MEMBUAT TONTONAN MENJADI TUNTUNAN
Ada guru tanpa sekolah, tanpa gelar, tak perlu menggaji dan tak pernah minta tunjangan sertifikasi. Tidak pernah marah, tidak memberi pekerjaan rumah, apalagi menghukum. Tetapi mampu mengubah tingkah laku siswanya. Mampu mempengaruhi perilaku umatnya tanpa pandang umur. Makhluk sebagai guru itu bernama televisi. Yaa televisi adalah guru baru. Tampilannya yang seksi dengan menu pelajaran beraneka rasa mencoba memanjakan pemirsa setianya. Pemirsa dikondisikan menjadi siswa-siswa abadinya.
Kita bisa melihat di sekitar, bagaimana televisi mampu menjadi imam bagi makmum fanatiknya yang dengan setia mengikuti program-program teranyar. Terutama mennyangkut kehidupan artis-artis pujaan hatinya. Para fans berat ini nampaknya tidak mau ketinggalan mengikuti perkembangaan teranyar kehidupan keseharian para artis. Tidak lupa mencoba mencontoh apa yang dilakukan artis ini.
Dan ini ditangkap stasuin TV. Para production hause (PH) mengemasnya dengan berbagai program-program infotainment. Kehidupan artis di blow up. Tak peduli positif atau negatif. Tanpa memperhatikan lagi yang diberitakan itu prifvasi atau layak untuk konsumsi publik. Berita seputar kehidupan artis nampak secara vulgar ditayangkan nyaris tanpa sensor. Sebagai tayangan komersiil, pihak stasiunpun menyiarkannnya di waktu prime time. Di saat anak-anak seharusnya tidur siang atau santai untuk persiapan belajar mereka akhirnya menikmati tayangan ini. Apalagi yang diberitakan artis idolanya. Rasanya sayang kalau dilewatkan. Akhirnya waktu anak tersita, mengurangi jam belajar, waktu istirahat atau interaksi sosial. Mereka mulai terbawa arus mengikuti pola kehidupan artis suguhan awak media televisi.
Kru media infotainment dari PH pun kain kreatif mengorek sumber berita. Merasa sebagai awak jurnalist, mereka semakin tertantang memburu berita untuk menyajikan tayangan yang semakin menantang. Dan sayangnya kadang melewati batas melanggar kode etik jurnalistik itu sendiri. Pro kontra keberadaan awak media infotainment ini membuat banyak pihak gerah. Mereka bagaikan kaum paparazi. Tak kenal lelah mengikuti sumber berita kemanapun sasaran tembak kru infotaninment itu pergi. Menghadirkan sajian berita model ini pun tak mempedulikan lagi bentuk sisi jurnalistiknya. Termasuk tayangan sinematografi seperti sinetron atau berat ke sisi berita. Yang penting mereka membuat program hiburan. Ibarat para seniman menafsirkan pronografi. Masuk ranah seni, estetika atau porno itu sendiri. Bentuk tidak terlalu penting, yang utama tayangan itu menghibur, ditonton banyak pemirsa dan mendapat rating tinggi. Keuntunganpun masuk kantong rumah produksi. Itulah sebenarnya yang melatar belakangi maraknya tayangan infotaiment.
Namun bagaimana lagi, masyarakat terlalu mudah tergoda oleh hal-hal berbau gemerlap kehidupan duniawi. Apalagi dimodelkan para artis. Mereka bagaikan iklan berjalan merayu pemirsa untuk mengikuti apa saja yang dilakukan para artis. Masyarakat kita yang masuk kategori negara berkembang, tingkat pendidikan penduduknya belum terlalu tinggi. Sehingga penduduknya mudah menjadi sasaran empuk untuk promosi trend kehidupan, yang katanya modern. Dan ini salah satu pertanda tingkat pendidikan penduduk itu rendah. Mereka lebih suka menghabiskan waktu melakukan hal yang tidak bermanfaat seperti melihat tontonan murahan. Sehingga produktivitasnya rendah. Coba berapa jam penduduk Indonesia duduk menonton TV di banding masyarakat modern Singapura atau Jepang misalnya. Jelas berbeda jauh sekali.
Menyimak perkembangan penayangan program infotaiment, kian hari efek negatifnya semakin memprihatinkan dan merugikan. Tidak hanya para sumber berita yang semakin terusik dengan keberadaan mereka, namun korban-korban mulai berjatuhan. Mereka yang sebelumnya terlalu ngefans artisnya mencoba melakukan perbuatan yang dilakukan pujaannya. Mulai kasus narkoba, hamil di luar nikah, kawin lari, durhaka pada orang tua atau pornogafi dan porno aksi para selebritis. Tidak hanya efek kasus Ariel-Luna-Cut Tari, masih banyak perbuatan anak-anak muda usia sekolah yang terjerumus ke dalam lembah kenistaan dan melawan hukum gara-gara mengekor tayangan infotaiment. Jika tidak segera dikaji mendalam, semakin merusak karakter anak bangsa.
Ini semakin menegaskan, tayangan infotaiment sebenarnya tidak layak dipertontonkan ke masyarakat. Tidak banyak manfaat yang bisa diambil. Kecuali hanya pada even-ven tertentu yang menayangkan kegiatan positif dan semangat perjuangan mereka untuk maju yang pantas diteladani. Itupun hanya temporer. Sayang, setelah itu para artis kembali mempertonton kehidupan tidak mendidik.
Di tengah kebebasan berdemokrasi, kebebasan press semestinya dilakukan dengan penuh rasa tanggung jawab. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), DPR, MUI atau pihak-pihak yang menyuarakan keprihatinan terhadap tayangan infotaint perlu membuat komitment tegas. Menggunakan undang-undang yang ada untuk menyelamatkan bangsa. Agar tayangan ini tidak merusak kehidupan bangsa terutama generasi muda. Tayangan infotaiment seyogyanya ditayangkan di luar jam belajar anak saat mereka sudah ada diperaduan. Dengan pemberitaan berimbang, mendidik dan menganut asas manfaat disamping tetap menjadi hiburan.
Infotainment sah-sah saja tayang. Kita yakin para awak infotainment adalah orang-orang kreatif, cerdas, bermoral dan berpendidikan. Tidaklah sulit kiranya mereka membuat program infotainment yang mampu membawa pesan moral. Utamanya mencegah penayangan bermuatan negatif dan menyajikan infotainment dengan kemasaan menarik dan mendidik. Perlu penyatuan visi misi dari TV penyelenggara siaran, agar berita yang dipancarkan tidak mengejar profit semata.
Senin, 22 November 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar