Sabtu, 14 April 2012

Manufacturing Hope Sekolah

Pembaca mengikuti tulisan pak Dahlan Iskan di Jawa Pos? Manufacturing Hope-nya pak Dahlan Iskan mencoba menata BUMN. Ada banyak terobosan dan langkah taktis agar BUMN sehat, menghasilkan profit serta menyumbangkan deviden bagi pemerintah sebagai salah satu komponen pendapatan negara untuk membiayai pembangunan. Termasuk untuk menggaji para guru. Ada kiat yang tidak terpikirkan sebelumnya oleh banyak manajer. Bahwa sekecil apapun yang dilakukan, dapat menghemat ongkos, memaksimalkan potensi, meningkatkan produktifitas kerja dan mencetak laba.
Seperti meminimalkan kunker yang menyedot dana dengan SPPDnya sampai meniadakan snack kala rapat. Langkah itu terbukti efektif. Tidak hanya menghemat pengeluaran, tetapi juga menciptakan budaya kerja tinggi. Tidak perlu terlalu banyak basa-basi, membuang waktu, energi dan tentu saja dana. Orang sudah melihat hasil kerja orang yang telah berganti hati ini. Mungkin inilah yang membedakan kinerja para manajer berNIP dan orang yang besar di swasta
Andai langkah itu diterapkan di sekolah, kiranya sekolah-sekolah menjadi maju, mandiri dan mencetak kader bangsa berkelas dunia. Untuk mewujudkan hal ini, sekolah mengandalkan suntikan dana BOS. Namun BOS barulah bentuk pelayanan pendidikan kepada masyarakat sebatas standar minimal pembelajaran. Pengalokasian prosentase peruntukan BOS 50% untuk biaya operasional, 20% bagi pembayaran honor dan transportasi serta 30% untuk investasi belum cukup untuk memberi pelayanan optimal kepada peserta didik. Memperhatikan Permendikbud RI no 51 tahun 2011 tentang petunjuk teknis penggunaan dna BOS dan laporan keuangan BOS tahun anggran 2012, sekolah memang benar-benar dituntut untuk mengoptimalkan BOS bagi siswa. Namun jika permen itu diterapkan secara kaku, bisa jadi sekolah akan stagnan. Terlalu banyak kegiatan dan kebutuhan yang tidak terakomodir di dalamnya. Meski itu secara riil dilaksanakan secara rutin dan langsung bersentuhan dengan anak.
Maka tidak aneh jika akhirnya sekolah berupaya mewujudkan visi misi sekolah. Termasuk juga memenuhi tuntutan masyarakat agar sekolah memaksimalkan potensi anak. Baik dalam pemenuhan fasilitas maupun program peningkatan mutu siswa. Ini juga sebagai bentuk tanggung jawab masyarakat terhadap pendidikan. Agar BOS tidak menina bobokan masyarakat. Bukankah keberadaan komite sekolah yang dijamin dalam UU Sisdiknas? Sehingga peran komite sekolah sebagai salah satu pilar penentu kemajuan sekolah ada payung hukumnya. Sehingga wajar jika masih ada penarikan dana dari orang tua. Asalkan besaran dan peruntukannya berdasarkan kebutuhan essensial, hasil kesepakatan antara sekolah dengan orang tua dan mendapat legalitas pemerintah setempat.
Karena tidak dipungkiri juga, bahwa kemampuan APBD setiap daerah berbeda. Pengalokasian anggaran 20% untuk pendidikan belum banyak terpenuhi. Pemerintah sendiri belum konsisten dalam penerapan aturan. Di satu sisi melarang pungutan, di sisi lain bantuan sarana dan prasaran belum mampu memenuhi standar pelayanan minimum pendidikan. Bantuan-bantuan dalam bentuk DAK belum mencukupi. Contoh sederhana, jika sekolah dalam satu tahun hanya diperkenankan membeli satu printer dan satu komputer, sementara sekolah mempunyai laboratorium komputer, kerja administrasi TU dan kurikulum sering memaksa peralatan ICT overwork, cukupkah itu? Belum lagi yang lain.
Sekolah-sekolah juga iri dengan keberadaan RSBI/SBI. RSBI/SBI yang sudah digerojok ratusan juta setiap tahun saja masih diperkenankan menarik dana kepada orang tua, mengapa sekolah tidak berlabel RSBI/SBI tidak boleh? Bukankah payung hukum penarikan dana bagi RSBI/SBI juga belum jelas? Padahal produk RSBI/SBI belum banyak memuaskan. Jika sekolah non RSBI juga ingin meningkatkan, menyamai, bahkan mengungguli RSBI/SBI, mengapa dilarang menarik iuran yang besarannya hanya senilai sebatang rokok sehari saja dilarang? Itulah beberapa alasan, mengapa sekolah hingga saat ini masih menarik dana dari orang tua. Pungutan itu pun rata-rata untuk kebutuhan personal siswa dan melengkapi sarana prasarana yang belum tersentuh bantuan pemerintah.
Okelah, jika sekolah hanya boleh mengandalkan BOS. Apa otomatis naiknya BOS berbanding lurus dengan peningkatan kualitas pendidikan? Logika sederhanya, YA. Tetapi dalam bahasa ekonomi, naiknya BOS baru sebatas penyesuaian inflasi dan pelayanan normatif. Karena dalam beberapa tahun ini, baru di tahun 2012 BOS mengalami kenaikan berarti. Hal-hal yang boleh dibiayai juga sebatas kegiatan standar, belum pengembangan. Peruntukan BOS belum memotivasi guru bekerja di luar jam kerja, demi meningkatkan potensi dan prestasi siswa. Guru juga manusia, jika yang lain bisa pulang sesuai kewajiban jam kerja PNS, sementara yang lain harus mandi keringat memeras otak tetapi tidak ada reward memadai yang bisa didanai BOS, adilkah? Tetapi jika sekolah/pemerintah menuntut peningkatan pendidikan sebatas tupoksi guru, dapat terwujud. Meningkat , belum melesat.
Jadi semua kembali ke masyarakat. Sudah cukup puaskah bila putra-putinya belajar dengan standar minimum? Jika tidak, sekolah dan masyarakat duduk semeja mencari pemecahan. Melakukan manufacturing hope sekolah. Efisiensi dan optimalisasi potensi guru. Sekolah juga bisa melakukan terobosan. Misalnya, memberdayakan potensi yang ada serta menjalin kemitraan merupakan modal utama untuk memajukan sekolah. Diperlukan semangat kewirausahaan seorang kepala sekolah. Memberdayakan para alumni, mengajak orang tua yang mempunyai kompetensi khusus untuk mengambangkan minat bakat siswa. Jika tidak, sekolah mencari kiat pintas. Memohon bantuan komite sekolah untuk mendukung program kerja dalam bentuk sumbangan dana.
Pemerintah juga harus bijak. Bisa menjadi hakim atas kebijakan yang dibuat. Bila sekolah tetap ada pungutan, perlu ditelisik, sebatas apa penggunaan, proses pengambilan keputusan dan pertanggung jawabannya. Jika pungutan tersebut melebihi kewajaran dan perutukannya tidak banyak menunjang pembelajarn dan peningkata kompetensi siswa, kebijakan sekolah tersebut perlu di tinjau kembali bahkan dibatalkan. Namun jika pungutan tersebut karena pemerintah belum mampu menyediakan, tetap diijinkan dan menganggarkannya pada waktu yang akan datang. Ke depan BOS harus bisa menjadi Boss di sekolahnya sendiri, tanpa ada pungutan lagi.


Tulisa ini dimuat di majalah Media edisi April 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar