Jumat, 10 Februari 2017

Memotong Rantai kecurangan Unas






Yang Urgen Dari Gagalnya Moratorium Unas:
Memotong Rantai Kecurangan Unas
\           Berakhir sudah polemik jadi tidaknya pelaksanaan Unas 2017. Lewat rapat terbatas kabinet (19/12), diputuskan Ujian Nasional batal distop (JP, 20/12). Moratorium Unas gagal. Plus minus pada pelaksanaan unas tahun sebelumnya, utamanya dalam kejujuran akan menjadi fokus utama dalam penyelenggaraan Unas 2017. Walau hal itu bukan hal aneh. Karena jargon Unas berprestasi dan jujur sudah terlalu sering didengungkan setiap pelakasanaannya. Setidaknya ada perbaikan pelaksanaan Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN).
Dengan kepastian Unas, berarti semua pihak harus siap. Begitu masuk usai libur semester langsung tancap gas. Kerja...kerja..dan kerja. Siswa, guru dan sekolah tinggal punya waktu 3-4 bulan.  Mereka yang sebelumnya euforia dengan morarorium unas, pasti mengalami sock sesaat. Perlu persiapan mental. Jangan sampai persiapan yang mendadak melahirkan ide-ide nakal untuk mengkebiri pelaksanaan Unas. Praktek kecurangan yang dari dulu masif dan sebenarnya bisa dideteksi jauh hari oleh berbagai pihak, perlu segera dilakukan tindakan persuasif dan preventif.
Seperti yang diberitakan Jawa Pos (19/12), Unas pasti ada plus minusnya. Nilai plusnya, diantaranya Unas bisa sebagai alat pemetaan pendidikan nasional, menjadi pertimbangan masuk jenjang berikutnya, serta pemacu dan perangsang belajar. Namun  ada juga nilai minusnya. Ditengarai dalam Unas muncul praktek kecurangan. Ketidak jujuran ini membentuk rantai lingkaran setan. Ada hukum tawar menawar dan kepentingan. Belakangan ditengarai, titik-titik rawan kebocoran justru terjadi pada jalur pengadaan dan jalur distribusi. Tidak ada yang menjamin kalau penyusun soal yang mungkin juga penysusun buku atau menjadi tutor di bimbingan belajar, bisa menjadi agen pembocor dengan bungkus tertentu. Atau oknum tertentu, entah di percetakan, pengamanam, oknum guru, atau bahkan mafia pemjebol unas. Terserah apalah...apalah.
Siapa pula berani menjamin keamanan saat distribusi yang menempuh perjalanan panjang, melintasi laut atau hutan? Lama dalam perjalanan, tetapi mudah mengirim info soal lewat komunikasi. Kunci pun bisa dibuat sejak dini. Kebocoran dan prakrek joki pada hari-H kecil kemungkinan, meski tetap bisa terjadi. Penulis yakin, pihak berwajib lewat intelegent atau apapun itu pasti bisa dengan mudah mengatasinya. Karena dari tahun ke tahun modusnya tidak banyak berubah. Hanya kuantitas dan kualitasnya saja yang naik turun. Hal ini bisa diperoleh dari para senior yang telah lulus dan melakoni praktek kecurangan dengan mulus.
Hal sepele tetapi terjadi adalah aturan teknis saat pelaksanaan. Pengawas selama ini banyak hanya duduk di depan dan tidak diperkenankan berkeliling mengawasi dengan ketat. Kuatir mengganggu ketenangan siswa. Padahal, dalam prakteknya justru hal itu dimanfaatkan siswa melakukan kecurangan. Baik bekerja sama atau memanfaatkan kunci jawaban dengan berbagai cara. Sebaiknya, dalam petunjuk teknis juga diatur bahwa dalam pengawasan guru tidak hanya duduk diam di depan. Boleh berkeliling tanpa mengganggu dan dibagi menjadi dua, satu di depan satu di belakang. Jika gurunya berintegritas, dijamin Unas aman.
Guru jangan ditakut-takuti lagi sebagai penyebab jebloknya nilai  Unas.  Karena terlalu ketat mengawasi, mengakibatkan siswa tidak bebas berbuat curang. Sebaliknya, jika guru  diberi hak untuk mendidik dalam pengawasaan juga harus mau mengambil tindakan. Dan seterusnya hingga tingkatan struktural ke atas. Beranikah guru melakukannya?
Bagaimanapun juga, Unas adalah salah satu proses pendikan. Harus dihargai tetapi jangan menakutkan. Sepakat dengan pak Nuh, nilai Unas bukan penentu utama tetapi perlu diberi bobot dalam formula nilai akhir. Jika kalimat yang keluar “Unas tidak menentukan kelulusan”, anak menganggap Unas bagai mainan. Persiapan ala kadar, dikerjakan seenaknya. Dan hasilnya, nilainya jeblok, Seperti yang terjadi tahun lalu.
Jika nantinya sekolah diberi hak menentiukan kriteria kelulusan dan memberi penilaian sendiri, akankah USBN-akan dinilai dan dan dilaksanakan dengan semangat integritas sendiri? Apakah hanya akan dijadikan perlombaam besar-besaran angka? Guru jangan hanya berteriak, tidak diberi keleluasaan memberikan penilaian. Namun saat diberi haknya justru mengobral angka agar dianggap pahlawan. Menjadi dewa penolong agar siswanya mudah melanjutkan ke jenjang lebih tinggi dengan memberi nilai imitasi.  Semoga  Unas berprestasi dan jujur tidak sekedar jargon belaka. Anak Muda (anak sekolah) Jangan Lembek (JP, 25/12), pesan singkat pak Jusuf Kalla menanggapi tetap perlunya ujian nasional. Atau perlukah mencontoh Cina yang memberlakukan hukuman berat, berupa hukuman penjara atau denda bagi pelaku dan joki kecurangan ujian, sekaliber Ujian Nasional (Republika.co.id:28/10/2015). Bukan saatnya kita bepolemik dengan wacana-wacana baru dulu, sebelum permasalahan terdahulu tuntas. Pendidikan jangan dibuat gaduh. Pendidikan perlu suluh dan  pengasuh  yang bijak. Bukan perusuh dan info-info membingungkan yang membuat pendidikan menjadi kisruh. 

Tulisan ini dimuat di Majalah Media edisi Pebruari 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar