Kata orang, kata “dalam rangka” memasung kreatifitas, suatu
bentuk ketaatan melakukan tugas untuk mencapai tujuan sesaat, sekedar
menggugurkan kewajiban. Hal itu bisa dirasakan, semenjak bergulir “wajib
belajar”, banyak terjadi distorsi idealisme pendidikan. Demi anak bangsa, idealisme
untuk sementara mengalah. Hal ini pasti sudah sering dirasakan guru, bagaimana
alotnya rapat dinas untuk tidak menaikan anak,
meski secara de fakto anak tidak memenuhi syarat naik atau lulus. Ada
saja persyaratan yang harus dilengkapi agar pada akhirnya anak lolos. Naik
kelas sepertinya lebih sulit daripada penyidikan KPK yang akan menangkap
koruptor. Dampaknya, sekolah (guru) wibawanya berkurang. Sekolah layaknya
kegiatan ceremonial. Anak datang ke sekolah bawa duit jajan, duduk, dengar, dolanan dan daa daa..lulus. Enak
sekali.
Apalagi sekarang
dibakukan, tidak ada lagi tinggal kelas bagi siswa SD. Tinggal kelas bukan
hukuman, memvonis bahwa anak bodoh, apalagi melanggar hak asasi manusia.
Tinggal kelas merupakan bentuk pendidikan sebagai bagian membangun karakter
anak. Kalau dalam politik pesta demokrasi ada jargon siap menang dan siap
kalah, anak sekolah juga harus siap naik dan siap tinggal kelas. Sekolah
merupakan kawah candradimuka, bahwa untuk mencapai keberhasilan harus dengan
kerja keras. Kegagalan bukanlah kiamat. Tinggal kelas bukan akhir segalanya. Kegagalan
adalah keberhasilan yang ditunda. Dari kegagalanlah orang bisa belajar, agar
tidak mengulang kesalahan yang sama. Bahasa Wak Haji Rhoma Irama, cukup satu
kali kehilangan tongkat. Agama juga mengajarkan, bahwa setiap orang beriman
pasti masuk surga. Hanya saja, ada yang langsung masuk tanpa hisab, dan ada
yang terlebih dahulu merasakan beratnya siksa neraka, tergantung amal dan dosanya.
Dengan adanya neraka, manusia lebih berhati-hati untuk bersikap dan berbuat.
Jadi, kebijakan penghapusan sistem tinggal kelas perlu dikaji.
Kalau kebijakan itu
tetap dilaksanakan, dikuatirkan tidak hanya membuat anak malas, tetapi juga
membuat guru sebagai motor pendidikan, hilang motivasinya. Karena, kebanggaan
guru tidak hanya oleh keberhasilan anak didiknya, tetapi juga pengakuan atas
eksistensi guru yang ditandai dalam pemberian penilaian. Guru yang sudah
berusaha memberikan penilaian yang shahih,
adil dan bijaksana, merasa ditelikung manakala hasil kerjanya diabaikan
begitu saja.
Apalagi selama ini guru
sudah terbiasa menggunakan metode mengajar dan penilaian yang sudah mendarah
daging dalam bentuk angka-angka. Metode pembelajaran yang menekankan penguasaan
materi dan ketrampilan dengan guru sebagai aktor utama, membuat peran guru
begitu dominan. Dengan angka, mudah
mengukur kompetensi anak. Manakala penilaian berubah dalam bentuk narasi, tentu
metode dan sistem penilaian mengalami perubahan. Penilaian berbentuk narasi juga
menuntut kemampuan literasi guru yang hingga kini merupakan salah satu
kekurangan guru, dan biasanya normatif dan subyektif. Guru akan terlalu
disibukkan dengan kegiatan administrasi. Dampaknya, guru kurang fokus dalam
pembelajaran dan perlu merubah metode mengajar. Guru perlu pelatihan dan pendampingan kontinu,
agar guru bisa beradaptasi serta melakoninya.
Dan tidak bisa
dipungkiri, ketika kebijakan sudah diteken, pelaksana di lapangan akan
merasakan duri-duri sandungan. Dengan
konsep belajar tuntas, KKM dan kriteria
kenaikan sudah menjadi dokumen 1 KTSP, sekolah sebenarnya sudah punya pijakan
untuk melaksanakan dan mengambil keputusan. Termasuk didalamnya untuk tidak
menaikkan anak yang tidak memenuhi persyaratan, seperti ketidakmampuan membaca
dan menulis bagi siswa kelas 1 SD. Karena, anak yang tidak baca tulis, sesungguhnya
anak tersebut memang belum layak untuk duduk di jenjang berikutnya. Jika
dipaksa untuk dinaikkan justru memperberat psikologis dan daya pikir anak. Anak
bisa mengulang. Kasihan memang! Namun, dari pada membebani anak, tidak
menaikkan anak yang tidak bisa baca tulis merupakan tindakan terbaik untuk
menyelamatkan anak itu sendiri. Karena jika selama satu tahun anak tetap tidak
baca tulis, anak tersebut kemungkinan besar mempunyai kelainan. Langkah sekolah
adalah dengan mengirim/mendatangkan psikiater untuk mendiagnose anak tersebut. Jika
ketidakmampuan itu sulit diperbaiki atau bahkan permanen, orang tua anak
disarankan untuk menyekolahkan di sekolah khusus.
Para guru tentunya sudah
belajar dari adanya KKM. KKM telah membuat anak merasa berada di zone aman.
Tidak ada lagi nilai jelek tertulis dalam rapor. Anak-anak pun menikmatinya
dengan belajar santai. Nah,
kalau di SD tidak ada lagi tinggal kelas, hampir bisa dipastikan semangat
belajar anak menurun. Hal ini bisa terdeteksi sekarang, ketika tersiar kabar tidak
ada lagi Ujian Akhir Nasional untuk SD, anak-anak kelas 6 SD saat ini kurang
ada greget belajar. Kenaikan kelas merupakan magnet bagi anak untuk
berlomba-lomba memperoleh nilai maksimal. Tidak hanya agar tidak tinggal kelas,
tetapi menginginkan nilai terbaik yang kelak berguna untuk melanjutkan
sekolahnya.
Ada nasehat orang Jawa
bahwa kalau orang dipangku, dia akan mati, seperti digambarkan dalam penulisan
huruf Jawa. Tujuan meniadakan tinggal kelas yang salah satu maksudnya menolong
anak-anak berkemampuan rendah, justru bisa menjadi blunder. Bumerang bagi anak.
Bagaimana mungkin anak yang kemampuannya tidak memadai dipaksa belajar di level
tinggi. Jangankan belajar, main game saja kalau level tertentu belum tuntas
tidak bisa naik ke level berikutnya. Sekolah ibarat spiral, jika ada bagian
spiral putus, dipastikan tidak tercapai tujuannya.
Namun, guru tetaplah
guru. Guru juga manusia biasa, punya rasa punya hati. Dari indikator-indikator kompetensi dasar, guru
dapat mengukur ketuntasan belajarnya, baik dalam bentuk tes, praktek,
portofolio, maupun produknya. Apalagi dengan kurikulum 2013 yang penilaiannya tertuang
dalam bentuk sikap, pengetahuan dan
ketrampilan, sebenarnya cukup mudah menilai keberhasilan belajar anak.
Mungkin, pelaporan yang harus dituangkan
dalam bentuk diskriptif naratiflah yang membuat guru terasa berat. Untuk hal
ini, guru SD layak angkat topi kepada guru TK/PAUD, yang dalam laporan ke orang
tuanya memberikan laporan dalam bentuk naratif berlembar-lembar disertai simbol
penghargaan keberhasilan peserta didik.
Namun demikian, sebuah
kebijakan seharusnya bukan sekedar meninjau dari sisi humanis atau bahkan
atas rasa belas kasihan. Jika anak-anak SD sejak dini dininabobokan
dengan tanpa ada tinggal kelas, mereka akan mudah terlena dan tidak siap
bersaing di dunia global. Masa SD bukanlah zone aman. Zone aman bisa menjadi
blunder. Bola yang dimainkan di daerah sendiri bisa direbut pemain lawan dan
menceploskan gol atau bahkan melakukan gol bunuh diri, dan kita kalah di depan
publik sendiri. Indonesia hebat lahir dari zone perang, bukan di zone aman.
Tulisan ini dimuat di majalah Media edisi Oktober 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar