Lahirnya sebuah kebijakan sering harus dibayar mahal. Lebih mahal dari besaran rupiah yang dikeluarkan langsung akibat kebijakan itu. Tidak hanya dalam bentuk rupiah, terlebih menyangkut nilai bersifat moral dengan dampak sistemiknya. Berkaca kebijakan pemberian tunjangan bagi guru yang lolos uji sertifikasi, harus berani kita katakan. Uang sertifikasi belum menampakkan hasil memuaskan.
Puluhan juta yang sudah dikantongi belum berimbas terhadap peningkatan kompetensi guru. Lebih banyak terbuang untuk hal-hal berbau konsumtif. Bahkan kinerjanya cenderung menurun. Merasa sudah senior dan mengerjai juniornya, berdalih agar yang junior segera profesional. Yang senior pun lempar tugas berlabel tim teaching. Tim pun berubah menjadi tim plencing, melarikan diri bergantian mengajar. Wajar kalau guru yang belum sertifikasi iri. Lantas mau protes kepada siapa? Yang sudah menikmati madu sertifikasi dengan santainya bekerja. Sementara rapel sertifikasi terus mengalir ke rekening bagai mesin otomatis pencetak uang.
Mungkin untuk mereda gejolak guru-guru yang belum sertifikasi, pemerintah mengambil kebijakan memberi tunjangan bagi mereka yang belum tersentuh sertifikasi berupa Rp 250.000,00 per bulan potong pajak. Lumayan, daripada tidak ada. Pemberian yang dirasa lebih sekedar ngayem-ngayemi. Menentramkan hati guru yang belum dapat pemerataan sertifikasi. Ini sebuah kabar gembira. Di tengah kritikan masyarakat terhadap kinerja guru, harusnya pemberian tunjangan ini menjadi cambuk. Apalagi di saat yang sama, kabar pemberian ini berbarengan dengan rencana kenaikan gaji pejabat tinggi negara. Pasti membebani anggaran negara sementara subsidi beberapa sektor dipangkas.
Guru PNS sebagai abdi negara dan abdi masyarakat selayaknya memperoleh hak sama. Kecuali guru di daerah terpencil dan daerah dengan biaya hidup di atas rata-rata. Seperti yang terjadi saat ini. Karena otonomi daerah beberapa pemda memberi insentif lebih bagi PNS termasuk guru. Entah bernama uang kesehatan, tunjangan lauk pauk ataupun transport. Guru-guru diknas mungkin iri dengan pegawai pusat (mis. guru depag) dan beberapa daerah. Uang mamin yang dikucurkan pemerintah pusat dalam DAU pada prakteknya tidak diterimakan dengan berbagai alasan. Hak pegawai terampas, karena program, visi misi pimpinan dan program yang belum memperhitungkan kebijakan pusat. Jika DAU tidak cukup, seyogyanya pemda melakukan perhitungan ulang dan mengkaji proyek-proyek yang tidak essensial. Jika memungkinkan mengajukan penambahan dana ke pemerintah pusat.
Meski demikian, kurangnya respon pemda dengan tambahan tunjangan ini bisa dimaklumi. Hal ini karena pemberian tunjangan Rp 250.000,00 hanya berkaitan dengan guru PNS. Sedang pagawai lain bahkan guru non PNS tidak menerima. Bukan bermaksud mendiskriminasi. Tetapi karena kebijakan ini sebagai pendorong guru PNS, sudah sewajarnya mereka dulu yang diberi insentif. Agar kinerjanya meningkat dan jadi contoh. Mungkin saja, jika anggaran pemerintah mencukupi, suatu saat guru non PNS juga akan diberi.
Untuk meningkatkan SDM dibutuhkan biaya tidak sedikit. Besaran rupiah yang digulirkan harus dijawab dengan prestasi kerja. Agar program tidak dikatakan boros. Trilyunan rupiah uang rakyat ini bisa saja lebih bermanfaat jika digunakan untuk membuka lapangan kerja dan membangun infrastruktur. Tetapi bukankah untuk menghasilkan tenaga kerja bermutu yang sanggup membangun infrastruktur perlu tenaga handal? Nah, anggapan boros itu terhapus dengan hasil kerja konkrit guru mencetak SDM handal. Pemberian tunjangan ini investasi jangka panjang.
Seperti diungkapkan di depan, dilihat dari kacamata guru yang belum sertifikasi, pemberian tunjangan ini lebih sekedar meredam gejolak, mendinginkan hati. Bagaimanapun ada perbedaan besar antara yang sudah dan yang belum sertifikasi dari nilai rupiah yang diterima. Jika kebijakan ini berlanjut sementara program sertifikasi masih menyisakan masalah, kecemburuan sosial tetap terjadi.
Puas itu hanya berakhir di liang pusara. Berapapun tunjangan diberikan, hal ini belum mampu mendongkrak prestasi kerja. Tambahan rupiah berbanding lurus dengan besaran hutang dan penyakit konsumerisme. Mudah dilihat dari kenaikan gaji serta sertifikasi. Guru yang kelihatan dimanja tidak segera beranjak naik tanggungjawabnya. Cenderung bermalas-malasan. Jalan pikirannya sederhana. Siapa sih yang akan menghentikan tunjangan itu? Kan yang sudah sertifikasi dan ogah-ogahan mengajar dan tidak mencukupi beban kerjanya tidak ada sanksi!
Memperhatikan hal ini, tidak ada jaminan pemberian tunjangan akan meningkakan mutu pendidikan umumnya dan kualitas guru pada khususnya. Tunjangan masih dianggap sebagai bonus dan penyeimbang kenaikan harga dan kebutuhan hidup yang semakin meningkat. Tidak ada rasa kekuatiran dari guru untuk tetap santai dalam bekerja. So, kualitas pendidikan masih belum jauh beranjak dari tempat semula, stagnan!
Sebenarnya keadaan seperti ini bisa disikapi dengan bijak. Agar harapan pemerintah dan rakyat Indonesia yang memimpikan pendidikan berkualitas untuk semua segera terwujud. Undang-undang kepegawaian dan sistem pengawasan yang selama ini belum efektif sebagai senjata dalam menegakkan disiplin dan kualitas pendidikan. Saatnya dibangunkan dari tidurnya. Kepengawasan dan monitoring yang terlalu menekankan layaknya tes pen and paper, normatif hitam di atas putih pelengkap administrasi perlu penyegaran. Namun, minimnya tenaga kepengawasan menjadi alasan tersendiri, mengapa penegakkan disiplin sebagai pijakan pembentukan aparatur negara yang baik sulit terwujud.
Semoga dengan pemberian tunjangan ini menjawab tuntutan guru untuk memperioleh imbalan sesuai beban kerjanya. Sekaligus menghapus praktek-praktek guru di sekolah mencari pendapatan tambahan melalui berbagai proyek kecilnya. Tidak lagi berjualan LKS, dan menerima honor berganda dari tugas-tugas yang sebenanrya masih menjadi satu bagian integral tugas pokok guru. Dalam hal ini kesadaran pribadi menjadi kunci untuk membangun moral guru agar tidak bertindak seperti makelar.
Karena pemberian tunjangan ini masih taraf awal, biasanya guru baru memberikan balas jasa setelah menerima rapel. Penyadaran dari pimpinan, teman sejawat utamanya dari diri pribadi guru menjadi jaminan tersendiri agar kebijakan ini sesuai harapan. Kita yakin, guru-guru adalah manusia terpilih yang dengan tulus mau mengabdikan diri membangun negeri. Tidak mau makan gaji dan tunjangan buta. Hanya dengan kemauan tinggi, kinerja guru meningkat. Bukan hanya karena pemberian tunjangan.
Situasi politik tanah air yang sulit ditebak sering berpengaruh terhadah pelaksanaan aturan. Biasanya pemberian tunjangan dicairkan mendekati moment penting terkait kepentingan beberapa pihak. Jadi tidak ada jaminan tepat waktu, kapan tunjangan itu cair. Sudah ada kepastian dapat saja sudah untung, apalagi tepat waktu. Semakin .... Alhamdulillah.
DIMUAT DI MAJALAH MEDIA DINAS PENDIDIKAN JATIM EDISI APRIL 2010
Jumat, 09 April 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar