Pembaca
masih ingat hancurnya industry pesawat Dirgantara Indonesia. Hanya karena
kekurangan suntikan dana ratusan milyar, industry canggih itu tinggal nama.
Dan, putra-putra terbaik terabaikan, dibajak perusahaan manca. Sebuah kerugian besar. Itu contoh tidak dihargainya riset oleh
keangkuhan politik. Riset dianggap mahal dan pemborosan. Banyak SDM Indonesia
menciptakan karya-karya mendunia yang justru dihidupi dan lebih dihargai negara lain. Mereka dimanjakan dengan
fasilitas hidup dan akademika agar lebih bisa mengembangkan pengetahuan. Jadi,
kalau saat ini Indonesia galau, produk/hasil penelitian perguruan tinggi (PT) minim,
belum bisa diterima pasar, atau bahkan justru lulusan terbaik hengkang ke negeri
manca, berarti ada yang kurang dalam sistem pendidikan dan pemerintahan kita. Salah
satunya mungkin karena masing-masing leading sector terlalu mempertahankan
egonya sendiri.
Ditengarai,
hasil-hasil riset utamanya di PT kebanyakan mandek di rak-rak arsip kampus. Di samping itu, hasil riset kemungkinan belum mampu menjawab kebutuhan
pasar. Karena mahalnya mematenkan, sulit dijual ke industri atau badan/lembaga
yang sesuai. Dampaknya jelas, para
penemu ini tidak bisa menikmati jerih payahnya. Otomatis, mereka juga tidak mengembangkan temuannya. Kekurang
sinergisan antara riset dalam arti umum dan riset di dunia kampus yang dicoba
digabung dalam satu kementerian diharapkan mampu menjembataninya. Meski sekilas
dalam kaca mata awam, pendidikan terasa dikotak-kotak. PT focus dalam riset,
dikdasmen berkutat pada koginitif, afektif dan psikomotor. Lantas, kemana PAUD
dan TK? Bukankah Kementerian pendidikan lain bertajuk pendidikan dasar dan
menengah? Kalau Kementeriannya Pendidikan dan Kebudayaan masih masuk daftar
anggota, kalau tidak, apa nanti akan ada Kementerian Pendidikan dan Permainan? Yaa,
semua kembali ke politik. Bagi-bagi
kekuasaan tidak harus bagi-bagi lembaga. Pemborosan saja. Yang penting
sistemnya jelas, terarah dan bersinergi. Apalah arti sebuah nama?
Jika
dulu dengan satu kementerian pendidikan anggaran pendidikan sudah mencapai 20%,
dengan bergabungnya kementerian riset dan bermertamorfosisi menjadi 2
kementerian pendidikan, otomatis jumlahnya menjadi lebih dari 20%. Jika tarik
ulur dalam pembahasan R-APBN Perubahan terjadi, dikuatirkan prosentase dana
pendidikan justru berkurang. Dengan
dalih untuk kelonggaran ruang fiscal dalam pengelolaan anggaran dan pelaksanaan janji-janji presiden saat
kampanye, dana pendidikan dalam arti sesungguhnya akan dialihkan untuk hal-hal
yang bersifat populis dan mercu suar. Dua kementerian bisa tarik ulur demi
pensuksesan program-programnya.
Sesuai
pernyataan Menpan untuk moratorium CPNS, 2 kementerian baru ini tidak perlu melakukan rasionalisasi pengawai, ataupun merekrut pegawai baru. Kementerian hanya perlu optimalisasi fungsi
dan peran masing-masing personil di setiap satuan kerja. Anggaran mengacu
kepada prioritas program. Mensinergikan program pendidikan dasmen dan tinggi,
agar tidak terjadi tumpang tindih program dan anggaran.
Seperti
halnya pergantian pimpinan lembaga dalam
satu pemerintahan, pergantian pimpinan adalah suatu yang wajar. Segala
sesuatunya sudah ada aturan. Aset lembaga pemerintahan tetap dalam pengelolaan
negara. Hanya perlu berita acara serah terima keberadaan asset beserta
nilai-nilainya. Perguruan tinggi yang sudah berbadan hukum tetap menjalankan
peran dan fungsi sebagaimana mestinya.
Siapa
berani menjamin terbentuknya suatu lembaga mampu menghasilkan kerja seperti
yang diimpikan? Rasanya, di negeri ini belum banyak yang bisa diharap. Hanya
kemauan dan komitmen untuk bekerja..bekerja..dan bekerja sesuai aturanlah yang
akan membuktikannya. Contoh sederhana, kala mobil Esemka diagung-agungkan dan
digadang-gadang menjadi mobil nasional, mana kelanjutannya? Saat pak Dahlan
Iskan merintis mobil listrik, industry otomatif
dalam negeri mana yang mendukung?
Pencitraan boleh, tetapi yang lebih penting tekad menjadi bangsa mandiri. Kita
patut belajar kepada India, dengan swadesinya. Dan itu perlu riset. Riset bukan
monopoli perguruan tinggi.Anak sekolahan bisa, perlu dan harus belajar riset.
Justru di tingkat sekolah ini, perlu ditanamkan sejak dini budaya riset. Pada
usia sekolah biasanya banyak lahir ide-ide brilian. Hanya, karena fasilitas dan pengetahuan dasar belum
memadai, riset anak sekolahan baru banyak terlaksana sebatas pada kegiatan
lomba-lomba. Sementara untuk riset di PT, perlu terobosan, kemudahan dan
bantuan dana serta fasilitas. Meski menilik pengalaman, budaya riset belum
mendarah daging dalam insan para mahasiswa. Budaya copy paste ataupun
plagiatisme sedapat mungkin diberantas. Keberadaan
kementerian riset dan pendidikan tinggi dikuatirkan hanya akan memberikan PHP (pemberi
harapan palsu) apabila tidak ada langkah strategis dalam perencanaan
pembelajaran di kampus. Untuk lebih merangsang berkembangnya kualitas dan
kuantitas riset, SKS mata kuliah penelitian perlu ditambah porsinya. Mahasiswa
yang mempunyai nilai plus untuk hasil risetnya diberi dana hibah dan dibantu
pengurusan hak atas karya intelektualnya serta difasilitasi dengan dunia usaha
agar mempunyai nilai ekonomi dan diterima pasar.
Pemisahan
pendidikan dalam 2 kementerian ini mempunyai tantangan besar. Diantaranya dalam
kesinergisan hasil pendidikan dasmen ke dikti,
fasilitasi atas HAKI, serta kerjasama dengan pihak industri dan pasar. Khusus proses masuk PT, pasti akan terjadi
tarik ulur. Wacana menggunakan hasil ujian akhir sebagai salah satu syarat
masuk PT akan menggantung. Karena UN tidak lagi sebagai syarat utama kelulusan
dan hanya sebagai pemetaan.Tentunya PT bisa berkilah untuk tidak mau
menggunakannya, apalagi dalam pelaksananUN masih banyak direcoki kecurangan.
Kata
orang bijak, banyak usaha gagal karena latah. Kebijakan latah hanya akan
membuat kegiatan ABS (Asak Bapak Senang). Penelitian tidak boleh dibuat latah.
Penelitian harus mampu menghasilkan sesuatu. Penelitian berkualitas berdasar dari pendidikan yang baik.
Pendidikan tinggi mendapat input baik jika pelaksanaan pendidikan dasar dan
menengah berjalan di atas rel yang benar. Pendidikan, riset dan pasar adalah
tiga mata rantai yang sambung menyambung menjadi satu. Pendidikan, siret dan pasar yang bermanfaat,
murah, mudah didapat, multiguna, dan efisien akan menjadikan bangsa ini siap
bersaing di dunia global.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar