SIMBOK
Trimo ini memang anak kebangeten. Semenjak ditinggal ayahnya yang meninggal di luar negeri sewaktu jadi TKI. Trimo seperti kehilangan figur. Sebagai anak tunggal ia tidak melihat kondisi orang tuanya yang masih kekurangan. Masuk ketegori keluarga miskin, penerima BLT. Meski sekarang sudah duduk di kelas XII SMK, sikap kedewasaan Trimo belum muncul. Apa-apa masih diladeni bak anak raja. Mbok Nem sendiri tidak kurang menasehati Trimo
“Trimo, kamu itu mbok yaao melihat keadaan keluarga kita. Ngaca! Kamu itu siapa? Bapakmu saja memberi kamu nama Trimo itu biar kamu melihat keadaan kita. Jadi anak yang nrimo.” Itulah wejangan rutin mbok Nem buat anaknya. Wejangan tinggal wejangan. Kehidupan trimo pun sudah terkontaminasi teman-teman sekolahnya. Sok kaya. Membuat mbok Nem sering meratap memikirkan Trimo. Tapi itulah hati seorang ibu. Bagaimanakan tingkah Trimo, mbok Nem berusaha memenuhi semua keinginannya. Ngak peduli harus berbuat apa, yang penting Trimo mau sekolah.
“Mo…, Trimo…bangun. Sholat Subuh. Sudah jam 5.30”, mbok Nem membangunkan Trimo yang masih molor di dipan bambu. Yang dibangunkan masih saja membujur kaku. “Mo, lekas bangun. Ayam dan kambingmu belum kamu beri makan.” Kalimat itu seperti menjadi lau wajib bagi mbok Nem setiap pagi. Mbok nem juga hafal, Trimo kalau membangunkannya belum tiga kali yaa belum bangun. Sesekali siraman air terpaksa mbok Nem guyurkan ke tubuh Trimo. Kalau sudah begitu, dijamin. Trimo pasti bangun.
Memberi makan ayam dan kambing adalah kegiatan rutin Trimo setiap pagi. Itupun, untuk makanan kambingnya saja, mbok Nem sendiri yang masih mencarikan. Aktivitas rutin Trimo tak jauh dari sekolah, makan, tidur dan main. Hingga suatu saat Ujian Nasional sudah dekat.
“Le… katanya pak guru dan teman-temanmu, sebentar lagi Ujian Nasional. Belajar giat ya Mo!”
“Yaa mbok!” Jawaban singkat khas Trimo.
Ujian nasional pun berlalu, Trimo menjalaninya penuh semangat. Saban malam mbok Nem bermunajat kepada Allah swt. Memohon doa, agar anaknya berhasil menempuh Unas. Unas dilalui Trimo dengan lancar. Dan seusai pengumuman, Trimo dinyatakan lulus.
Tantangan menghadang Trimo. Hendak kemana setelah lulus? Meski ia lulusan SMK, ia masih bingung. Keahlian otomotifnya untuk apa? Ikut bengkel ia tidak biasa kerja. Penyakit malas bawaan keseharian menghinggapinya sendiri. Ia takut dengan bayang-bayang sendiri. Sering ia duduk termenung menyendiri. Menyalahkan dirinya sendiri. Mengapa ia tidak memiliki jiwa entrepreneurs seperti yang diajarkan gurunya di sekolah? Mengapa ia tidak mencoba merantau seperti teman-teman sekolah dan tetangganya? Beberapa pertanyaan yang Trimo sendiri tidak mampu menjawabnya Kematian ayahnya sewaktu jadi TKI masih membuat dirinya trauma. Hingga mbok Nem mengetahui perubahan sikap Trimo akhir akhir ini.
“Mbok tahu kok yang kamu pikirkan. Kalau kamu terus melamun begini, kapan kamu belajar kerja? Lha mbok yoo nyoba kerja sama mas Joko di kota sana. Siapa tahu kamu nanti jadi kaya seperti mas Joko!” mbok Nem mencoba membuka wawasan Trimo.
Dengan bekal petuah dari simboknya, Trimo pun menuruti. Mas Joko adalah warga satu desa dengan Trimo yang sukses kerja di Kota. Punya showroom motor, bengkel mobil dan motor, counter HP dsb. Pokoknya mas Joko orang sukses.
Dua setengah tahun Trimo magang di bengkel mas Joko. Merasa keahliannya sudah terasah dan mempunyai modal cukup. Trimo membuka usaha bengkel sendiri dengan dua teman sekolahnya. Hoki pun berpihak pada Trimo. Dalam sekejap bengkelnya berkembang pesat. Langganannya banyak. Mereka puas dengan layanan Trimo.
Seiring pundi-pundi yang kian menumpuk, penampilan Trimo pun berubah. Ia tak lagi Trimo yang dulu. Yang culun dan lugu. Penampilaannya berubah, mengikuti trend modern. Mbok Nem sebenarnya tidak senang dengan penampilan dan perubahan perilaku Trimo.
“Mo, kamu ini mbok ya nggak usah neko-neko. Biasa saja. Syukur-syukur keuntungannya kamu tabung dan buat sodaqoh. Jangan lupa bayar zakat. Banyaknya uangmu jangan membuatmu lupa dengan akhirat. Sholat lima waktu jangan kamu tingalkan.”
“Halah, simbok ini terlalu banyak kutbah. Ini semua berkat kerja keras Trimo. Mbok. Eh Mbok, mulai besok aku manggilmya ganti yaa. Tidak simbok lagi. Gantiansaya panggil ibu atau mama. Masak ortunya anak gaul, dipanggil Mbok.”
“Nggak usah. Buat apa diganti. Aku lebih suka dipanggil simbok seperti dulu. Sama halnya mbok juga lebih suka melihat penampilam kamu seperti dulu”
Diberi nasehat Trimo malah ngacir. Pergi meninggalkan mboknya yang berdiri mematung memperhatikan polah anaknya yang mulai keluar jalur agama.
Hari-haripun berjalan. Hingga suatu saat musibah menimpa Trimo. Seluruh bengkelnya terbakar. Akibat kecerobohannya sendiri. Memperbaiki motor sambil merokok. Trimo lemas melihat bengkelnya yang tinggal arang. Mbok Nem lalu mendekat.
“Trimo, yang sabar dan tabah ya lee. Masih untung kamu selamat. Harta masih bisa di cari. Makanya bersyukrkah. Ingatlah nasibmu dulu Jangan kau lalaikan Yang Kuasa. Ini baru peringatan. Kalau kau tidak berbenah. Alloh akan memberi cobaan yang lebih berat. Dan kamu patut bersyukur punya orang tua seperti Mbok. Coba kalau orangtua mama. Kamu panggil aku mama…mama….. Memangnya arti mama itu apa. Coba kamu piker, kamu kan anak sekolah…”
“Yaa mbok… Trimo akan berubah” Trimo lalu bangkit. Menyibakkan sisa arang dan siap meretas masa depan yang lebih baik.
“Terima kasih Simbok.”
Rabu, 23 Desember 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar