22 Desember 2014 ini bertepatan dengan hari ibu. hari yang menunjukkan pengharagaan atas eksistensi seorang wanita yang bertindak sebagai istri, dan ibu dari anak-anak. Ibu jaman sekarang bukan lagi wanita lemah yang hanya mengurusi dapur, sumur dan kasur. Ibu sekarang bak seorang panglima. mengomandoi rumah tangga. Merancang,mengelola, melaksanakan hingga membuat keputusan akhir. Meski demikian, sebagai seorang wanita, seorang ibu tidak boleh melupakan jatidirinya sendiri. Sehebat-hebatnya ibu, ibu tetaplah seorang wanita.
Senin, 22 Desember 2014
Selasa, 09 Desember 2014
REPUBLIK TELO
Bukan bermaksud merendahkan jenis makanan ini. Yaa telo, tanaman yang mudah tumbuh ini biasanya dikiaskan dengan orang yang mempunyai kehidupan serba kekurangan. Bahkan orang yang kemampuannya rendah atau pendengarannya kurang peka sering dikatai" kebanyakan makan ketela".
Makanya ketika pemerintahan baru memprogramkan hidup sederhana, orang lantas latah dengan menyajikan atau menjamu orang dengan makanan tradisional, seperti ketela ini.
Padahal banyak orang/anak yang sehari-hari sudah terbiasa makan ketela dan berangan-angan makan roti harus mengubur angan-angan makan enak. Cukup makan ketela.
Makanya kalau indek SDM Indonesia kalah dengan negara lain,jangan menyalahkan anak apalgi guru. Tetapi salahkan kebijakan yang mencanangkan makan makanan bergizi sedikit, sekelas ketela. Energinya hanya cukup untuk berteriak dan blusukan, bukan untuk berpikir dan membangun dan menciptakan mimpi indah
Hal ini juga nampak dari penolakan Kurikulum 2013.K13 yang dianggap susah dan berbiaya mahal, dengan mudahnya dibatalkan karena siswanya dianggap susah belajar dan gurunya sulit mengadakan penilaian. Yaa wajar saja, lhawong terbiasa makan telo.Coba,kalau jauh hari makanan bangsa indonesia cukup gizi, pasti tidak mudah mengeluh dan selalu siap menghadapi perubahan. Republik ini dibangun diatas pengobanan jiwa dan raga, bukan dengan telo.
Makanya ketika pemerintahan baru memprogramkan hidup sederhana, orang lantas latah dengan menyajikan atau menjamu orang dengan makanan tradisional, seperti ketela ini.
Padahal banyak orang/anak yang sehari-hari sudah terbiasa makan ketela dan berangan-angan makan roti harus mengubur angan-angan makan enak. Cukup makan ketela.
Makanya kalau indek SDM Indonesia kalah dengan negara lain,jangan menyalahkan anak apalgi guru. Tetapi salahkan kebijakan yang mencanangkan makan makanan bergizi sedikit, sekelas ketela. Energinya hanya cukup untuk berteriak dan blusukan, bukan untuk berpikir dan membangun dan menciptakan mimpi indah
Hal ini juga nampak dari penolakan Kurikulum 2013.K13 yang dianggap susah dan berbiaya mahal, dengan mudahnya dibatalkan karena siswanya dianggap susah belajar dan gurunya sulit mengadakan penilaian. Yaa wajar saja, lhawong terbiasa makan telo.Coba,kalau jauh hari makanan bangsa indonesia cukup gizi, pasti tidak mudah mengeluh dan selalu siap menghadapi perubahan. Republik ini dibangun diatas pengobanan jiwa dan raga, bukan dengan telo.
Sabtu, 06 Desember 2014
Waktu Kuliah Dibatasi, Sakit Tuh Di Sini!
Kalau
tidak ada seleksi CPNS, ijazah S1 layaknya barang dagangan. Ditawarkan ke sana
ke mari dalam jepitan stopmap. Dari pintu ke pintu, ijazah keluar masuk kantor/perusahaan
menanyakan lowongan. Di tangan personalia, IP tinggi bukan jaminan diterima.
Malah sering kalah bersaing dengan IP pas-pasan tetapi punya lampiran
ketrampilan khusus, mempunyai pengalaman bekerja dan menunjukkan jiwa
kepemimpinan gemblengan di organisasi mahasiswa. Yaa, kuliah tanpa
berorganisasi ibarat makan tanpa sambal. Hampa. Kuliah sambil bekerja bukan
aneh. Tidak hanya karena kepepet kebutuhan, tetapi mahasiswa type ini memang
sudah menata karier bagi nasibnya sendiri sejak dini. Kalau ada yang keteter wajar saja. Tetapi tidak
sedikit yang moncer. Kuliah sambil berorganisasi dan bekerja dengan resiko
molor setidaknya segaris dengan kata
bijak : berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian, satu kali kayuh dua
tiga pulau terlampaui.
Jadi
kalau pemerintah memaksakan waktu kuliah S1 maksimal 4-5 tahun nampaknya
bertepuk sebelah tangan dengan trend anak kuliah saat ini. Pembatasan waktu
sempit hanya akan melahirkan mahasiswa-mahasiswa kutu buku, membentuk generasi
sendiko dawuh, penurut dan menunggu petunjuk. Alasan pemerintah terkait
kurikulum dan biaya tidak bisa diterima begitu saja. Karena pada dasarnya
kuliah atau sekolah bukan hanya untuk menghasilkan lulusan yang ber-IP tinggi,
tetapi lebih kepada pembentukan jati diri, membentuk jiwa entrepreneur. Lihat
saja tokoh-tokoh nasional, baik yang sukses di pentas politik atau ekonomi dari
jaman penjajahan hingga kini. Banyak yang sukses, tidak hanya sekedar kuliah
tetapi berkat tempaan di waktu senggang kuliah. Entah berorganisasi
atau nyambi kerja.
Memang
tidak dipungkiri, dengan aktif berorganisasi ataupun nyambi kerja kuliah
sedikit terganggu. Menjadi mahasiswa abadi dengan mengambil jatah maksimal
kuliah maksimal 14 semester. Tetapi itulah pilihan hidup. Toh waktu molor bukan
cita-cita, tetapi lebih karena keterpaksaan atau memang disengaja untuk
mematangkan diri. Yang penting, begitu wisuda siap bersaing. Jika pada akhirnya
pemerintah bersikeras membatasi waktu kuliah 4-5 tahun yang berdampak banyak
mahasiswa DO, justru dapat menimbulkan 3 aspek. Pertama, calon mahasiswa dari
keluarga kurang beruntung yang tidak tersentuh program bidik misi dan berencana
kuliah sambil bekerja menjadi ciut nyalinya. Kuliah bagai kemustahilan. Kedua,
mahasiswa yang terkena DO akan menderita syndrom minder, merasa dirinya mahkluk
lemah yang tidak mempunyai daya saing. Manusia type ini berbahaya, karena akan
mempunyai sifat dendam dan menjadi bagian pengangguran intelaktual tanpa gelar.
Dan yang ketiga, mahasiswa yang takut DO akan menjadi manusia kutu buku, kurang
bersosialisasi dan lebih bersifat ego. Karena motonya kuliah... kuliah ... kuliah...dan lulus.
Ini
berarti pembatasan waktu kuliah yang semakin pendek belum bisa menghasilkan
korelasi positif terhadap kualitas sarjana.
Kuliah hanyalah sebagai bagian untuk membekali generasi dengan ilmu yang
lebih aplikatif dan membentuk manusia dewasa paripurna. Sebelum benar-benar
terjun ke masyarakat, mahasiswa perlu mengasah ilmu dan dirinya baik dengan
berorganisasi atau belajar bekerja. Jika kuliah hanya mengejar target lulus
dalam tempo sesingkat-singkatnya justru menghasilkan sarjana instan. Simak saja
kampus-kampus yang memprogramkan semester pendek, atau kuliah Sabtu-Minggu.
Bagaimana kualitasnya dibandingkan dengan program reguler?
Tidak ada
mahasiswa yang bodoh. Masuknya saja melalui seleksi ketat. Kalau ada mahasiswa
lulus hingga batas limit waktu kuliah 7 tahun karena berorganisasi meski secara
kognisi pintar, memang hak mereka sebagai warga negara yang berhak mendapatkan
pendidikan. Hanya saja alasan dan bagaimana mahasiswa tersebut mencukupi
kebutuhan dirinya, itu yang menjadi catatan. Biasanya mahasiswa yang aktif
berorganisasi sudah membentuk link. Mereka tidak kuatir dengan masa depannya. Selepas
lulus akan lebih mudah bekerja. Selain itu mahasiswa type ini biasanya tidak
terlalu menggantungkan diri dari kiriman orang tua. Kuliah, berorganisasi juga
nyambi kerja. Dengan kematangan hasil tempaan berorganisasi, kelak jika sudah
masuk bursa kerja akan lebih cepat jenjang kariernya.
Kurikulum
tidak ada yang sempurna. Sesuai perkembangan jaman wajar jika dalam peroide
tertentu ada perubahan. Tetapi perubahan kurikulum juga sudah memandang jauh ke
depan kemanfaatannya, termasuk mata kuliah yang diprogram tentunya. Bukankah
dosen-dosen yang diangkat jauh hari sebelum ada perubahan kurikulum juga bisa
dan harus menyesuaikan kurikulum baru? Jadi mahasiswa yang molor waktunya lebih
dari 4-5 tahun juga tidak perlu dipermasalahkan. Dengan beban SKS atau mata
kuliah yang ditetapkan bagi seangkatannya, jika ada perubahan kurikulum biarkan
tetap menyelesaikan sesuai program awal. Karena sekali lagi, kualitas mahasiswa
tidak hanya dilihat dari IP atau jenis mata kuliah dalam kurikulum yang
tersurat tetapi lebih pada nilai-nilai yang tersirat, hidden curicullum.
Perubahan kurikulum bukan dihindari, tetapi dijalani dan disikapi.
Jadi
pemerintah masih bisa mencari jalan lain untuk meningkatkan kualitas lulusan
kampus dari sekedar membatasi masa kuliah. Kemudahan akses kuliah bagi anak
bangsa lebih utama. Biaya kuliah yang terjangkau dan beasiswa bagi yang
berprestasi, utamanya dari keluarga kurang beruntung lebih bermanfaat. Untuk
meningkatkan mutu lulusan agar siap bersaiang di bursa kerja global, mahasiswa
disyaratkan mengusai bahasa asing dan mempunyai lisensi pengalaman bekerja. Apalagi
Kemenpan RB sudah mewacanakan moratorium CPNS selama 5 tahun, dan tahun depan
mulai berlaku pasar bebas ASEAN. Untuk itu, pembatasan waktu kuliah perlu
diubah nomenklaturnya menjadi Pendidikan Keprofesionalan beserta kerja riil
dalam jangka waktu 1 tahun untuk berhak mendapat lisensi kerja dengan tenggang
waktu kuliah maksimal 6-7 tahun. Hal ini juga merujuk dengan kebijakan pemerintah
yang mengharuskan calon pendidik harus punya lisensi guru melalui PPG
(Pendidikan Profesi Guru) bagi sarjana apapun, tak terkecuali lulusan FKIP. Tentunya
bangsa ini tidak menginginkan, bahwa
kuliah dilakukan dalam tempo sesingkat-singkatnya untuk mengejar lulusan
sebanyak-banyaknya. Mahasiswa akan merasa dibatasi hak berserikat dalam
berorganisasi, hak mendapat penghidupan yang layak dalam bekerja sambil kuliah yang
hal itu dijamin dengan undang-undang. Jngan terkesan bahwa kuliah hanya untuk orang
berduit. Jika ini terjadi, sakitnya tuh di sini!
Rabu, 26 November 2014
TERIMA KASIH GURUKU
TERIMA KASIH GURUKU
Secercah wajah
itu masih kuingat
Lembutnya tutur erat melekat
Goresan kapurmu
bagai pesan malaikat
Tajam ilmumu
menancap dalam di jidat
Usapan tanganmu
masih terasa hangat
Tanpa lelah engkau
rajin membimbing
Adu sabar dengan
anak-anak mbeling
Tak hiraukan
hiruk pikuk sekeliling
Hingga tubuhmu
terlihat kurus kering
Bukan karena
dihuni cacing
Di atas motor tua
kau rajin berkeliling
Sapa anakmu
dengan senyum sungging
Suka duka gantian
bersanding
Iringi nasib yang
terus berguling
Antar anakmu ke
puncak paling
Gaji terlambat
tak ambil pusing
Asal periuk tidak terguling
Kini muridmu
menuai buah
Hasil tempaanmu
yang penuh tuah
Kan ku ingat pesan
amanahmu
Tuk mengabdi
kepada bangsaku
Teriring kata...
Terima kasih guruku
Kamis, 20 November 2014
Kantong Sampah di angkutan umum
Ada
rasa kurang nyaman kalau kita naik angkutan umum, panas dan kotor. Untuk
mengurangi kepengapan, sebagian penyedia jasa sudah berupaya menguranginya
dengan memasang penyejuk udara. Sayangnya tempat sampah belum banyak tersedia. Kru
angkutan biasanya hanya menyediakan tas kresek untuk pertolongan pertama bagi
penumpang yang mabuk perjalanan. Sehingga penumpang dengan gampangnya membuang
sampah di kolong tempat duduk. Angkutan pun menjadi kotor dan bau yang justru
memicu penumpang lain mabuk perjalanan.
Agar
perjalanan dalam angkutan umum nyaman, bersih
dan sehat, alangkah baiknya pihak penyedia layanan angkutan umum memasang
kantong sampah bagi penumpang. Kantong sampah dipasang di bawah kursi
penumpang. Supaya sampah di kantong tidak menumpuk dan menjadi sumber penyakit,
kru angkutan mengambil sampah dari kantong saat angkutan berhenti di halte atau
terminal. Tidak lupa di dalam angutan ditulis himbauan : Buanglah sampah ke
kantong sampah di bawah kursi anda!
Jumat, 14 November 2014
Pemasangan Lampu Indikator Rem Mobil
Belakangan ini sering
terjadi kecelakaan lalu lintas yang disebabkan rem blong. Hal ini terjadi
karena kurangnya pengecekan rem sebelum
berangkat dan tidak adanya indikator kondisi rem. Sopir baru menyadari ketika
peristiwa sudah terjadi.
Kecelakaan yang disebabkan
rem blong bisa dihindari jika awak kendaraan rutin memeriksa komponen penting
mobil, terutama rem. Untuk memudahkan pengecekan ada baiknya pada mobil
dipasang lampu indikator kondisi kampas rem, minyak rem dan sistem pengereman.
Jika kondisinya tidak laik jalan, lampu tanda kurang layaknya rem menyala. Dengan
demikian pengendara mobil dapat segera memperbaikinya. Kecelakaanpun dapat
dicegah lebih dini.
Kamis, 13 November 2014
MORATORIUM GAJI DPR
Sudah satu
setengah bulan sejak dilantik 1 Oktober 2014, para anggota DPR belum juga menampakkan
geliat bekerjanya. Dua kubu koalisi masih berebut kekuasaan unsur pimpinan.
Baik komisi atau badan kelengkapan DPR. Tak urung, tarik menarik kepentingan
berujung lobi-lobi politik, tawar menawar jabatan dan revisi perundangan-undangan.
Nampaknya para
wakil ini masih mementingkan ego masing-masing. Tak urung rakyat juga yang
menjadi korban. Entah hal ini disengaja atau tidak, yang jelas fungsi legislasi dan
pengawasan DPR tidak berjalan. So, pemerintahan Presiden Jokowi yang sudah start kenceng dengan tagline
kerja..kerja...kerja tidak berjalan optimal.
Padahal
masyarakat juga tengah mengalami kegalauan yang teramat sangat dengan rencana
pemerintah menaikkan BBM. Mestinya anggota dewan yang terhormat sesegera
mengapresiasi keluhan masyarakat ini. Entah dalam bentuk menolak, meringankan besaran
kenaikan atau mencari solusi alternatif yang meringankan rakyat kecil. Rencana pemerintah
mengalihkan subsidi ke hal-hal produktif
dalam waktu dekat dirasa belum mampu meredam gejolak sosial dan ekonomi. Bisa
dengan mudah saat ini di pasaran.Barang-barang merangkak naik. Sementara sang
presiden masih sibuk menghadiri acara di luar negeri. 3 jenis kartu yang
diedarkan sebagai salah satu cara menenangkan rakyat belum cukup ampuh membuat
hati tenang. Justru ke depan, kartu-kartu sakti itu dikuatirkan menjadi senjata
awal pertarungan politik babak baru. Dan masyarakat kembali akan menonton drama
politik season baru.
Tetapi kalau
DPR hingga kini hanya bermain-main masalah jabatan, negara ini akan menjadi
apa? Toh mereka sudah menerima gaji dengan berbagai tunjangan dan fasilitasnya.
Gaji tanpa kerja, ibarat makan gaji buta. Jika dalam waktu dekat anggota DPR
belum menunjukkan kinerja positif terbaik dengan hajat hidup masyarakat, lebih
baik KPK, BPK, Presiden dan MA dan MK mengeuarkan fatwa moratorium gaji anggota
DPR. Gaji DPR dihentikan sementara waktu hingga mereka sudah memastikan struktur dan pimpinan yang jelas
tanpa ada dualisme pimpinan serta sudah melaksanakan tugas dan fungsinya.
Langganan:
Postingan (Atom)