Rabu, 26 November 2014

TERIMA KASIH GURUKU



TERIMA KASIH GURUKU

Secercah wajah itu masih kuingat
Lembutnya tutur  erat melekat
Goresan kapurmu bagai pesan malaikat
Tajam ilmumu menancap dalam di jidat
Usapan tanganmu masih terasa hangat

Tanpa lelah engkau rajin membimbing
Adu sabar dengan anak-anak mbeling
Tak hiraukan hiruk pikuk sekeliling
Hingga tubuhmu terlihat kurus kering
Bukan karena dihuni cacing

Di atas motor tua kau rajin berkeliling
Sapa anakmu dengan senyum sungging
Suka duka gantian bersanding
Iringi nasib yang terus berguling
Antar anakmu ke puncak paling
Gaji terlambat tak ambil pusing
Asal  periuk tidak terguling

Kini muridmu menuai buah
Hasil tempaanmu yang penuh tuah
Kan ku ingat pesan amanahmu
Tuk mengabdi kepada bangsaku
Teriring kata...
Terima kasih  guruku




Kamis, 20 November 2014

Kantong Sampah di angkutan umum



            Ada rasa kurang nyaman kalau kita naik angkutan umum, panas dan kotor. Untuk mengurangi kepengapan, sebagian penyedia jasa sudah berupaya menguranginya dengan memasang penyejuk udara. Sayangnya tempat sampah belum banyak tersedia. Kru angkutan biasanya hanya menyediakan tas kresek untuk pertolongan pertama bagi penumpang yang mabuk perjalanan. Sehingga penumpang dengan gampangnya membuang sampah di kolong tempat duduk. Angkutan pun menjadi kotor dan bau yang justru memicu penumpang lain mabuk perjalanan.
            Agar perjalanan dalam angkutan umum nyaman, bersih  dan sehat, alangkah baiknya pihak penyedia layanan angkutan umum memasang kantong sampah bagi penumpang. Kantong sampah dipasang di bawah kursi penumpang. Supaya sampah di kantong tidak menumpuk dan menjadi sumber penyakit, kru angkutan mengambil sampah dari kantong saat angkutan berhenti di halte atau terminal. Tidak lupa di dalam angutan ditulis himbauan : Buanglah sampah ke kantong sampah di bawah kursi anda!

Jumat, 14 November 2014

Pemasangan Lampu Indikator Rem Mobil



            Belakangan ini sering terjadi kecelakaan lalu lintas yang disebabkan rem blong. Hal ini terjadi karena kurangnya pengecekan  rem sebelum berangkat dan tidak adanya indikator kondisi rem. Sopir baru menyadari ketika peristiwa sudah terjadi.
            Kecelakaan yang disebabkan rem blong bisa dihindari jika awak kendaraan rutin memeriksa komponen penting mobil, terutama rem. Untuk memudahkan pengecekan ada baiknya pada mobil dipasang lampu indikator kondisi kampas rem, minyak rem dan sistem pengereman. Jika kondisinya tidak laik jalan, lampu tanda kurang layaknya rem menyala. Dengan demikian pengendara mobil dapat segera memperbaikinya. Kecelakaanpun dapat dicegah lebih dini.


Kamis, 13 November 2014

MORATORIUM GAJI DPR

          Sudah satu setengah bulan sejak dilantik 1 Oktober 2014, para anggota DPR belum juga menampakkan geliat bekerjanya. Dua kubu koalisi masih berebut kekuasaan unsur pimpinan. Baik komisi atau badan kelengkapan DPR. Tak urung, tarik menarik kepentingan berujung lobi-lobi politik, tawar menawar jabatan dan revisi perundangan-undangan.
Nampaknya para wakil ini masih mementingkan ego masing-masing. Tak urung rakyat juga yang menjadi korban. Entah hal ini disengaja atau  tidak, yang jelas fungsi legislasi dan pengawasan DPR tidak berjalan. So, pemerintahan Presiden Jokowi yang  sudah start kenceng dengan tagline kerja..kerja...kerja tidak berjalan optimal.
Padahal masyarakat juga tengah mengalami kegalauan yang teramat sangat dengan rencana pemerintah menaikkan BBM. Mestinya anggota dewan yang terhormat sesegera mengapresiasi keluhan masyarakat ini. Entah dalam bentuk menolak, meringankan besaran kenaikan atau mencari solusi alternatif yang meringankan rakyat kecil. Rencana pemerintah  mengalihkan subsidi ke hal-hal produktif dalam waktu dekat dirasa belum mampu meredam gejolak sosial dan ekonomi. Bisa dengan mudah saat ini di pasaran.Barang-barang merangkak naik. Sementara sang presiden masih sibuk menghadiri acara di luar negeri. 3 jenis kartu yang diedarkan sebagai salah satu cara menenangkan rakyat belum cukup ampuh membuat hati tenang. Justru ke depan, kartu-kartu sakti itu dikuatirkan menjadi senjata awal pertarungan politik babak baru. Dan masyarakat kembali akan menonton drama politik season baru.
Tetapi kalau DPR hingga kini hanya bermain-main masalah jabatan, negara ini akan menjadi apa? Toh mereka sudah menerima gaji dengan berbagai tunjangan dan fasilitasnya. Gaji tanpa kerja, ibarat makan gaji buta. Jika dalam waktu dekat anggota DPR belum menunjukkan kinerja positif terbaik dengan hajat hidup masyarakat, lebih baik KPK, BPK, Presiden dan MA dan MK mengeuarkan fatwa moratorium gaji anggota DPR. Gaji DPR dihentikan sementara waktu hingga mereka sudah  memastikan struktur dan pimpinan yang jelas tanpa ada dualisme pimpinan serta sudah melaksanakan tugas dan fungsinya.

Selasa, 11 November 2014

Buku K13, Bukan Kitab Suci



            Buku adalah jendela dunia. Tanpa buku, ibarat rumah tanpa jendela. Penghuninya merasa terkungkung. Hal ini seperti gambaran sinetron “ Rumah Tanpa Jendela” yang menceritakan seorang ayah (diperankan Raffi Ahmad) beserta putrinya tinggal di rumah petak tanpa jendela dan berjualan ikan hias untuk membeli jendela, agar putrinya bisa melihat keluar rumah. Dan ketika ada orang menjual jendela bekas, Raffi menukar seluruh uang ditambah barang dagangan beserta keranjang pikulannya dengan  jendela bekas itu. Apa daya, setiba di rumah didapatinya rumahnya terbakar. Saat menolong ibunya, Raffi terjebak dalam kobaran api hingga menewaskannya. Jendela buat anaknyapun tidak bisa terpasang. Pengorbanan yang sia-sia, demi sebuah jendela.
            Akankah buku K13 sebagai salah satu jendela dunia akan bernasib sama? Apalagi Permendikbud  No 58 tahun 2014 sebagai penyempurnaan Permendikbud  No 81A tahun 2013 baru tersosialisasi akhir Agustus 2014 meski tertanggal 2 Juli 2014. Melongok tahapan pengadaan buku dan pemberlakuan  implementasi K13 bagi siswa secara bersamaan (untuk kelas 7 dan 8 SMP misalnya),  jelas menunjukkan kebijakan ini terburu-buru. Ketika ajaran baru 2014/2015 dimulai, pelatihan K13 untuk guru belum tuntas, buku tidak siap. Lha wong sekolah sasaran K13 yang sudah satu tahun saja masih termehek-mehek melaksanakan, bagaimana dengan sekolah lain? Dua tingkat kelas sekalian lagi? Bukankah konon buku siswa K13 Kemendikbud menjadi kitab utama bagi guru dan siswa? Oleh karena itu, keterlambatan buku K13 benar-benar menjadi momok. Jika sebelumnya keterlambatan dimungkinkan karena sekolah belum memesan buku, bisa jadi keterlambatan ini lebih dari sistem pengadaan dan distribusinya. Mungkin kementerian salah perhitungan dalam hal ini. Percetakan tentunya lebih suka mencetak satu persatu judul buku. Sedang distributor inginnya mengantar ke satu daerah/sekolah langsung lengkap semua mata pelajaran. Faktanya, buku-buku yang datang kesekolah tidak bisa langsung lengkap. Sehingga antara percetakaan dan bagian distribusi tidak klop. Jika buku lengkap, cukup satu dua kali antar. Tetapi karena mencetaknya tidak paralel, distribusinya bolak-balik, uang yang dikeluarkan lebih banyak. Agar tidak rugi, menunggu buku lengkap, baru diantar. Masalah sekolah kelimpungan, urusan belakang.
            Apakah buku-buku K13 yang tiba sesuai harapan? 100% memang tidak. Tetapi dibanding dengan awal implementasi terbatas K13, kualitasnya lebih baik. Buku tidak terlalu tebal, tampilan maupun isi lebih menarik. Untuk buku siswa, pendekatan scientifik, bentuk kegiatan maupun projek tersedia. Meski masih banyak salah ketik atau salah eja. Dari sisi kedalaman materi, perlu penyajian permasalahan ataupun contoh kontekstual yang lebih runtut, dan mudah. Sedang buku guru, masih  perlu perbaikan. Tidak sekedar copy paste dari buku siswa yang hanya diberi sedikit penjelasan. Sebagai buku pegangan, dalam buku guru perlu diberi alternatif model pembelajaran yang sesuai. Untuk permasalahan yang tidak lazim dalam pelajaran juga diberi alternatif pemecahannya. Karena dalam K13 yang paling dirasa memberatkan adalah penilaian, dalam buku guru juga perlu ditambahkan bentuk dan rubrik penilaiannya.  
            Mengingat buku siswa begitu urgen dalam implementasi K13, keterlambatannya tentu  mengganggu metode pembelajaran K13 di kelas. Namun demikian, jika guru sudah memahami metode pembelajaran dengan pendekatan scientifik, ketiadaan buku K13 justru bisa memacu guru untuk berkreasi, berimprovisasi, ataupun berinovasi dalam pembelajaran. Guru perlu membuat kiat agar siswa lebih mudah memahami materi dengan metode dan media yang dibuat guru.  Dengan memahami silabus dan karakteristik  materi serta siswanya, keterlambatan buku tidak menjadi permasalahan utama.   Langkah efektif lain adalah mengefektifkan MGMPS serta memanfaatkan buku paket lama,  membuat suplemen materi sesuai K13 bercirikan karakteristik sekolah dan kompetensi peserta didik. Sesama guru mapel patungan menyusun materi pembelajaran, lembar kerja siswa, rubrik beserta penilaiannya. Guru tidak kurang lakon.
             Dengan kecanggihan teknologi, ketiadaan buku K13, baik untuk siswa dan guru dapat juga disiasati dengan memanfaatkan file. Guru atau siswa bisa menggandakan  atau mencetak dengan swadaya. Seperti halnya BSE yang bebas didownload, file buku K13 seyogyanya juga bisa diakses oleh siapapun asal bukan untuk komersial. Toh ada UU hak cipta. Dengan disediaknnya file buku K13, tidak ada alasan bagi sekolah untuk tidak menyelenggarakan K13. Jika K13 sudah menjadi program nasional, kebijakan ini perlu dijalankan dengan penyempurnaan-penyempurnaan. Bukankah pengadaan buku K13 sudah ada bansos buku? Sekolah cukup menyediakan dana pendamping dari BOS. Kalau toh adanya penolakan K13, penulis yakin penolakan itu bukan semata karena belum lengkapnya buku K13 atau mengharap fee. Penolakan itu bisa jadi ketidaksiapan guru melaksanakan K13, baik dalam administrasi perangkat, pelaksanaan pembelajaran maupun penilaian. Guru bagai menjalankan mission imposible. Pendekatan scientifik dan penilaian autentik dengan menggunakan seabreg indikator penilaian bisa membuat rambut rontok dan tangan keriting. Kalau toh guru sambat atau bertanya kepada nara sumber, jawaban yang didapat adalah, “masa guru tidak punya cara. Kan bisa disiasati?”.  Nah!!, Guru kok belajar tidak jujur? Lantas bagaimana lagi? Sebagian guru lain malah dengan enteng menjawab, “Memberi nilai anak dengan predikat  A, B, C ..... D apa susahnya sih, sambil memejamkan mata bisa. Soal diskripsi serahkan saja kepada kurikulum atau operator. Beres. “ Itu sebagian contoh keluhan guru terkait K13.
            Maka wajar sekali apabila banyak pihak menganggap bahwa K13 lahir prematur. Sebagai sebuah kebijakan nasional, terasa aneh apabila pelaksanannya tidak  kompak dan terkesan amburadul. Jika di lingkungan Kemendikbud, implementasi K13 dipaksakan serentak langsung di dua tingkat sekaligus, tidak demikian halnya sekolah/madrasah di lingkungan Kementerian Agama. Di tahun ajaran 2014/2015, implemetasi K13 baru untuk siswa baru di satu tingkat. (Misal di MTS baru kelas VII). Bagaimana jika sudah 3 tahun K13 dijalankan, terkait ujian akhir? Apa sendiri-sendiri yang satu menggunkan K13 yang lain KTSP?
            Hingga Oktober 2014 ini saja, masih banyak sekolah yang belum menerima buku K13. Dampak belum lengkapnya buku K13 tidak hanya dirasakan oleh sekolah, guru dan siswa. Para orang tua juga uring-uringan. Kiat memfotocopy materi untuk bab awal belum membuat sekolah nyaman. Mau memfotocopy, nanti SPJ-nya dianggap double account karena nantinya sudah ada buku. Dibebankan ke orang tua juga memberatkan. Serba repot. Jika sekolah boleh menfotocopy pun, bagi sekolah besar tidak masalah, sedang bagi sekolah kecil anggaran BOS yang tersedot bisa menggangu operasional sekolah. Itupun perlu ada kebijakan hitam di atas putih agar kelak SPJ BOS untuk foto copy buku K13 sah.
            Yang jelas, belajar tanpa buku ibarat berlayar tanpa peta. Jika ingin tetap sampai tujuan, nakhoda akan menggunakan tanda-tanda alam sebagai pemandunya. Tidak ada rotan, akar pun jadi, tidak ada jendela ventilasi udara pun bisa. Buku K13 bukan kitab suci. Buku K13 boleh tersendat. Tetapi anak-anak bangsa butuh guru hebat. Guru hebat tidak tergantung buku, tetapi guru yang punya integritas, kreatifitas, kesabaran dan kaya hati. 

Tulisan ini dimuat dimajalah Media edisi November 2014