Tahun 2045 adalah era Skynet,
komputer pintar penguasa bumi mulai tahun 2029. Begitu sineas Hollywood
menggambarkan masa depan dalam film Terminator-nya Arnold Schwarzenegger. Kalau
imajinasi itu terjadi, manusia akan bersaing dengan robot-robot pintar. Manusia
hanya mahluk kelas dua yang harus main petak umpet menyelamatkan diri dari aksi
pemusnahan masal. Kepada John Connor anak Sarah Connor-lah tumpuan harapan manusia
untuk menyelamatkan bumi dari ancaman para terminator. Apakah itu akan
terwujud? Kalau menilik sejarah Amerika tentang mimpi-mimpi mereka, kok banyak
juga yang akhirnya terwujud. Pergi ke bulan sudah, ke planet mars bisa, membuat
kloning jadi dsb. Lantas bagaimana dengan generasi emas 2045 nanti? Bukankah
tahun itu tahun era terminator? Jangan-jangan generasi emas yang disiapkan
sekarang sudah berhadapan dengan robot-robot dari negeri antah berantah sebelum
perayaan tahun emas itu datang. Wah-wah, bisa gawat ini.
Apa berarti kita harus mengubah
strategi, sebelum didahului para terminator. Nah ... ini yang perlu dipikirkan
bersama, tetapi jangan lama-lama. Apalagi menunggu presiden baru. Beda visi
misi, bisa batal rencana besar yang sudah ada cetak birunya ini. Okelah, terlepas
hasil pilpres dan imajinasi dinasti robot, tersedianya usia produktif memang
merupakan modal besar bagi suatu bangsa. Generasi emas yang terdiri dari manusia-manusia
handal, unggul dan berakhlaqul karimah hasil olah pikir, olah raga, olah rasa
dan polesan tangan dingin guru.
Seiring berjalannya waktu, cikal
bakal generasi emas ini dapat bermertamorfosis bahkan berevolusi menjadi sesuatu. Bisa hebat bak malaikat, berbahaya
seperti monster bahkan menakutkan seperti setan. Tergantung dari niat, usaha
dan hati urani. Seperti kata Wak Haji Rhoma Irama, mereka punya darah muda. Tinggal mengarahkan aliran
darahnya, agar tidak merasa gagah/sombong, mau menang sendiri dan tidak peduli.
Logika sederhanya, kaum muda pasti mempunyai energi ekstra, pemikiran segar,
energik, suka tantangan dan pantang menyerah. Dengan bekal itu, generasi emas
sekarang bisa menjadi mesiu bahkan mesin
penggapai cita-cita. Sehingga, 30 tahun mendatang sekitar 90 juta manusia laksana
pasukan siap perang. Pasukan puber kedua. Tinggal menyiapkan sesuatu seperti
apa yang layak diumpankan. Semakin menipisnya cadangan kebutuhan hidup manusia,
dengan penghuni bumi yang mungkin ketika itu sudah memenuhi hingga ujung bumi,
membutuhkan kecepatan, kecanggihan dan ketepatan langkah. Tantangan masa depan
yang kian kompetitif butuh kejelian membaca pasar. Siapa cepat dia dapat, siapa
lengah pasti kalah. Sesuatu yang besar/banyak bisa menjadi keuntungan bila
kuantitas itu dibarengi kualitas. Tidak ada gunanya, bila kuantitas hanya
sekumpulan manusia tanpa daya saing.
Kita bisa belajar dari diri kita
sekarang yang 30 tahun lalu disiapkan pendahulu kita. Lewat Repelita era orde
baru, generasi muda kala itu disiapkan untuk “tinggal landas”. Apakah cita-cita
itu terwujud? Tanpa menampik keberhasilan pembangunan di berbagai bidang,
semangat tinggal lindas yang senafas dengan falsafah berdikari-nya
Bung Karno belum menuai hasil seperti yang diharapkan. Termasuk semangat
reformasi yang diusung para mahasiswa 1998. Roh-nya menggantung di awang-awang
seperti nasib awan yang tergantung arah angin berhembus. Hujannya sulit
ditebak, terlalu banyak petir, air hujan tak kunjung turun.
Percaya diri itu penting, tetapi
tahu diri itu perlu. Dari sisi jumlah kita optimis, sedang dari sisi kualitas
masih banyak yang harus dibenahi. Hal ini klop dengan jargon-jargon kala
kampanye pileg dan pilpres. Menukil pernyataan para petinggi parpol, sebagai
negeri agraris, kebutuhan pokok masyarakat mana yang tidak menggantungkan diri
dari impor? Siapa yang paling banyak menikmati sumber daya alam Indonesia?
Siapa yang menangguk keuntungan dari subsidi dsb. Perlu kesiapan SDM mumpuni,
agar Indonesia benar-benar menjadi macan Asia, bangsa hebat dengan kualitas
manusia sekemilau emas.
Meski, bicara generasi emas sebenarnya
tidak melulu identik dengan usia emas. Banyak bukti menunjukkan, mereka-mereka
yang sudah melewati usia emas justru lebih produktif dan menorehkan tinta emas
dalam kehidupannya. Lantas apa sebabnya? Dari kisah hidup mereka-mereka yang
sukses, modalnya adalah kerja keras. Kerja, kerja dan kerja! Begitu moto Pak
Dahlan Iskan memberi contoh kiat suksesnya. Kerja tidak sembarang kerja.
Keuletan, kejujuran, disiplin, semangat, kerjasama dsb menjadi rangkaian pernak-pernik
etos kerja, menggabungkan intelektual
dan attitude. Unsur-unsur ini dapat dilaksanakan jika dibarengi kemauan politik
dan managerial yang baik di bawah naungan pemimpin yang amanah dan visioner
serta tersedianya infrastruktur yang memadai. Disinilah peran pendidikan sebagai
ujung tombak mengantarkan anak ke pintu gerbang kemajuan bangsa. Pendidikan
merupakan jembatan menuju Indonesia Emas. Bukan sekedar lips servis atau
pencitraan.
Dan kita adalah insan pendidikan.
Pendidikan adalah kita. Pendidikan harus bisa dinikmati oleh semua lapisan
masyarakat. Terobosan dan intervensi pemerintah yang sudah dicanangkan perlu
dipertajam. Jika pemerintah sering mengabarkan kemampuan anak didik kita masih
di bawah standar PISA, dan ingin mensejajarkan pendidikan seperti pendidikan di
Finlandia atau setidaknya dengan Singapura, yaa mestinya kebijakan harus
seimbang. Bukan sistemnya saja, tetapi juga langsung bersentuhan dengan
operasional peserta didik. Biaya pendidikan harus terjangkau, syukur gratis tis...
tis... tis! Bukan sekedar dalam rangka penyuksesan wajib belajar.
Karena, masyarakat baru saja
disuguhi contoh mahalnya biaya kuliah dengan pemberlakuan uang kuliah tunggal.
Jika Kemendikbud menolak anggapan kuliah hanya untuk orang kaya dengan dalih
banyak anak dari keluarga kurang mampu terjaring lewat Bidik Misi, bagaimana
dengan masyarakat kelas menengah. Miskin tidak, kaya bukan. Seperti ditulis
dalam Jati Diri Jawa Pos edisi 4 Juni 2014, masyarakat kelas menengah nanggung,
jika menginginkan kuliah di kedokteran misalnya ada yang mematok harga mahal hingga 500 juta sebagai mahar kuliah meski
intelektual anak tinggi. Jurusan lain yang ke depan mempunyai prospek lebih
menjanijkan dalam persaingan global, UKT-nya terasa mencekik. Guru atau pejabat
berpenghasilan Rp10 juta saja belum tentu mampu. Sedang untuk tingkat dasar dan
menengah, dana BOS belum cukup menopang kegiatan sekolah secara nyata dengan
aturan-aturan yang terlalu ketat. Manajemen berbasis sekolah terpasung. Tidak
taat, sekolah harus siap tombok jika suatu saat kena semprit BPKP. Meski
kegiatan tersebut benar adanya dan untuk peningkatan mutu siswa. Mau menarik
iuran kepada orang tua, dianggap melanggar aturan. Repot deh!!
Maka, masyarakat dan orang tua perlu
ditumbuhkembangkan kesadaran dan kepeduliannya dalam membentuk generasi emas.
Sekolah bukanlah penitipan anak. Mendidik anak adalah invenstasi dunia akhirat.
Sebagian besar waktu anak berada di luar sekolah. Hubungan harmonis dan
perhatian cukup terhadap anak akan membentuk karakter anak yang baik. Kedekatan
anak dengan orang tua sebagai teman, guru sekaligus konselor efektif bagi
perkembangan mental spiritual anak. Namun juga, kepedulian orang tua tidak
hanya berupa suntikan semangat dan doa restu. Dukungan finansial (khususnya bagi
yang mempunyai rejeki lebih) dapat memoles lebih kemilau putra-putri mereka. Partisipasi
oke, mutu yes. Sedang masyarakat dapat berperan sebagai bemper, wadah sekaligus
pengawas eksternal nonformal. Masyarakat adalah sekolah sesungguhnya. Di
masyarakat anak akan terasah dan teruji kemampuannya. Sehingga kelak anak tidak
hanya berangan-angan menjadi orang kantoran, tetapi lebih mempunyai semangat
menjadi entrepreneur. Mampu menghadapi tantangan, menciptakan peluang, tahan banting
dan siap bersaing di percaturan global. Kesinergisan sekolah, orang tua dan masyarakat
didukung kebijakan strategis merupakan
katalis dalam percepatan pembentukan generasi emas. Usia produktif menjanjikan, tetapi aksi produktif lebih
utama.
Tulisan ini dimuat di majalah Media edisi Juli 2014
Tulisan ini dimuat di majalah Media edisi Juli 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar