinta pertama yang sudah mendapat doa restu dari kedua orang tua dan syarat-syarat akad nikahnya hampir lengkap. Tinggal hari-H dan berbulan madu
Meski di tengah perjalanan harapan itu sedikit berkurang karena Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa 20% anggaran APBN itu sudah termasuk gaji dan tunjangan bagi tenaga pendidik dan kependidikan. Keputusan itu dirasa mengeliminir harapan bahkan bisa jadi mengamputasi impian guru untuk meningkatkan kesejahteraannnya. Tetapi hal ini harus disikapi dengan bijaksana. Jangan sampai membuat guru patah arang. Guru harus tetap semangat untuk berkarya dan berkarya. Guru harus berkhittah untuk bekerja dengan tulus ikhlas menjadi seorang guru.
Guru adalah orang yang multi guna, mumpuni di segala bidang baik di sekolah maupun di masyarakat. Di sekolah guru dianggap manusia super. Dengan tugas-tugas tambahan, guru mengerjakan berbagai jenis pekerjaan, mulai wali kelas, penanggung jawab kegiatan, kepala urusan, berbagai seksi kegiatan dan sebagainya. Bahkan jika untuk mata pelajaran tertentu tidak ada guru mata pelajarannya, guru (terpaksa) siap mengajar mata pelajaran yang tiak sesuai sertifikat akademisnya. Pokoknya guru adalah manusia serba bisa.
Gambaran di atas sebenarnya belum mencerminkan sosok guru profesional. Seorang guru profesional adalah guru yang mempunyai keahlian khusus dalam mata pelajaran yang diampu sesuai kualifikasi akademik dan mendapatkan penghargaan yang layak. Tetapi hal ini juga belum cukup. Untuk menjadi tenaga progesional yang mendapatkan penghargaan yang layak masih banyak persyaratan yang harus dipenuhi sesuai amanat Undang-undang Guru dan Dosen tersebut.
Untuk itu apa yang harus dilakukan guru agar menjadi tenaga profesional sebenarnya? Contoh guru super yang mengajar berbagai mata pelajaran (bukan guru kelas SD) sudah bukan jamannya lagi. Guru yang mengajar tanpa persiapan dengan silabus dan RPP juga tidak benar. Kalau di TPI ada acara ”mendadak dangdut”, di sekolah tidak boleh ada guru ”mendadak mengajar”. Tidak ada guru ngaji (ngarang biji). Tidak ada ulangan, tidak ada tugas siswa mendapat nilai baik bahkan untuk anak yang sudah pindah atau sudah meninggalpun masih diberi nilai. Tidak ada guru yang ”glagepen” di depan kelas karena tidak menguasai materi. Juga tidak ada guru main petak umpet atau main kucing-kucingan dengan kepala sekolah dan siswa. Daftar hadirnya ada, tetapi gurunya tak diketahui di mana rimbanya. Sekelumit contoh kejadian di sekolah di atas bisa merusak citra guru. Apalagi kalau melihat berita di media, adanya guru yang bertindak asusila, main kekerasan, berjudi, mencuri dan sebagainya, hal ini semakin menenggelamkan harga diri, harkat dan martabat guru.
Persyaratan menjadi guru profesional sebagai salah satu syarat untuk lulus sertifikasi guru dengan persyaratan yang ada, jangan sampai merusak tatanan dan norma-norma pendidikan. Persyaratan kualifikasi S1 atau penilain tinggi untuk S2 telah banyak menghasilkan sarjana-sarjana karbitan (bahkan sarjana palsu) yang oleh pemerintah sendiri telah disikapi dengan bijak. Jangan sampai menjadi sarjana lewat jalur absensi, jalur kliping atau jalur copy paste. Jika menginginkan menempuh jenjang yang lebih tinggi perlu ”nawaitu” mencari ilmu untuk menambah khasanah keilmuan.
Penilaian yang tinggi untuk keikutsertaan dalam forum ilmiah juga telah disalah gunakan oleh beberapa event organizer dan celakanya guru mengamininya dengan berbondong-bondong mengikuti dan sering melupakan tugasnya untuk mengajar. Sah-sah saja guru mengikuti asalkan tidak mengganggu tugas, syukuri-syukur mengikuti kegiatan ilmiah yang sesuai dengan bidangnya, bukan untuk mengumpulkan sertifikat belaka.
Banyak cara yang bisa dilakukan guru untuk peringkatan mutu dalam forum ilmiah. Menulis buku, artikel, mengikuti lomba karya tulis ilmiah dan sejenisnya. Di samping memperoleh penialaian juga meningkatkan pengetahuan dan menambah wawasan. Kegiatan-kegiatan pembinaan siswa di sekolah, kegiatan di masyarakat sebagai wujud pengabdian juga akan mendapatkan apresiasi.
Kalau kita menanam pasti akan memetik hasil. Bagai pisang, hidup sekali haruslah bermanfaat. Menjadi orang penting baik, tapi lebih penting menjadi orang baik. Menjadi guru adalah panggilan hati, jangan berharap sesuatu yang tidak mungkin. Berkarya dan berkaryalah, kelak akan ada buahnya. Citra baik itu tidak berupa sebutan, gelar atau piala. Citra baik itu melekat pada guru yang berkarya sebagai insan cendekia.
Senin, 30 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar