“Siapa
bilang tidak naik pangkat dalam jangka waktu lama tunjangan fungsionalnya
dihentikan? Kok, sampai sekarang belum ada berita. Aman-aman saja”. “Aku tidak
naik pangkat, aku ra popo. Yang penting
tiap bulan tetap gajian.” “Kalau ada kegiatan MGMP, worksop atau diklat, biar
yang lain saja. Saya tidak usah dikirim.” Kalimat seperti ini pasti sering
pembaca dengar. Mengapa? Karena berdasar pengamatan, kenaikan pangkat bukan hal
sulit. Kepala sekolah atau staff TU pun sering uring-uringan, agar guru yang
waktunya naik pangkat segera menyiapkan berkas kenaikan. Sementara yang
bersangkutan tenang-tenang saja. Akhirnya memunculkan kalimat, “Sudah, saya
nurut saja. Yang penting beres”. Apalagi kalau ada pemandu kenaikan pangkat, dengan
tag line “Wani piro?”. Urusan beres!
Sejak
era kenaikan pangkat dengan menggunakan angka kredit, guru di-iri pegawai lain
yang untuk naik pangkat otomatis memakan waktu sekitar 4 tahun. Sementara
kenaikan pangkat para guru seperti peserta maraton. Baru dua/dua setengah tahun
saja, sudah banyak yang mengajukan kenaikan pangkat lagi. Sampai golongan IVA, naik pangkat bak berkendara di jalan tol. Baru
pada waktu mengajukan IVB, para guru merasa ada beban terkait pengembangan diri
berupa KTI. Makanya begitu ada biro jasa yang sanggup meng-gol-kan IVB, secara
bergerilya para pemburu IVB tawar menawar teken kontrak! Ceritapun bergulir,
bagi yang beruntung IVB nya turun, sedang yang nasibnya apes terpaksa
gigit jari.
Nah,
munculnya PermenPAN dan RB no 16 tahun
2009 ini, merupakan salah upaya untuk mendudukkan kepangkatan seorang guru
dalam arti sebenarnya. Pangkat bukan untuk gagah-gagahan atau menambah
pundi-pundi rutin setiap bulan. Pangkat adalah sebuah bentuk penghargaan atas
prestasi kerja yang harus dipertanggungjawabkan. Baik secara profesional atau
kepada Tuhan.
Sekilas
nampak, bahwa lahirnya peraturan ini seperti menghambat kenaikan pangkat guru.
Hal ini bisa dilihat dari besaran angka kredit pada poin-poin penilaian. Secara
umum lebih kecil bila dibandingkan dengan permen lama tahun 1993. Kalau dalam
aturan lama, asal akumulasi nilai memenuhi (plus KTI bagi IVB ke atas) bisa
langsung mengajukan kenaikan pangkat. Pola baru tidak! Untuk unsur utama,
setiap bagian mulai pelaksanaan pembelajaran, pengembangan diri dan publikasi
ilmiah harus ada nilainya. Itupun masih akan dipengaruhi oleh nilai PKGnya. Padahal,
hanya untuk PKG saja jika dilaksanakan 100% sesuai aturan, kenaikan pangkat terasa
berat. Kalau sekolah memberikan pilihan, mana yang lebih penting, melengkapi
administrasi atau melaksanakan pembelajaran yang baik untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa. Tentunya pilihan kedualah yang diambil. Akhirnya guru ataupun
pihak sekolah bisa memilah dan memilih, unsur utama mana yang menjadi fokus
saat penilaian kinerja guru. Hal ini juga berdasar fakta, bahwa jlimetnya
aturan serta banyaknya persyaratan administrasi, bisa kontraproduktif terhadap keberhasilan
pembelajaran. Para guru pun mungkin bersepakat, “Untuk apa”? Toh pada akhirnya guru
harus memberi penilaian baik kepada siswa. Masa siswa dipermudah, sedangkan gurunya
dipersulit.
Namun
demikian PKG dan PKB tetap harus dilaksanakan seoptimal mungkin. Sosialisasi
dan pemahaman kepada guru menjadi modal dasar. Meski di dalam PKG sudah ada
indikator untuk menilai 14 kompetensi bagi guru kelas / guru mapel dan 17
kompetensi bagi guru BK, toh tetap ada lubang-lubang dan kebijakan yang bisa
diambil untuk mengefektifkan kerja tim penilai. Hanya saja, demi keadilan
sekolah harus membuat aturan main berupa
indikator pendamping agar dalam penilaian adil.
Memperhatikan
hal ini, terkait PKG, kedudukan kepala sekolah memegang peran sentral. Kasek
bisa menjadi raja kecil. Tetapi, jika tidak dikontrol PKG bisa menjadi
bumerang. Karena PKG tidak hanya sekedar laporan dalam bentuk angka, tetapi
juga berdampak dalam penilaian angka kredit. Termasuk juga dalam penentua penilaian
DP3. Karena untuk memperoleh nilai DP3, para guru harus mengisi SKP (Sasaran
Kerja Pegawai) yang salah satu indikatornya juga ada dalam indikator PKG. Sehingga
jika para guru tidak puas dengan hasil PKG-nya dan membandingkan dengan sekolah
lain, akan menimbulkan kecemburuan sosial. Untuk itu dinas pendidikan perlu
mengkontrol pelaksanaan PKG. Melalui pengawas sekolah, dinas pendidikan
melakukan uji petik dan menstandarisasi PKG di tingkat kabupaten. Dinas
pendidikan juga perlu mengakomodasi kegalaun guru, khususnya dalam publikasi
ilmiah dengan menerbitkan jurnal ilmiah di tingkat kabupaten. Jika jurnal
ilmiah semakin banyak, guru lebih semangat menulis.
Jadi
PKG jangan dianggap sesuatu yang merepotkan. Asal guru sudah melaksanakan
tupoksinya, PKG dengan sendirinya sudah digenggaman. Guru perlu menambah
kreatifitas dan inovasinya, mendisiplinkan diri dan melakukan jejaring. Memang,
bagi guru yang terbiasa nyantai, PKG seperti sebuah beban berat. Sehingga
begitu penilaian tiba, guru terpaksa lembur menyiapkan diri dan secara otomatis
guru tersebut menomorduakan kegiatan pembelajaran di kelas. Namun jika guru sudah
menjadi panggilan hati, apapun bentuk tugas bukan lagi masalah. PKG tidak
mengganggu PBM.
Seperti
diungkapkan penulis di atas, bahwa PKG dan PKB akan menempatkan kepangkatan guru
sebagai bentuk penghargaan dan uji keprofesionalan guru. Bagi guru yang
mendapat nilai baik, serta mempunyai nilai untuk setiap komponen yang disyaratkan, dalam empat
tahun guru sudah bisa mengajukan kenaikan pangkat. Yaa, mirip kenaikan pangkat
otomatis empat tahunan. Tetapi, lagi-lagi para guru pasti merasa terhambat dan
berat melaksanakan PKB dan PKG. Apalagi kalau tidak terkait dengan pengembangan
diri dan publikasi ilmiah. Karena mulai kenaikan ke IIIC, guru sudah harus
membuat KTI. Jika pada era sebelumnya guru bisa menjadi peneliti kagetan,
dengan menghasilkan 3-4 KTI dalam waktu singkat untuk maju IVB, hal ini tidak
bisa lagi. Para guru harus menyiapkan KTI-nya setiap tahun, karena penilaian
PKB juga dilakukan setiap tahun untuk menghasilkan perolehan angka kredit
tahunan. Hal ini juga linear dengan PKG dan SKP. Jika tidak siap sejak dini, guru sendirilah
yang menghambat kariernya sendiri, bukan PKG atau PKB.
Mungkin,
hal inilah yang membuat pemberlakuan PKG dan PKB sebagai langkah awal kenaikan
pangkat beberapa kali waktu pelaksanaannya ditunda. Selain karena aturan yang
dibuat beberapa kali mengalami revisi, keberatan guru di lapangan menjadi
pertimbangan. Dengan belum dilaksanakan
secara optimal, PKB dan PKG belum efektif mendongkrak prestasi kerja guru.
Jika
PKG dilakanakan sesuai aturan, guru akan meningkat profesionalismenya. Otomatis
pretasi belajar siswa meningkat. Guru semakin rajin, bisa mengurangi guru-guru nakal. Bagi pemerintah, PKG bisa
digunakan sebagai pemetaan guru. Dari sisi anggaran, PKG juga bisa menghemat
belanja rutin pegawai, karena semakin terkontrolnya kenaikan gaji.
Yang
jelas, dengan PKG, guru semakin tertib administrasinya, kehadiran di kelas baik
dan tergerak untuk mau mulai belajar meneliti dan menulis. PKG merupakan pelecut tumbuhnya kesadaran
guru untuk meningkatkan profesionalitasnya. Saatnya guru menjemput bola, dan
memainkan bolanya untuk mencetak kemenangan bagi diri guru sendiri. PKG dan PKB
masalah buat guru? Siapa takut? PKG dan PKB diberlakukan, guru yaa... ra popo.
Tulisan ini dimuat di majalah Media edisi Juni 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar