Pintar mana Pele dan Paul? Yang jelas, menurut alirannnya Jaya Suprana, Pele menganut paham kelirumologi. Ramalannya salah melulu. Nampaknya Pele mengambil aliran ini agar orang tidak mudah percaya dengan dia. Sebagai legenda sepak bola abad ini, Pele tidak ingin dikultuskan sebagai dewanya sepak bola. Coba kalau predikasi Pele banyak benarnya, mungkin ia akan banyak didatangi banyak orang Yaa, kalau di Indonesia begitu sudah dipanggil Mbah dukun Pele. Tidak hanya minta ramalan sepakbola, tetapi akan banyak yang minta jampi-jampi, pesugihan, pelaris atau minta restu maju ketua umum PSSI.
Semetara gurita Paul semakin hari ramalannya semakin tok cer. Satu persatu prediksinya cos pleng. Kalau mama Laurent masih hidup, bisa -bisa ia akan menjadi pesaingnya. Meski hanya seekor binatang, nampaknya sampai hari ini sosok gurita Paul kian menjadi rujukan para petaruh. Kalau Paul ini mukim di Indonesia, cerita bisa makin heboh. Paul pasti akan ramai didatangi pengunjung seperti Ponari.
Tapi inilah kebesaran Tuhan. Pele yang manusia dan Paul yang binatang diberi talenta dan insting berbeda. Pele mengandalkan naluri, pengalaman dan catatan yang ia himpun Dengan statistika ala Pele, ia meramal jawara. Sayang, penyakit mendasar seseorang yang punya nama besar yaitu tidak ingin nama besarnya disaingi. Meski dalam hati nurani yakin, bahwa ada pemain, tim atau negara yang hebat melebihi dirinya. Ia cenderung lebih suka melihat sisi negatif. Nafsu yang mengalahkan pikiran jernih otak. Sebuah kesombongan yang membuat mata hati seseorang menjadi tumpul. Dan nampaknya ini yang menimpa Pele.
Beda dengan Paul. Tuhan menciptakan binatang dengan memberi nurani dan indera keenam. Binatang tidak dibekali kemampuan berlebih pada otak dan tidak bisa bicara. Hanya Nabi Sulaiman yang bisa mendengar bicaranya hewan. So, mesti Paul mempunyai indera keenam untuk meramal pemenang dalam suatu pertandingan. Ia tidak membisikkan kepada siapapun. Orang hanya melihat polah Paul. Apa yang dilakukan Paul terkait pilihan negara mana yang menag, diyakini orang sebagai ramalan Paul.
***
Arena sepak bola mirip arena sekolah. Keduanya mempunyai filosofi sama untuk belajar, berjuang dan menang. Untuk menjadi pemenang dibutuhkan persiapan matang. Mulai pemilihan pelatih, pemain, metode pelatihan dan strategi di lapangan. Yang tidak boleh dilupakan doa dan mengharap hoki, keberuntungan dan keajaiban. Bundarnya bola tidak saja membuat permainan itu indah. Bundarnya bola juga bisa menggelincirkan siapapun. Kepercayaan diri yang terlalu tinggi, meremehkan lawan, semangat juang yang lemah sering kali menjungkir balikkan harapan.
Jerman yang perkasa dan sempat terjegal Serbia bangkit. Sepertinya warisan semangat Hitler bahwa Jerman di atas segalanya membangkitkan nyali. Jermanpun lolos ke babak berikutnya. Tidak terlalu diunggulkan, Jerman menjungkalkan Inggris dan Argentina. Orangpun berbondong-bondong menjagokan Jerman sebagai kandidat juara. Pasukan muda Panser sepertinya tinggal selangkah mewujudkan impian.
Keperkasaan Jerman membuat keder Spanyol. Tetapi sepakbola di jaman modern ini ternyata masih dipengaruhi klenik, mitos atau ramalan para paranormal. Bukan lantaran ramalan Dedy Corbuzier, Ki Joko Bodo termasuk Pele yang membuat nyali pemain Jerman tidak nampak tajinya kala menghadapi matador-matador Spanyol. Gurita Paul yang justru berada di Jerman telah meluluhkan semangat tempur anak-anak Jerman. Si Paul mempredikasi bahwa Spanyol akan memenangkan pertandingan. Ditambah masalah ban kapten antar Lahm dan Ballack yang tidak ikut bermain merusak suasana tim. Permainan Jerman yang menggigit kala menghancurkan Inggris dan Argentina tidak nampak. Sedang Villa dkk dengan lincahnya memainkan bola dari kaki ke kaki. Kalah postur pemain Spanyol pintar memainkan ritme pertandingan. Meredam serangan kilat ala Jeman. Dan Jerman benar-benar tersingkir oleh gol Puyol.
Tidak ingin pulang dengan tangan hampa, Loew segera menyadari kelemahan dan ingin membangun kembali kepercayaan diri pemain. Menghadapi Uruguay Jerman kembali memakai kaos hitam yang lebih membawa keberuntungan. Loew pun tidak memakai sweater birunya. Warna biru yang banyak membawa sial di world cup 2010. Pemain lapis kedua pun diturunkan. Al hasil Jerman mampu menekuk Uruguay 3-2. Dan Uruguay yang berkostum biru muda melanjutkan kutukan warna biru.
Selama satu bulan ini setidaknya kita disuguhi sebuah tontonan dan tuntunan. Banyak orang memandang world cup 2010 Afsel ini dari sisi historis dan ekonomi. Menciptakan sejarah sepakbola dari berbagai aspek. Mulai statistik permainan dan pertandingan hingga rekor baru yang tercipta. Masih ada sisi lain yang bisa dilihat.
Sepak bola adalah salah bentuk pendidikan multi dimensi. Pendidikan yang memerlukan dan menghasilkan hard skill dan soft skill. Ada pendidikan dan permainan karakter. Sepakbola adalah permainan kasat mata, bukan sinetron. Pemaian yang terbiasa bermain watak dalam klub, akan mudah dihujat dan tidak mendapat empati. Pemain yang terlalu berlaku manis dan manja kehilangan sentuhan magisnya.
Siapa yang meragukan kemampuan Messie, Rooney, Ronaldo, Kaka atau Ribery. Berbandrol ratusan milyar, toh di world cup tidak memberikan kontribusi berarti. Gol-gol yang biasanya mengalir, kali ini mandul. Mereka mempunyai hard skill yang aduhai. Kalau mereka gagal di world cup, bukan karena terkena jampi-jampi afrika yang terkenal bisa membuat orang tidak bisa berbuat banyak. Lantas, mengapa hal ini terjadi?
Sepak bola adalah permainan. Permainan yang mampu mengubah perilaku seseorang yang terlibat dan gandrung dengan sepak bola. Selain hard skill, ada soft skill yang tidak berkembang selama world cup. Baik soft skill intrapersonal maupun interpersonal. Seorang pemain sepakbola harus memiliki soft skill intrapersonal yang meliputi kepercayaan diri, kepribadian, konsistensi, manajemen waktu, disiplin, santun, menjunjung tinggi norma, jujur, berakhlak mulia, memilki etos kerja yang tinggi dan mempunyai kewibawaan sebagai seorang pemimpin.
Kaka cukup santun ketika dikartu merah, tetapi mengapa Ronaldo harus meludahi kameramen? Satu sisi soft skill seseorang bisa plus. Jika soft skill minus dapat berdampak negatif dalam permaian seorang pemain bahkan merusak tim. Belum lagi jika soft skill interpersonalnya tidak berjalan.
Soft skill interpersonal yang meliputi kemantapan emosional, rasa tanggungjawab, motivasi, kemampuan menguasai karakteristik orang lain, cara berkoimunikasi, empati, adaptasi dan sosialisasi yang baik akan melahirkan kekuatan yang mampu membuat seseorang di dalam tim menjadi inspirator dan motor. Sinergi kedua soft skill dan hard skill ini yang menjadi modal dasar sebuah tim mampu menjadi kekuatan maha dahsyat.
Dan yang menjadi katalis untuk memuluskan impian menjadi juara dunia 2010 adalah keimanan seseorang. Kehebatan Paul meramal dan semakin dipercayai banyak orang bisa melupan manusia dengan Tuhannya. Gurita Paul sudah meramal Spanyol akan tampil sebagai Champion. Ini bisa menjadi racun paling berbahaya bagi Spanyol. Mereka akan merasa juara sebelum bertanding. Kelengahan dapat menciptakan neraka bagi tim Spanyol.
Dan kita semua akan menunggu apakah Spanyol lebih mempercayai Paul, Pele atau lebih mengandalkan hard skill, soft skill pemain dan mendekatkan diri dengan Tuhan. Akankah Spanyol mengawinkan gelar piala Eropa dan merengkuh piala Eropa untuk kali pertama? Sementara Belanda puas dengan gelar juara tanpa mahkota. Ini akan terbukti di panggung realita final World Cup 2010. Bukan karena ramalan Paul atau Pele.
Dan akhirnya terbukti Spanyol menjadi jawara World Cup 2010 berkat hard dan soft skillnya.
Rabu, 14 Juli 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar