Galau
K13 : Belajar ala sekolah nilai rasa kuliah, efektifkah?
K13
bagaikan kapal yang akan menyeberangi samudra,
dengan muatan penuh harus segera berangkat. Nakhoda kapal (guru) harus
siap setiap saat jika sewaktu-waktu ada
badai atau penumpang butuh bantuan. Barang-barang penting yang belum terangkut
akan disusulkan. Bisa cepat bisa lambat, tergantung cuaca. Dan ini terbukti.
Ketika para guru di sekolah piloting menerima pembekalan di bulan Juli, baru
medio Oktober 2013 tata cara penilaian dan model rapor K13 datang. Terbitnya
Permendikbud RI Nomor 81A Tahun 2013
Tentang Implementasi Kurikulum menjawab pertanyaan terutama seputar penilaian
dan penulisan rapor.
“Tidak
adil, Pak!” begitu tanggapan anak-anak ketika saya menyampaikan model penilaian
rapor versi kurikulum 2013 (K13). Bagi
sebagian besar siswa penulisan rapor K13 menimbulkan rasa ketidak adilan. Betapa tidak, penulisan
hasil belajar di rapor menggunakan gaya baru. Tidak lagi menggunakan skala
0-100, tetapi menggunakan skala 1-4 (kelipatan 0,33) untuk aspek pengetahuan
dan ketrampilan serta A-D untuk aspek
sikap. Akibatnya nilai yang muncul tidak menampakkan prestasi dengan tegas,
karena nilai hasil konversi berasal dari selang nilai. Penilaian K13 menimbulkan kegalauan.
Nah,
terbitnya tata cara penilaian dan penulisan rapor tidak serta merta menjawab pertanyaan.
Tetapi justru menimbulkan beberapa pertanyaan. Apa sebab? Ya, karena ketika
pedoman penilaian ini akan diterapkan ada perbedaan. Hal ini didapat penulis
dari beberapa sumber yang membawa pulang hasil workshop. Dari workshop (WS) guru
pendamping di tempat A dan B, misalnya untuk penulisan rapor unsur pengetahuan
dan ketrampilan menggunakan huruf A-D sedang di WS pengawas dengan angka 1-4
(kelipatan 0,33). Yang aneh lagi, rentang nilai untuk mengkonversi nilai di WS di
tempat A dan B juga beda. Di tempat A rentang nilai skor mentah (0-100) yang
akan dikonversi sudah ditetapkan seperti dalam buku panduan peserta Lembar Kerja Pengisian Buku Rapor (SMP/SMA)
LK5.2. Sedang hasil di B menggunakan rumus konversi dengan rumus : (nilai
0-100)X4:100.
Berikut
tabel penilaian berdasar hasil workshop K13 di kota A dan B
Rentang
skala 0-100 Versi A
|
Rentang
skala 0-100 versi B
|
Nilai
rentang 1-4
|
Nilai
dengan
Predikat
|
86 -100
|
92 – 100
|
4
|
A
|
81- 85
|
84 – 91
|
3.66
|
A-
|
76 – 80
|
76 – 83
|
3.33
|
B+
|
71-75
|
67 – 75
|
3.00
|
B
|
66-70
|
59 –
66
|
2.66
|
B-
|
61-65
|
51 – 58
|
2.33
|
C+
|
56-60
|
42 – 50
|
2
|
C
|
51-55
|
34 – 41
|
1.66
|
C-
|
46-50
|
26 – 33
|
1.33
|
D+
|
0-45
|
25
|
1
|
D
|
Bedanya
rentang nilai untuk dikonversikan ke dalam A-D atau 1-4 tentunya menimbulkan
pertanyaan besar. Konversi dengan skala besar justru menghasilkan kualitas
semu. Apalagi jika nantinya nilai rapor ini akan dipakai untuk melanjutkan ke
tingkat berikutnya, merangking atau memetakan kemampuan siswa. Hasilnya bisa
kacau. Ambil contoh nilai anak seperti di tabel berikut.
NAMA
SISWA
|
VERSI
NILAI
|
Mata
Pelajaran
|
|
||
P
|
Q
|
R
|
Rata-rata
|
||
X
|
0
– 100
|
100
|
100
|
91
|
97
|
VERSI
A
|
A/4
|
A/4
|
A/4
|
A/4
|
|
VERSI
B
|
A/4
|
A/4
|
A-/3,66
|
A/3,88
|
|
Y
|
0
– 100
|
86
|
82
|
91
|
86,33
|
VERSI
A
|
A/4
|
A-/3,66
|
A/4
|
A/3,88
|
|
VERSI
B
|
A-/3,66
|
B+/3,33
|
A-/3,66
|
A-/3,55
|
|
Z
|
0
– 100
|
86
|
81
|
86
|
84,33
|
VERSI
A
|
A/4
|
A-/3,66
|
A/4
|
A/3,88
|
|
VERSI
B
|
A-/3,66
|
B+/3,33
|
A-/3,66
|
A-/3,55
|
Dari
contoh di atas terlihat, anak yang secara fakta mempunyai nilai lebih tinggi,
setelah dikonversi bisa jadi mendapat predikat lebih rendah. Atau nilai tinggi
dan rendah dengan rentang jauh mendapat predikat sama. Hal seperti inilah yang
dianggap anak tidak adil. Tidak itu saja, ketika nilai sudah dikonversikan,
hasil workshop di tempat berbeda juga membawa pulang dua versi penulisan. Yang
satu dengan huruh A – D yang lain dengan angka 1 – 4 (rentang 0,33). Membingungkan
bukan? Bagaimana sebuah momen penting pendidikan level nasional tidak satu kata untuk menetapkankan sebuah
aturan. Belum lagi kalau melihat format penilaian yang tidak mencantumkan kolom
nilai dengan tulisan penjelasan, penulisan nilai dengan abjad khususnya A-, B-,
C- sangat rentan dipalsukan. Terlalu mudah mengubah tanda (-) menjadi (+).
Masih ada hal lain yang perlu
didiskusikan, yaitu terkait KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal). Di dalam
Permendikbud lampiran IV halaman 19 disebutkan : 2) Ketuntasan minimal untuk
seluruh kompetensi dasar pada kompetensi pengetahuan dan kompetensi
keterampilan yaitu 2.66 (B-). Hal
ini dipertegas di halaman 25 yang menyatakan: Implikasi dari ketuntasan belajar
tersebut adalah sebagai berikut.
a) Untuk KD pada KI-3 dan KI-4:
diberikan remedial individual sesuai dengan kebutuhan kepada peserta didik yang
memperoleh nilai kurang dari 2.66;
b) Untuk KD pada KI-3 dan KI-4:
diberikan kesempatan untuk melanjutkan pelajarannya ke KD berikutnya kepada
peserta didik yang memperoleh nilai 2.66 atau lebih dari 2.66; dan
c) Untuk KD pada KI-3 dan KI-4: diadakan
remedial klasikal sesuai dengan kebutuhan apabila lebih dari 75% peserta didik
memperoleh nilai kurang dari 2.66.
...
Namun
kabar dari peserta WS, bahwa KKM tidak dipatok 2,66 (B-) tetapi sekolah bisa
menentukan sendiri. Sebagai sebuah
produk hukum, tentunya pemakaian kata “yaitu” berarti KKM ditetapkan sama.
Mungkin pemerintah menginginkan tidak
ada lagi jor-joran nilai /KKM seperti yang terjadi selama ini. Karena nilai
rapor menjadi salah satu komponen penentu kelulusan, nilai siswa rata-rata
tinggi. Salah satu caranya dengan menaikkan KKM, sehingga siswa yang awalnya
belum tuntas, setelah remidi akan tuntas dengan nilai yang tinggi pula.
Dampaknya,
rapor siswa akan menampilkan perwajahan wah. Mengapa? Berkaca KKM tahun
sebelumnya, banyak menetapkan KKM lebih
dari 80. Maka rapor anak-anak nanti hanya akan menampakkan huruf A dan A- atau
angka 4 dan 3,66. Wow, keren! Jika ini terjadi, nantinya akan ada kegaduhan
pendidikan. Orang/sekolah akan bingung membedakan kemampuan anak jika hanya
berpijak rapor. Semua anak kelihatan pintar. Hasil kebijakan yang tidak bijak.
Pengalaman bapak/ibu guru di kelas
mungkin sama dengan penulis.Ketika akan ulangan harian, dan memberi tahu bahwa
siswa yang mendapat di bawah KKM akan diremidi, apa jawaban mereka. “Ikut
remidi saja, paling nanti nilai sama KKM”. Ulangan dianggap ceremonial.
Sepertinya mereka sudah tahu, bahwa dengan remidi soal lebih mudah dan dengan
mudah memperoleh nilai minimal sama dengan KKM. Parahnya lagi siswa yang bandel
meski remidi diulang tetap mengerjakan semaunya. Guru pun terpaksa memberi
nilai sama dengan KKM. Kalau KKM-nya 85,
betapa enaknya anak-anak sekarang. Maka jangan heran jika anak-anak menjadi
malas. Bentuk kegagalan pendidikan karakter Bekerja
Keras. Ironi memang. Dengan KKM seragam dan agak rendah diharapkan nilai
rapor anak wajar, mendekati kemampuan aslinya. Sehingga hasil rapor dan UN
dapat digunakan untuk pemetaan kualitas pendidikan.
Oleh karena itu sebelum K13 benar-benar
diberlakukan nasional masih perlu revisi. Untuk penilaian pengetahuan dan
ketrampilan lebih baik tetap menggunakan skala 0-100. Jika tetap menggunakan
1-4 atau A-D diberi kolom penjelasan dengan huruf atau dengan membuat
pembobotan sesuai banyak jam perpekan. Nilai dikalikan dengan beban jam untuk
menghasilkan nilai akhir yang bisa dipakai untuk menentukan indeks prestasi.
Konversi nilai dibuat proporsional,akan lebih baik jika untuk mencapai nilai
tinggi rentang skala lebih kecil untuk memacu anak belajar lebih keras.Sedangkan
KKM lebih baik secara nasional sama (2,66/B- sudah cukup baik), sehingga
penilaian sebagai sarana pemetaan bisa berfungsi.
Sekilas
penilaian K13 lebih keren, mirip penilaian anak kuliah. Dari proses
pembelajaran dan penilaian yang rumit ala anak sekolah, guru harus bisa
menghasilkan produk nilai yang elegan. Penilaian autentikpun menjadi tidak
efektif jika dipaksakan terlalu banyak indikator yang dinilai. Sementara nilai
akhir nampak terlalu sederhana. Beda dengan anak kuliahan, proses dan penilaian sederhana dengan nilai
akhir sederhana pula.
Para pendidik tentu sepakat, bahwa K13 memang
salah satu sarana untuk membangun karakter bangsa demi mewujudkan generasi emas
di masa datang. Jangan sampai guru-guru sekarang kelak disalahkan karena
generasi yang dihasilkan hanya generasi emas palsu.Nilai tinggi yang tercantum
di lembar rapor tidak sebanding dengan kemampuan sebenarnya, gara-gara
kebijaksanaan. Kurikulum dibuat demi anak bangsa, bukan untuk kepentingan guru
atau penguasa. Kurikulum bukan sekedar obat turun panas. Jadi, buat anak-anak jangan
coba-coba.
Tulisan ini dimuat di Majalah Media Jatim edisi Pebruari 2014
SIIP PAK BROOO.... tulisannya....
BalasHapuskapan tulisan kayak gini diperhatikan ama yang diteras atas ya
Hapustrims pak, makanya k13 akhirnya ditunda implementasinya sec nasional
HapusBagus pak. Like it banget. Mereka penentu kebijakan tidak melihat real di lapangan kayak apa. kita guru hanya bisa bergumam kayak lagu: "Sakitnya tu di sini."
BalasHapuskalo dipaksakan k13 malah jadi bumerang
BalasHapus