Ini bukan pertanyaan kuis seperti yang dilontarkan Jaja Mihardja sambil memejamkan sebelah mata sewaktu memandu acara kuis dangdut di TPI. Kalau ini menjadi bahan lelucon Jaja, orang mungkin akan bertanya. Jaja Miharja itu tidak tahu beneran, ungkapan ketidakpercayaan, atau melecehkan? Orang awam pun bisa jadi bertanya-tanya, seperti apa guru profesional itu? Bukankah selama ini guru sudah digaji rutin setiap bulan. Bukankah itu sudah mewakili bentuk penghargaan profesional?
Yaa, kalau orang mengatakan demikian tidaklah salah. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata profesional berarti suatu pekerjaan yang memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya. Bisa juga diartikan suatu pekerjaan yang mengharuskan adanya pembayaran untuk melakukannya. Hal ini jelas menunjukkan tidak sebarang orang yang melakukan pekerjaan dikatakan profesional. Disamping harus mempunyai keahlian khusus, seorang profesional pantas menerima penghargaan yang layak dalam bentuk finansial.
Sudahkah hal ini cukup menggambarkan bahwa selama ini guru sudah dihargai sebagai tenaga profesional. Kata profesional harus dilihat dari konteks dan kontainnya. Kata profesional identik dengan penghargaan dengan jasa yang telah diberikan seseorang dengan hasil nyata yang secara umum bisa langsung dilihat, dirasakan dan dipertanggungjawabkan.
Orang dengan mudah mengambil contoh tenaga profesional itu seperti dokter, manager, arsitek, konsultan, pengacara, akuntan dan lain-lain yang hasil kerjanya memang benar-benar cepat dirasakan. Bagaimana dengan guru? Berjam-jam, berhari-hari sampai bertahun-tahun guru mendidik anak belum terlihat dengan cepat akan jadi apa anak itu nanti. Bahkan karena ada anak yang nakal, tidak naik, tidak lulus ujian mengakibatkan dengan cepatnya masyarakat memvonis guru gagal dalam menjalankan tugasnya. Vonis yang terlalu kejam.
Hakim saja perlu waktu panjang untuk memvonis seorang tersangka. Perlu pertimbangan, saksi, bukti dan faktor-faktor lain yang mungkin meringankan, memberatkan bahkan membebaskan seorang tersangka. Seorang profesional layak dihargai tinggi, tetapi juga siap menerima claim, dan menanggung ganti rugi jika jasa yang diberikan tidak sesuai yang dijanjikan.
Handicap masyarakat yang sudah memvonis bahwa guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang harus dengan tulus ikhlas mengabdikan dirinya kepada masyarakat telah menina bobokkan masyarakat untuk tidak memberikan nilai lebih kepada guru secara finansial. Guru harus bekerja siang malam agar anak-anak mereka menjadi pintar. Sekolah adalah pusat belajar tempat menitipkan dan sebagai bengkel untuk anak mereka yang mungkin karena kesibukan, ketidakmampuan atau ketidaktahuan akan pendidikan. Para orang tua sudah pasrah bongkokan kepada para guru untuk mendidik anak mereka tanpa peduli bagaimana guru mendidik bahkan bagaimana para guru hidup dan menghidupi keluarga.
Masyarakat baru tersadar manakala anak-anak mereka yang waktu sekolah dididik bahkan dengan hukuman, setelah belasan atau puluhan tahun menjadi orang sukses. Itupun karena anak-anak mereka yang sudah besar tersebut menyadari dan merasakan bahwa tanpa bimbingan guru baik itu ilmu yang didapat, pujian, hukuman, kegiatan-kegiatan ekstra kurikuler yang banyak menyita waktu telah membentuk mereka seorang pejuang yang tak kenal putus asa hingga mereka berhasil. Boleh dikata kesadaran yang terlambat. Ketika mereka ingin membalas jasa kepada gurunya, gurunya sudah banyak yang pensiun atau mungkin meninggal.
Apalagi dengan adanya BOS dan janji-janji calon pemimpin dalam pilkada, yang menjadikan issue pendidikan sebagai komoditi yang ampuh untuk pemilih dengan menjanjikan pendidikan murah bahkan gratis. Pendidikan semakin dianggap barang murahan, meski pada kenyataannya pendidikan itu mahal. Dengan anggapan mayoritas masyarakat seperti ini, sekolah (negeri ataupun swasta) harus memutar otak, bagaimana mengelola anggaran yang ada agar operasional sekolah dapat berjalan dan guru tetap bekerja. Kadang hal ini harus mengesampingkan pengorbanan dan penghargaan kepada guru.
Tuntutan-tuntutan masyarakat tentang pendidikan berkualitas berujung pada kinerja guru. Masyarakat menuntut guru-guru bekerja secara profesional. Kata profesional akhirnya diberi makna sempit. Guru bekerja dan mendapat upah yang layak. Jika itu terjadi, guru tidak akan ada bedanya dengan profesi lain, dan cenderung membentuk orang materialistis. Tetapi kalau profesional itu diberi makna secara makro, sangat berat tantangannya.
Guru profesional menuntut beberapa kompetensi kompleks. Guru harus mempunyai kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi profesional itu sendiri. Tinggal bagaimana para guru menyikapi dan menjawab tantangan tersebut sekaligus instropeksi. Apakah guru-guru sudah mengajar sesuai kualifikasi akademik? Sudah cukupkah pengabdian guru yang demi anak didiknya harus ”tidur” di sekolah menyelesaikan tugas-tugas sekolah? Bagaimana kehidupan sosialnya?Apakah kualifikasi akademik yang dimiliki sudah diterapkan dalam pengajaran? Apakah guru merasa dirinya profesional? Pertanyaan-pertanyaan yang bisa dijawab sendiri oleh guru. Jawaban yang bisa dipertanggung jawabkan kepada dirinya sendiri, masyarakat dan kepada Tuhan.
Sementara sertifikasi yang kini bergulir tidak sesuai ide awal pencanangan program ini. Begitu Profesor Djaali menyampaikan di seminar guru pendamping OSN yang berlangsung di Medan tanggal 3 - 4 Agustus 2010. Pemberian Tunjangan Profesi Pendidik masih seperti pemberian ransum bergilir. Bukan guru profesional dalam arti sesungguhnya. Kalau ada ungkapan, yang tua harus mengalah, kini ungkapan itu berbalik. Yang tua harus diutamakan.
Yang muda berprestasi dan menjadi guru profesional dalam arti sesungguhnya harus mengalah. Salah satu alasan, usianya masih muda dan kelak akan menerima TPP lebih lama. Padahal umur hanya Tuhan yang Tahu. Dengan keadaan demikian ada ungkapan yang tidak enak didengar, Sing waras ngalah. Nah, apa ini tidak malah menyakitkan?
Artikel ini dimuat di majalah Media Dinas Pendidikan Prop Jatim Edisi November 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Selamat Hari Guru yo kang... engkaulah patriot, pahlawan bangsa, tanpa tanda jasa.
BalasHapus