Sejak awal sertifikasi guru digulirkan, pengawas memberi penilaian terhadap kinerja guru. Sementara sang penilai belum mengantongi sertifikasi pengawas untuk memperoleh TPP. Dalam hati para pengawas ini pun mungkin ada gejolak. Enak benar para guru, pengawas yang menilai, para guru yang menikmati rejeki. Tidak adil rasanya. Mau memberi nilai minus, nanti pengawas dianggap jual mahal. Dinilai kurang, tidak tega. Kasihan, guru-guru ini terlanjur berharap mendapat TPP. Sudah gali lubang sebelum TPP dibayarkan.
Belum jelasnya status pengawas waktu itu, dimungkinkan memunculkan gagasan agar para pengawas ini harus segera disertifikasi agar hatinya lebih ikhlas ketika memberi penilaian kepada guru. Di sisi lain kuota sertifikasi guru yang setiap tahun terus meningkat perlu pengawas dalam jumlah cukup. Jadi tidak heran jika pada akhirnya proses sertifikasi untuk pengawas lebih ringan. Semakin banyak pengawas yang tersertifikasi, semakin cepat dan valid penilaian kepada guru. Begitu kira-kira harapan atas kebijakan proses sertifikasi pengawas. Kalau sistemnya sedikit beda, memang karena tugas pokok dan fungsinya beda.
Di dalam Perutaran Pemerintah No 74 tahun 2008 memang sudah disebutkan, bahwa pengawas merupakan guru yang mengemban tugas tambahan seperti halnya menjadi kepala sekolah. Hanya bedanya, sebagai pengawas tidak diberi kewajiban mengajar di depan kelas sebagaiman kepala sekolah yang harus mengajar di depan kelas minimal 6 jam per pekan. Tiadanya kewajiban mengajar di depan kelas inilah yang merupakan kerancuan, bila pengawas mengikuti sertifikasi dengan pijakan Permendiknas itu sendiri. Jika saja kepala sekolah yang secara yuridis harus tampil tatap muka di depan, mengapa pengawas tidak?
Tentu ini bisa menjadi keirian guru. Tetapi iri yang tidak boleh diirikan. Jika kepsek harus mengajar di depan kelas, mengapa pegawas sekolah tidak? Sebuah produk hukum sering masih harus menyesuaikan dan dibuatkan tata laksananya. Tafsir terhadap aturan itu bisa dikembangkan sesuai ranah bidang garapannya. Pengawas adalah tenaga pendidik terpilih. Mempunyai jam terbang cukup dan dinilai profesional ketika memangku sebagai guru sebelum diangkat menjadi pengawas. Sebagai tenaga fungsional yang mempunyai tugas khusus, para pengawas ini harus merasa percaya diri. Siapa yang mau bersusah payah menilai dan membimbing para guru, jika pengawas sendiri belum tersampir gelar pengawas profesional. Masa menggolkan guru agar bergelar guru profesional, sementara penilainya belum bersertifikat profesional. Jadi wajar-wajar saja kan bila pengawas dimudahkan dalam proses sertifikasinya?
Mungkin, kalau proses sertifikasinya hanya dalam bentuk portofolio, ini yang perlu diperbaharui. Sebagai pengawas (juga sebagai tenaga pendidik), proses sertifikasinya juga harus berkaitan dengan dunia kepengawasan. Segala pernak-pernik untuk melengkapi portofolio dibuatkan ratio antar berkas yang dikumpulkan selama menjadi guru dan setelah diangkat sebagai pengawas. Dengan demikian akan nampak tingkat keprofesionalismenya ketika menjabat sebagai pengawas. Kecuali bagi pengawas yang diangkat setelah sebelumnya sudah lulus sertifikasi guru. Sehingga anggapan sertifikasi pengawas hanya acara bagi-bagi rejeki gugur dengan sendirinya. Besaran nominal rupiah akan sepadan dengan hasil kerja pengawas, asal kinerja pengawas sudah pada rel dan proporsi yang tepat.
Hanya saja yang perlu didiskusikan, bagaimana merekrut dan membentuk pengawas yang profesioanl? Bagaimana struktur pembinaan kepengawasan dan jenjang kariernya? Jangan ada anggapan bahwa pengawas adalah tempat parkir. Meski juga ada anggapan bahwa pengawas merupakan karier tertinggi guru selain menjadi kepala sekolah. Menjadi pengawas sepertinya akan menjadi sosok yang disegani. Coba bapak/ibu guru rasakan. Bagaimana perasaan para guru bila ada berita ada pengawas datang? Takut atau bahagia. Bisa takut bila guru merasa belum lengkap perangkat mengajarnya. Bisa pula bahagia jika guru merasa ada dewa penolong datang. Pengawas akan dijadikan tempat curahan hati para guru untuk memperbaiki kinerja dalam rangka peningkatan profesionalismenya.
Bila kemungkinan kedua yang timbul, inilah sosok pengawas yang diidamkan. Seperti halnya guru profesional yang ditunggu dan dirindu siwa, menjadi pengawas yang ditunggu dan dirindu guru adalah idaman para guru, juga kepala sekolah. Tidak menjadikan guru takut dan benci, karena hanya dicari kesalahannya tanpa memberi solusi. Dengan adanya pengawas profesional, dapat dijadikan obat. Dan pengawas harus bisa sebagai terapisnya. Bagaimana dan dimanapun tempatnya, hampir selalu ada sekolah, guru yang sulit dikembangkan keprofesionalannya. Di tangan pengawaslah nasib pendidikan ini dipertaruhkan.
Dengan adanya Permenpan nomor 21 tahun 2010 tentang Jabatan Fungsional Pengawas Sekolah dan Angka Kreditnya, pengawas semakin mempunyai kedudukan penting dalam pendidikan. Bahasa kerennya, seharusnya semua guru harus takut dan berterima kasih dengan pengawas. Nasib para guru berada di tangan pengawas (dan kepala sekolah). Bila penilaian terhadap kinerja sekolah (kepala sekolah) dan guru tidak baik , imbasnya hak istimewa guru bisa tercabut. Siapa tidak takut? Dan ini memerlukan pengawas yang benar-benar profesional.
Seperti halnya guru dan kepala sekolah, pengawas juga perlu membentuk forum pengawas untuk saling membelajarkan. Pendidikan dan pelatihan pengawas perlu diintesnifkan Meningkatkan profesionalisme melalui mengawas sambil belajar dan menghidupkan forum ilmiah pangawas. Bukankah belajar juga tidak memandang kedudukan dan waktu? Menyiisihkan sebagian tunjangan profesi pendidik/pengawas untuk pengembangan diri sebagaimana dianjurkan kepada guru penerima TPP. Namun semua kembali kepada pribadi dan sistem. Pengawasan melekat oleh seorang pengawas baru sebagian upaya meningkatkan kualitas pendidikan. Sesungguhnya pengawasan dari malaikat dan Sang Kholiq akan meminta pertanggungjawaban manusia di hari perhitungan amal.
Tulisan ini dimuat di Majalah Media Dinas pendidikan prop jatim Edisi April 2011
Selasa, 05 April 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar