Kampus : Pencetak Entrepreneur bukan Pengangguran
Hidup memang
pilihan. Ketika seorang sarjana tidak lagi diwajibkan membuat skripsi, ibarat
koki memasak tanpa pernah membuat resep. Meski enak, orang lain tidak akan bisa
meniru masakannya. Seorang koki pun ingin dikenang lewat catatan resepnya. Jika
menulis skripsi dihilangkan, ibarat membelajarkan anak untuk tidak dikenang. Menulis
skripsi adalah momen monumental. Ada romantika sedih, senang, dan kepuasan. Apalagi
jika hasil skripsinya benar-benar hal baru. Belum hilang dari perbincangan
kita, kala ada keputusan UN tidak lagi sebagai penentu kelulusan, harapan UN
tidak dianggap monster justru ditelan mentah-mentah. Sontak, kalimat itu awalnya
bagi siswa bagai embun di padang pasir. Selanjutnya, efek kalimat penyejut itu
sungguh menimbulkan efek domino. Semangat belajar anak-anak turun. Tak pelak, guru-guru
yang kelimpungan. Hal ini mungkin juga akan terjadi pada mahasiswa. Yang
penting kuliah, tandatangan daftar hadir (kalau perlu titip), bayar UKT, ikut
ujian dan lulus. Sungguh enak sekali!
Membuat karya
tulis dalam bentuk apapun jika diniati bukanlah hal yang sulit. Yang sulit
adalah mengubah budaya. Yang anti pati membuat karya tulis biasanya golongan
orang malas atau sok sibuk. Jika skripsi dianggap hal yang memberatkan dengan
tahap-tahap penyusunannya, pengabdian masyarakat dan penelitian di laboratorium
pun tidak jauh berbeda. Hanya mungkin keduanya seringkali dikerjakan secara
berkelompok dan dilakukan dengan rasa gembira, suasana menyenangkan atau
terkait dengan hal-hal baru, unik, dan canggih di ruang laboratorium. Dan sudah
menjadi kebiasaan, ada saja anggota yang sekedar AI alias angka ikut. Kerja
ogah, maunya dapat nilai sama. Bentuk kerja kelompok belum menunjukkan
kemampuan pribadi seorang mahasiswa, baik itu prakarsa, kecerdasan, sosial atau
kepemimpinan
Kampus sendiri
punya kepentingan dengan karya tulis civitas akademikanya. Kualitas perguruan
tinggi salah satunya ditentukan dari hasil karya tulis yang dihasilkan
mahasiswanya. Sedikit banyaknya hasil penelitian yang dipublikasikan dalam
bentuk jurnal-jurnal berskala nasional ataupun internasional, menunjukkan
geliat akademik kampus. Sebagus dan sebanyak apapun karya di kampus jika tidak
ditulis hanyalah omong kosong, nol besar. Hal itu akan terpupuk jika para
mahasiswanya sejak dini terlatih budaya menulis yang dipungkasi dengan membuat
skripsi. Kampus juga sudah membuka berbagai jalur program, baik diploma maupun
strara. Setiap jalur punya konsekuensi untuk membuktikan produk lulusannya.
Bagi lulusan S1, mutlak kiranya kemampuan menghasilkan suatu karya yang bisa
dipertanggung jawabkan di depan penguji dalam bentuk skripsi. Kemampuan membaca
keadaan, mengumpulkan, mengolah, menganalisa hingga menarik kesimpulan diperlukan
bagi seorang calon pemimpin.
Sayang, produk
ilmiah kampus Indonesia masih rendah. Kecanggihan teknologi tidak berbanding
lurus dengan karya tulis ilmiah yang dipublikasikan. Berbagai jenis media sosial
yang ditawarkan justru membuat orang kehilangan kreativitas menulis yang baik.
Model tulisan yang muncul dalam dunia daring justru merusak unsur-unsur
kebahasaan. Banyak yang hanya sekedar basa-basi, balas-membalas status ataupun
sekedar curhat masal. Maka kloplah jika anak-anak sekarang miskin ide. Ide lahir, banyak karena membaca. Membaca
merupakan modal utama menulis. Sayangnya, banyak mahasiswa juga sudah terbiasa
mengumpulkan tugas-tugas kuliah yang dikerjakan dengan tehnik copy paste. Tak
pelak kecurangan ini menimbulkan mahasiswa ambil jalan pintas. Meski kesalahan
ini juga bukan mutlak kesalahan mahasiswa, para dosen juga salah. Sudah menjadi
rahasia umum, bahwa salah satu kelemahan dosen yang paling tidak disukai
mahasiswa adalah dosen terbang. Dosen terbang biasanya punya kesibukan seabrek,
suka memberi tugas dan sulit ditemui. Dosen model ini kalau memberi tugas berjibun,
dengan penilaian semau gue. Kalau dalam istilah Jawa, penilaiannya model kilanan. Yang banyak dan rapi mendapat
nilai baik, tanpa sempat membaca dengan seksama tugas-tugasnya. Yang penting
sudah ada nilai. Dampaknya, mahasiswa menjadi malas dan membuat asal-asalan.
Begitu juga kala mengajukan judul penelitian dan pembimbingan. Para dosen
terlalu gampang menolak judul dan sulit ditemui. Mereka menjadi semakin jaim
dan sok repot, mengabaikan tugas utamanya mengajar dan membimbing mahasiswa.
Mahasiswa pun dibuat putus asa.
Jalan pintas pun
akhirnya ditempuh. Menggunakan hukum penawaran-permintaan, mencari biro
penyedia jasa penyusunan skripsi. Tak perlu repot-repot. Kalau dulu masih
sembunyi-sembunyi, sekarang biro penyusunan skripsi sudah pasang iklan dibantu
calo. Bahkan ditengarai ada dosen yang doble standard, merangkap calo skripsi.
Bagi mahasiswa yang judulnya ditolak, si oknum dosen mengarahkan untuk
memberikan bimbingan plus. Tidak hanya membimbing, tetapi memberikan paket
lengkap. Mahasiswa tinggal terima jadi, beres. Dan ini sangat masif. Untuk
mengeliminir perlu langkah sinergis antara kampus, polisi dan masyarakat. Salah
satu langkah dari kampus adalah mewajibkan mahasiswa yang membuat skripsi harus
membawa file asli dan berkas, utamanya data asli. Dengan tehnik tertentu lewat
perangkat IT, skripsi hasil jahitan mudah terdeteksi. Mereka juga tidak
mempunyai data otentik, termasuk daftar pustaka berupa buku. Jika diharuskan
membawa buku, banyak yang tidak bisa menunjukkan. Sedang bagi polisi, perlu
melakukan razia, karena biro-biro tersebut telah membuat data abal-abal, menipu
termasuk membajak hak intelektual orang yang dicopy paste. Pelaku perlu
dijebloskan ke dalam penjara.
Di masa lalu, skripsi
bukan hal wajib. Hanya mahasiswa yang berminat dan memenuhi syarat tertentu,
misal IP, baru bisa membuat skripsi. Tujuannya waktu kira-kira untuk menjaring
mahasiswa berkualitas yang siap menjadi dosen atau mereka yang kelak nantinya
akan melanjutkan ke jenjang lebih tinggi. Hal seperti itu juga bisa diterapkan di era
sekarang. Nilai positif yang diambil adalah, untuk menjaring sejak dini
kualitas lulusan S1. Kelak, saat penjaringan di bursa kerja, perekrut bisa
memilah dan memilih calon pekerja yang sesuai dengan kebutuhannya.
Jadi
jika menulis skripsi bagi mahasiswa S1 diposisikan sebagai opsi, hal itu perlu
perlakuan khusus. Mahasiswa yang tidak menulis skripsi, tetap membuat karya
tulis non skripsi. Bisa membuat essai, menulis laporan pengabdian/penelitian,
membuat buku fiksi/nonfiksi ataupun menyusun proposal/program setelah lulus.
Program tersebut dipresentasikan di depan sidang terbuka. Bagi yang memenuhi
syarat diberi stimulus berupa modal kerja atau disalurkan ke bursa kerja dari
instansi/perusahaan yang sudah bekerjasama dengan pihak kampus. Model seperti
ini juga sebagai cara mencetak lulusan kampus sebagai calon entrepreneur
daripada sekedar pencetak pengangguran bermodal stopmap berisi ijazah sarjana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar