Iklim benar2 sudah berubah. Ingá pertengahan januari ini, meski hujan sudah Turín, tetapi air yang turun Belem cukup untuk mengairi sawah. Buktinya, petani di sekitar rumah saya masih banyak yang mengandalkan mesin pompa air. Kalau tidak, jangan berharap padinya tumbuh. Padinya kalah cepat dengan rumput. Sumur rumahanpun sampai saat ini belum terisi air. Para petani sambat, uangnya banyak tersedot untuk sewa diesel. Belum lagi pupuk urea yang langka. Pembelian lewat kelompok tani tidak seperti harapan. Stok pupuk di kelompk tak mencukupi bagi petani dikelompoknya. Entah salah perhitungan, salah pengeloloaan, atau salah sasaran.
Sementara harga beras dibeberapa daerah merangkak naik. Beras2 yang berasala dari para pedagang besar. Padahal gabah di rumah petani tak ada lagi. Beras2 sudah dimiliki pedagang yang dikala panen punya banyak uang untuk membeli hasil panen dengan biaya rendah. Naiknya harga beras yang menurut para pakar atau pemimpin sebagai berkah bagi petani, sebenarnya hanya isapan jempol.
Itulah bedanya antara petani dan penguasa. Petani menebar benih, penguasa menebar pesona. Pepatah siapa yang menebar, dia yang menuai tak selamanya tepat. Kali ini petani menebar benih, pedagang menuai untung penguasa menebar pesona. Untuk kesekian kalinya petani selalu dipihak yang dirugikan. Kabar swasembada hanyalah angka-angka yang terkumpul di pusat statistik nasional. Petani tidak berharap banyak dengan istilah swasembada. Yang penting mereka bisa menanam padi, cukup air, tersedia pupuk dan hasil panennya nanti terjual dengan harga layak. Cukup untuk balik modal, buat mkan dan sedikit menabung untuk menyekolahkan anak2nya. Syukur bisa nyicil utang dan persediaan lebaran. Kalau nasib petani sering terabaikan, bisa2 mereka mutung, tidak mau menanam padi. Celakalah kita semua. Mau makan apa kita nanti??
Selasa, 19 Januari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar