Kamis, 17 Agustus 2017

KE_BHINNEKAAN SISTEM SEKOLAH



Ke-Bhinneka-an Sistem Sekolah, Kenapa Tidak?
Begitu Permendikbud Nomor 23 tahun 2017 tentang Hari Sekolah ditandatangani 12 Juni 2017, langsung panen ktitikan. Tak kurang Pak Wapres Juyuf Kalla wanti-wanti agar pelaksanaan permen menunggu ratas kabinet (JP, 14/6) Masyarakat awam juga belum paham benar, bagaimana pelaksanaannya. Kekuatiran nasib ratusan pendidik yang berkecimpung dalam pendidikan agama akan jadi pengangguran wajar sekali (JP, 13/6). Gubermur Jawa Timur, Pakde Karwo pun mengambil sikap. Melakukan langkah bijak dengan mengeluarkan surat nomor 188/1872/013.1/2017 tanggal 16 Juni 2017 untuk menunda pelaksanaan Permendikbud no 23 tahun 2017 sampai menunggu petunjuk lebih lanjut dari pemerintah pusat. Dan akhirnya, Presiden Jokowi mengeluarkan jurus pamungkas, menunda pelaksanaan lima hari sekolah (Kompas.com, 17 Juni 2017). Konon kabarnya, Permendikbud tersebut akan ditelaah dan kelak jika dilaksanakan akan ditingkatkan kekuatan hukumnya menjadi Peraturan Pemerintah (PP), dengan tagline, pendidikan penguatan karakter.
Untuk sementara, hiruk pikuk terkait Permendikbud 23 tahun 2017 reda. Namun, bagaimanakah sebenarnya arah pelaksanaan lima hari sekolah itu bermuara? Jika untuk pendidikan penguatan karakter, bagaimana sesungguhnya karakter yang akan dibentuk? Haruskah semua pendidikan karakter diformalkan, diatur sedemikian rupa agar di atas hitam putih terlihat apik? Rasanya, pendidikan kita dalam beberapa waktu terakhir terlalu banyak dijejali berbagai program. Belum tuntas implementasi kurikulum 2013, sudah ditambah hal baru. Satu hal belum kelar, muncul program berikutnya. Benar, bahwa evaluasi perlu dilakukan dan akan berlangsung terus menerus. Tetapi, mengapa jika evaluasi awal terindikasi menimbulkan masalah, kok dipaksakan? Itulah Indonesia, yang  kaya orang-orang pintar.
Kembali ke masalah lima hari sekolah. Salah satu yang menjadi polemik adalah kekuatiran nasib madrasah diniyah (Madin). Meski ada opsi sekolah dapat menjalin kerjasama dengan lembaga pendidikan agama di sekitar sekolah, hal itu tidak mudah. Tidak hanya terkait pembiayaan, tetapi juga faktor sosial, kultur, khilafiah, ego bahkan politik. Toh, banyak lembaga yang dikelola unsur kemasyarakatan, induk organisasinya berkiprah di dunia politik. Apakah nanti justru tidak menimbulkan politisasi sekolah? Apalagi dalam media disebut, bahwa lembaga agama yang akan diajak kerjasama harus sudah terakreditasi oleh Kemenag. Berarti ustad yang mengajari agama non lembaga terakreditasi tidak bisa?
Belum lama lepas kasus Ahok, yang efeknya mengancam kesatuan dan persatuan RI. Latar belakang Pak Muhadjir Efendi yang berasal dari salah satu ormas Islam (Muhammadiyah), dikuatirkan akan menjadi pemantik terjadinya sentimen negatif terhadap golongan lain, Nahdlatul Ulama (NU) misalnya. Belum  lagi di kabinet ada unsur PKB. Apakah nanti tidak akan menimbulkan kegaduhan dalam pemerintahan sendiri? Jika saja efek kasus Ahok menimbulkan semangat kebanggaan terhadap Pancasila dan ke-Bhineka-an bangkit, apakah dampak sekolah lima hari justru akan malahirkan gesekan horisontal antar golongan sesama umat Islam. Lebih baik jangan, dan harus dihindari.
Apalagi ada wacana, jika kegiatan dilaksanakan di luar sekolah, maka pelajaran agama di sekolah tidak perlu lagi. Aneh, hal kontradiksi yang bisa menjadi bumerang. Belajar ilmu agama di lembaga diniyah, muatan materinya pasti tidak sama dengan yang ada di kurikulum. Dengan keterbatasan sumber daya, sumber dana serta waktu, hasilnya tidak akan maksimal. Ditambah kegelisahan para sarjana agama dan  mahasiswa yang kuliah di pendidikan agama. Untuk apa kuliah?
Belum terjalinnya koordinasi efektif antara kemdikbud dan kemenag, juga merupakan pertanda, bahwa program ini belum siap. Harusnya, sinkronisasi dan kinerja yang sinergis antar pemangku pendidikan bisa menjadi solusi bagi pengembangan pendidikan karakter beserta penguatan agama dan budi pekerti.
Sekolah bukan TPA
Salah satu alasan sekolah lima hari, agar anak tidak lepas kendali dan saat pulang sekolah bisa langsung bertemu orang tua (bagi pekerja kantoran) bukan alasantepat. Berapa persen anak-anak yang orang tuanya kerja lima hari?. Justru yang terbaca, mereka yang kerja lima hari cenderung pulang lebih dari jam lima sore, kenapa tidak sekalian sekolah pulang sore? Pasti tambah runyam. Jika alasan itu yang dipakai, berarti sekolah dianggap sebagai Taman Pendidikan Anak (TPA). Sekolah dan sebagain anak dijadikan korban oleh ego beberapa orang.
Fakta menunjukkan, masih banyak anak yang sepulang sekolah membantu pekerjaan orang tua, mengembangkan bakat minat serta menambah belajar. Dan disela jam itu mereka istirahat dulu. Sepak bola 90 menit saja istrirahat 15 menit, 8 jam istirahat 30 menit, jelas tidak cukup. Mau nambah jam istirahat, pulang terlalu sore. Membahayakan keselamatan anak.
Lantas, bagaimana nasib Kurikulum 2013?       Orang Jawa bilang, “ojo angah-angah”. Jangan serakah, maunya banyak hal dikerjakan tanpa mengukur kemampuan diri sendiri apalagi dampaknya terhadap yang lain. Ketika kurikulum 2013 dilaunching saja, banyak pihak berharap keberhasilannya mampu menyiapkan genererasi emas. Baru saja digulirkan dan ada hambatan menimbulkan kegaduhan nasional. Begitu ada pergantian menteri langsung stop di tengah jalan, lalu direstart.
Pelaksanaan Kurikulum 2013 yang sebagian membutuhkan waktu di luar sekolah beserta tagihan penilaian, bisa jadi tidak berjalan baik. Jangan-jangan hari, Sabtu menjadi hari lembur nasional untuk menuntaskan tugas-tugas sekolah. Jika ada wacana, dengan lima hari sekolah jangan ada lagi tugas anak dibawa pulang, cukup diselesaikan di sekolah, budayanya sulit diterapkan. Bisa jadi di rumah dianggap hanya untuk bersantai, belajar serius ya di sekolah. Perlu penataan gamblang, gampang, bermakna dan tidak berefek negatif. Salah satunya dengan menerapkan kebijakan Ke-bhinekaan Sistem Sekolah. Seperti halnya diatur dalam pasal 9 ayat 1.  Dalam hal kesiapan sumber daya pada Sekolah dan akses transportasi belum memadai, pelaksanaan ketentuan Hari Sekolah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dapat dilakukan secara bertahap.
Meski pasal itu kontradiktif dengan pasal 10 ayat 1. ) Guru pada Sekolah yang belum dapat melaksanakan ketentuan Hari Sekolah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) tetap melaksanakan ketentuan 40 (empat puluh) jam dalam 1 (satu) minggu untuk memenuhi beban kerja guru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) . Memperhatikan pasal 10 ayat 1 ini, sepertinya menjadi beban tersendiri dan tidak sesuai dengan bayangan guru terhadap pernyataan pihak kemendikbud, bahwa guru tidak harus 24 jam mengajar. Janji manis itu ternyata menjadi beban, mana kala guru harus tetap melaksanakan 40 jam perminggu.
Sekolah yang belum siap bisa melakukan bertahap, tetapi gurunya harus memenuhi 40 jam. Padahal beban wajib guru sesuai UU Guru dan Dosen  pasal 35 ayat (2) adalah 24-40 jam tatap muka. Samakah makna 24-40 jam tatap muka, dengan 40 jam (60 menit)?  Jika makna 24-40 jam tatap  muka  perminggu dalam UU Guru dan Dosen No 14 tahun 2005, berarti beban 40 jam dalam permendikbud no 23, bertentangan dengan peraturan di atasnya. Mungkin dalam benak para pembuat peraturan ini, guru harus bekerja sesuai dengan peraturan bagi ASN, 37,5 jam (40jam-2,5jam).
Tetapi apakah sama model dan jenis pekerjaan guru dengan ASN lain? Apalagi kalau dibandingkan dengan TNI/POLRI. Mengapa mereka mendapat uang makan, guru tidak? Yang jelas, guru bukan buruh. Bukan pekerja yang melaksanakan tugas dalam rentang waktu tertentun, selesai dan esok kembali lagi, bak komedi putar.  Masih ada kegiatan tambahan guru terkait pendidikan di sekolah baik terkait dengan siswa maupun proses pendidikan yang tidak tercakup dalam pengaturan lima hari sekolah. Guru juga manusia biasa, punya keterbatasan dan punya keluarga yang tidak selalu tercakup dalam jam kerja sekolah. Bagaimana jika guru putra PAUD/TK? Kemana mereka seteah pulang, meski ada penitipan yang biasanya tidak sampai sore? Ya, pasti keluar ongkos tambahan. Sementara sudah tiga tahun gaji tidak naik, sementara harga-harga barang, BBM dan listrik semakin menggerogoti gaji. Belum lagi anak-anak guru yang masuk kuliah, terkena UKT (Uang Kuliah Tunggal) kategori tinggi.
Ditambah pasal 9 ayat 3, masyarakat penyelenggara pendidikan yang diartikan sekolah swasta, juga harus melengkapi sumber daya pendukung lima hari kerja. Melihat keadaan sekolah sekarang ini, hal ini terlalu berat dilaksanakanuntuk kondisi saat ini. Jangankan untuk sekolah swasta, sekolah negeri saja masih banyak kurang sarana prasarananya.
Contoh sederhana terkait jatah istirahat 0,5 jam. Cukupkah untuk makan siang dan salat. Jika sekolah punya musala dengan kapasitas 100 jamaah, berapa waktu untuk sekolah yang punya lebih dari 600 siswa dengan estimasi, waktu untuk wudlu dan salat satu kloter jamaah 10 menit?
Bagaimana dengan lapangan olah raga untuk sekolah dengan kelas lebih dari 24 kelas? Apakah mereka harus olah raga mulai jam 11.30-13.00? Apa perlu diganti olah raga setelah salat subuh, jam 05.00-07.00, karena olah raga di K13, 3jam X 40 menit.  Karena fakta menunjukkan rata-rata sekolah hanya punya satu lapangan olah raga.
Belum lagi pembagian jadwal pelajaran. Lumrah diatur oleh kurikulum sekolah, bahwa dalam satu hari diupayakan ada pemerataan mata pelajaran, antara yang mempunyai tingkat kesulitan tinggi dan sedang. Tujuannya jelas, biar anak dalam satu hari bisa menyerap ilmu dengan baik. Termasuk juga periodeisasi pengaturan hari. Dengan lima hari masuk, kemungkinan ketemu mapel sama dalam hari berurutan kemungkinan besar banyak terjadi. Daya serap anak berkurang, guru pun akhirnya sekadar menyelesaikan program.
Anak-anak (utamanya yang tinggal di daerah/desa) juga punya hak berpendapat. Kalau guru memberi tugas berlebih saja kadang dianggap melanggar HAM, bisa jadi hak-hak anak untuk bergaul dengan teman di lingkungan sosialnya semakin berkurang. Pulang sore sudah lelah, tidak bisa bermain dengan temannya, pergi mengaji dan tentu saja kurang bisa membantu orang tua.
Pemaksaan progam bisa berkebalikan dengan tujuan. Penulis sepakat dengan berbagai kalangan yang menyetujui pelaksanaan lima hari kerja hanya bagi sekolah yang sudah siap dan sesuai dengan kehidupan sosial budaya dan ekonomi masyarakat. Anak-anak itu juga aset bangsa yang kelak juga akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat. Jangan sampai mereka buta agama, lelah berangkat ke sekolah diniyah gara-gara lima hari sekolah. Bagaimana kisah selanjutnya, kita tunggu saja.

TULISAN INI DIMUAT DI MAJALAH PENDIDIKAN "MEDIA"  JAWA TIMUR EDISI BULAN AGUSTUS 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar