Amit
...amit! Alih-alih dapat ilmu berkelas dunia, ternyata justru musibah pilu
membuat hati para orang tua mengelus dada. Label mentereng ternyata tidak mampu
memberikan perlindungan bagi anak mereka di sekolah berlabel internasional. Anak-anak
imut itu harus menangguk malu dan ketularan penyakit atas perlakuan tidak
senonoh para petugas kebersihan Jakarta Internasional School (JIS). Perbuatan biadab ala kaum Sodom di jaman nabi
Luth ini tidak sepantasnya terjadi di sebuah lembaga pendidikan. Sepintas,
pihak sekolah sepertinya melakukan pembiaran. Malah timbul kecurigaan, ada
oknum guru JIS terlibat dalam jaringan internasional pedofilia. Karena diantara
tenaga pengajarnya justru masuk daftar buron FBI sebagai pelaku tindak
pedofilia. Yang lebih ironis, keberadaan sekolah asing di Indonesia ternyata
tidak membawa manfaat positif bagi pengembangan sumber daya manusia dalam
negeri. Tenaga pendidik Indonesia hanya sebagai tenaga pelengkap administrasi
tatkala mengawali perijinan. Berikutnya, diputus kontrak dan digantikan kaum
ekspatriat. Transfer ilmu nihil. Pendidikan asing laksana tempat kos-kosan
ataupun rumah kontrakan. Mereka minta ijin, selebihnya terserah gue.
Sebagai
sekolah berlabel internasional, sudah barang tentu mempunyai magnet tersendiri,
khususnya bagi kaum berkantong tebal. Harapan besar orang tua untuk anak mereka
mengenyam pendidikan rasa internasional, meski hanya setingkat taman
kanak-kanak memang menjadi impian, selain gengsi. Tetapi begitu terbongkar tindak
kejahatan seksual menimpa anak-anak ini, pasti hancur lebur perasaan para orang
tua. Bukan hanya mereka merasa tertipu, tetapi dampak lanjutan berupa efek
penyakit dan trauma psikis anak-anak menjadi beban tersendiri. Maka menjadi hak
para orang tua untuk menuntut pihak JIS bertanggung jawab. Baik secara
finansial, rehabilitasi kesehatan, mental dan membawa masalah ke jalur hukum.
JIS boleh dianggap telah melakukan penipuan. Sebagai rasa solidaritas, para
orang tua sebaiknya mencabut keberadaan anak-anak mereka keluar dari JIS dan
menyekolahkan di tempat lain, baik sekolah internasional maupun sekolah milik
bangsa sendiri yang kualitasnya tidak kalah dengan sekolah internasional.
Kalaulah hanya untuk taman kanak-kanak, apakah dengan mendidik di sekolah internasional akan langsung
menyulap otak sekaliber Einstin atau Habibie? Bukankah usia taman kanak-kanak
merupakan usia bermain.
Langkah
ini juga harus diback up pemerintah. Kenyataan sekolah internasional tidak
mampu memberikan pelayanan maksimal kelas dunia, keberadaan model sekolah ini
perlu ditinjau ulang, seperti halnya keberadaan sekolah kala ada RSBI. Karena
sudah terbukti ada korban, pelaku dan saksi, pihak pengelola (JIS) harus
bertanggung jawab. Di bawa ke jalur hukum. Apalagi di dalam perkembangannya,
pihak JIS sulit diajak bekerja sama, seperti menutup nutupi kasus pelecehan
seksual ini. Langkah peninjauan keberadaan sekolah internasional, utamanya JIS
pun sudah dilakukan Kemendikbud dengan menyetop operasionalnya dalam penerimaan
peserta didik baru di JIS serta memerintahkan penggantian label internasional.
Pembaca
masih ingat saat fit and proper tes calon hakim agung di DPR saat calon hakim
agung Daming di tanya soal hukuman mati terhadap pemerkosa? Apa jawaban calon
hakim tersebut? Meski maunya untuk guyon, jawaban bahwa hukuman mati tidak
perlu dengan alasan yang memerkosa dan yang diperkosa sama-sama menikmati
akhirnya menimbulkan polemik. Dan akhirnya Daming gagal menjadi hakim agung.
Tindakan para cleaning servis di JIS tersebut sekelas Robot Gedek, serumpun
dengan tindakan pemerkosaan. Pantas dihukum berat. Mahalnya hukuman mati di
Indonesia bahkan untuk kasus-kasus berat, semestinya jangan membuat pelaku
kejahatan seksual merasa enteng menjalani, tidak kapok dan bisa jadi mengulang
perbuatannya. Mereka pantas dihukum berat. Makanya ide mengkebirian pelaku yang
dimuat di harian Jawa Pos (8/5/2014) opsi yang layak diperlakukan. Pengkebirian
dalam arti menghilangkan fungsi ereksi atupun pemotongan saluran reproduksi
seperti tubektomi bagi pelaku akan menjadi sock terapi bagi siapapun yang
mempunyai niat serupa. Dan jika perbuatan diluar batas menurut pandangan umum
dan hukum, pelaku pantas dihukum mati.
Vonis
berat seperti di atas memang sepintas tidak manusiawi. Tetapi lebih tidak
manusiawi jika korban-korban tidak diperhatikan masa depannya. Dengan umur
masih bau kencur, trauma psikis pasti mengganngu perkembangan jiwa, intelektual
serta kehidupan sosialnya. Untuk itu kepada para korban perlu penanganan
khusus. Tindakan utamanya adalah pemulihan mental. Dengan bantuan psikiater,
korban dibangkitkan rasa percaya dirinya. Memindahkan ke sekolah lain agar
berbaur dengan anak-anak seusianya yang tidak mengetahui cerita lama si korban.
Termasuk juga memberi kegiatan positif dan bimbingan spiritual. Dengan cara ini minimal anak mulai bisa
melupakan peristiwa buruk yang menimpanya.
Sebuah
peristiwa pasti ada hikmahnya. Hikmah bisa berupa peringatan, petunjuk ataupun
solusi. Solusi ada yang instan ada pula yang berjenjang. Terkait kasus yang
menimpa anak-anak JIS, yang tidak jauh dari urusan sex, bukan berarti sex
adalah sesuatu yang urgen bagi anak. Sex bukan hal tabu, juga bukan sesuatu
yang mendesak bagi anak. Kita sering terjebak dalam budaya latah. Berkaca
pembagian kondom yang konon untuk mencegah HIV, justru menimbulkan polemik dan
dikuatirkan disalah tafsir bahkan disalahgunakan. Pendidikan sex untuk anak
seusia SD belum perlu diberikan. Baik secara vulgar ataupun dengan bahasa
simbol. Bagi anak-anak yang melek teknologi, pengetahuan sex akan diketahui
dengan sendirinya, tergantung pergaulan dan lingkungannya. Disinilah peran guru
(SD) dan orang tua. Para guru di tingkat SD bisa lebih menghiasi pembelajaran
di kelas dengan muatan-muatan budi pekerti, nilai sosial dan spiritual, apalagi
dengan Kurikulum 2013. Dengan menanamkan norma berkehidupan sosial, anak diajarkan
bagaimana bergaul dan berteman, memanfaatkan kecanggihan IT secara bijak, serta
menekankan pentingnya belajar agama. Karena bagaimanapun juga, agama merupakan
lampu penerang, baik hidup di dunia maupun di akherat.
Seperti
dikemukakan penulis di atas, bahwa untuk membuat efek jera bagi pelaku
kejahatan apapun perlu dihukum setimpal. Koruptor di Cina, pemilik heroin
beberapa gram di Malaysia, bisa dengan mudah di hukum mati. Bandingkan di
Indonesia. Milyaran hingga triliunan uang rakyat di korupsi, vonis ringan
sering terjadi karena tidak cukup bukti, apalagi saksi. Hukuman di jalani hanya
hitungan hari, dikorting remisi, cepat keluar dari jeruji besi pembatas bui.
Keluar penjara malah beli mercy. Yang jualan berkilogram obat terlarang atau
pemakai justru bisa jadi selebriti, negeri ini menjadi tempat ngeri!! Maka kalau di Indonesia tidak ingin lebih
banyak korban kejahatan seksual, hukuman mati patut divoniskan. Agar kita tidak
ketularan India, yang sekarang ngetrend terjadi pemerkosaan berjamaah. Empati
kepada pelaku boleh, tetapi nasib korban lebih utama demi masa depan anak yang
lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar