Yang Urgen Dari Gagalnya Moratorium Unas:
Memotong Rantai Kecurangan Unas
\ Berakhir
sudah polemik jadi tidaknya pelaksanaan Unas 2017. Lewat rapat terbatas kabinet
(19/12), diputuskan Ujian Nasional batal distop (JP, 20/12). Moratorium Unas
gagal. Plus minus pada pelaksanaan unas tahun sebelumnya, utamanya dalam
kejujuran akan menjadi fokus utama dalam penyelenggaraan Unas 2017. Walau hal
itu bukan hal aneh. Karena jargon Unas berprestasi dan jujur sudah terlalu
sering didengungkan setiap pelakasanaannya. Setidaknya ada perbaikan
pelaksanaan Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN).
Dengan kepastian Unas, berarti
semua pihak harus siap. Begitu masuk usai libur semester langsung tancap gas.
Kerja...kerja..dan kerja. Siswa, guru dan sekolah tinggal punya waktu 3-4
bulan. Mereka yang sebelumnya euforia
dengan morarorium unas, pasti mengalami sock sesaat. Perlu persiapan mental. Jangan
sampai persiapan yang mendadak melahirkan ide-ide nakal untuk mengkebiri
pelaksanaan Unas. Praktek kecurangan yang dari dulu masif dan sebenarnya bisa
dideteksi jauh hari oleh berbagai pihak, perlu segera dilakukan tindakan
persuasif dan preventif.
Seperti yang diberitakan Jawa
Pos (19/12), Unas pasti ada plus minusnya. Nilai plusnya, diantaranya Unas bisa
sebagai alat pemetaan pendidikan nasional, menjadi pertimbangan masuk jenjang
berikutnya, serta pemacu dan perangsang belajar. Namun ada juga nilai minusnya. Ditengarai dalam Unas
muncul praktek kecurangan. Ketidak jujuran ini membentuk rantai lingkaran
setan. Ada hukum tawar menawar dan kepentingan. Belakangan ditengarai,
titik-titik rawan kebocoran justru terjadi pada jalur pengadaan dan jalur
distribusi. Tidak ada yang menjamin kalau penyusun soal yang mungkin juga
penysusun buku atau menjadi tutor di bimbingan belajar, bisa menjadi agen
pembocor dengan bungkus tertentu. Atau oknum tertentu, entah di percetakan,
pengamanam, oknum guru, atau bahkan mafia pemjebol unas. Terserah
apalah...apalah.
Siapa pula berani menjamin
keamanan saat distribusi yang menempuh perjalanan panjang, melintasi laut atau
hutan? Lama dalam perjalanan, tetapi mudah mengirim info soal lewat komunikasi.
Kunci pun bisa dibuat sejak dini. Kebocoran dan prakrek joki pada hari-H kecil
kemungkinan, meski tetap bisa terjadi. Penulis yakin, pihak berwajib lewat intelegent
atau apapun itu pasti bisa dengan mudah mengatasinya. Karena dari tahun ke
tahun modusnya tidak banyak berubah. Hanya kuantitas dan kualitasnya saja yang
naik turun. Hal ini bisa diperoleh dari para senior yang telah lulus dan
melakoni praktek kecurangan dengan mulus.
Hal sepele tetapi terjadi
adalah aturan teknis saat pelaksanaan. Pengawas selama ini banyak hanya duduk
di depan dan tidak diperkenankan berkeliling mengawasi dengan ketat. Kuatir
mengganggu ketenangan siswa. Padahal, dalam prakteknya justru hal itu
dimanfaatkan siswa melakukan kecurangan. Baik bekerja sama atau memanfaatkan
kunci jawaban dengan berbagai cara. Sebaiknya, dalam petunjuk teknis juga
diatur bahwa dalam pengawasan guru tidak hanya duduk diam di depan. Boleh
berkeliling tanpa mengganggu dan dibagi menjadi dua, satu di depan satu di
belakang. Jika gurunya berintegritas, dijamin Unas aman.
Guru jangan ditakut-takuti
lagi sebagai penyebab jebloknya nilai Unas. Karena
terlalu ketat mengawasi, mengakibatkan siswa tidak bebas berbuat curang.
Sebaliknya, jika guru diberi hak untuk
mendidik dalam pengawasaan juga harus mau mengambil tindakan. Dan seterusnya
hingga tingkatan struktural ke atas. Beranikah guru melakukannya?
Bagaimanapun juga, Unas adalah
salah satu proses pendikan. Harus dihargai tetapi jangan menakutkan. Sepakat
dengan pak Nuh, nilai Unas bukan penentu utama tetapi perlu diberi bobot dalam
formula nilai akhir. Jika kalimat yang keluar “Unas tidak menentukan
kelulusan”, anak menganggap Unas bagai mainan. Persiapan ala kadar, dikerjakan
seenaknya. Dan hasilnya, nilainya jeblok, Seperti yang terjadi tahun lalu.
Jika nantinya sekolah diberi
hak menentiukan kriteria kelulusan dan memberi penilaian sendiri, akankah
USBN-akan dinilai dan dan dilaksanakan dengan semangat integritas sendiri? Apakah
hanya akan dijadikan perlombaam besar-besaran angka? Guru jangan hanya
berteriak, tidak diberi keleluasaan memberikan penilaian. Namun saat diberi
haknya justru mengobral angka agar dianggap pahlawan. Menjadi dewa penolong
agar siswanya mudah melanjutkan ke jenjang lebih tinggi dengan memberi nilai
imitasi. Semoga Unas berprestasi dan jujur tidak sekedar
jargon belaka. Anak Muda (anak sekolah) Jangan Lembek (JP, 25/12), pesan
singkat pak Jusuf Kalla menanggapi tetap perlunya ujian nasional. Atau perlukah
mencontoh Cina yang memberlakukan hukuman berat, berupa hukuman penjara atau
denda bagi pelaku dan joki kecurangan ujian, sekaliber Ujian Nasional
(Republika.co.id:28/10/2015). Bukan saatnya kita bepolemik dengan wacana-wacana
baru dulu, sebelum permasalahan terdahulu tuntas. Pendidikan jangan dibuat
gaduh. Pendidikan perlu suluh dan
pengasuh yang bijak. Bukan
perusuh dan info-info membingungkan yang membuat pendidikan menjadi kisruh.
Tulisan ini dimuat di Majalah Media edisi Pebruari 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar