Senin, 18 November 2013

Catatan di Hari Guru : Jangan Larang Guru Sekolah!



Carilah ilmu hingga ke negeri  Cina, bahkan hingga ke liang lahat. Begitu nasehat yang sering dituturkan guru kepada siswa agar mereka semakin termotivasi belajar dan sekolah ke tingkat setinggi mungkin. Apakah gurunya juga dimotivasi demikian? Pasti, ya. Cuma, kalau hal itu dilaksanakan sekarang harus pikir-pikir. Mengapa? Jangankan belajar hingga ke negeri Cina, ke tempat kuliah yang melebihi jarak 60 km dari tempat asalnya saja sudah dilarang. Kalau nekat, siap-siap gigit jari. Gelar kesarjanannya tidak akan diakui dalam pengajuan jenjang kepangkatan. Ya, pemerintah telah menerbitkan aturan tidak populis, membatasi jarak kuliah maksimal 60 km dari tempat/kota asal guru, agar gelar akademiknya bisa melekat dan diakui negara.
            Penulis teringat keluhan teman guru matematika saat bertemu di forum olimpiade matematika. Guru yang bersemangat meningkatkan kompetensi dirinya itu mengajukan ijin kuliah S2, linear. Tentu saja harus kuliah di kota lain yang jaraknya melebihi 60 km. Surat ijin belajar keluar, tetapi ada catatan dalam surat ijin tersebut, bahwa di kemudian hari guru yang bersangkutan tidak akan menuntut pengakuan gelar akademiknya dalam kedinasan. Otomatis tidak akan dinilai angka kreditnya. Wejangan yang dipakai adalah meningkatkan kompetensi boleh dan harus, tetapi  penghargaan dalam kepangkatan nanti dulu. Di bagian lain, banyak guru-guru yang belum bergelar S1 juga ancang-ancang melanjutkan studinya.
Semangat melanjutkan studi ini sebenarnya sejalan dengan keinginan pemerintah untuk meningkatkan kompetensi guru. Karena sebagaimana laporan yang dirilis pemerintah sendiri,  masih banyak guru yang belum S1, dan perlu segera ditingkatkan strata pendidikannya. Baik melalui program beasiswa,  maupun jalur mandiri. Hal ini sesuai tuntutan Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 tentang standar Kualifikasi Akademik Dan Kompetensi Guru yang menyebutkan bahwa kualifiasi guru minimal harus S1.
Masih segar dalam ingatan kita ketika program sertifikasi digulirkan. Karena S1 sebagai syarat, guru-guru bergegas menempuhnya. Meski semangat itu sedikit kendor karena ketika pelaksanaan sertifikasi begitu banyak dispensasi untuk syarat  keikutsertaannya. Syukurlah, dampak positif lain muncul. Akhirnya banyak guru yang segera menempuh S1 begitu TPP-nya cair.
Namun begitu aturan pembatasan jarak maksimal kuliah, banyak yang kecewa dan kecele.  Kalaupun ingin kuliah dan gelar akademiknya mau diakui ada pengorbanan yang bagi guru terlalu besar.  Harus kehilangan sebagian hak guru, termasuk TPP. Siapa yang mau? Jadi jangan heran jika ada beasiswa S1 atau S2 untuk guru, hanya sedikit peminat. Selain tempat kuliah jauh dari keluarga, tunjangan-tunjangan ikut melayang.  Bagaimanapun juga guru butuh ketenangan ketika kuliah. Bisa dekat keluarga dan tidak kehilangan pendapatan yang bisa menunjang pendidikannya itu sendiri.
Batasan jarak 60 km itupun juga  perlu didiskusikan. Misalnya saja guru Ngawi yang  berada di sebelah timur berbatasan dengan Madiun dan yang bertempat di Mantingan mau kuliah di UNS Solo.  Sama-sama guru Ngawi, yang satu jaraknya lebih 60 km yang satu kurang dari 60 km. Guru Madiun asal Dolopo dan guru Saradan yang mau kuliah di Jombang, juga demikian. Sama-sama satu kabupaten, yang satu lebih dan yang satu kurang dari 60 km. Ini kalau ditinjau dari posisi domisili dalam satu daerah.
Dari segi ketersediaan jurusan S1 saja, tidak semua jurusan tersedia dalam radius 60 km dari tempat asal. Baik itu jurusan di perguruan tinggi negeri maupun swasta. Untuk jurusan langka seperti IPA (fisika, kimia, biologi) dan bahasa Jawa, tidak banyak PT (swasta) membuka jurusan.   Apalagi mau kuliah S2 linear?  Kalau dilarang, mau kuliah di mana?
Kebijakan pembatasan jarak maksimal kuliah sejauh 60 km ini perlu ditinjau kembali. Dengan dilarangnya kuliah jauh, untuk program pendidikan tertentu bagaikan tamparan gelombang tsunami. Kalau jelas tidak ada jurusan dalam radius 60 km, lantas mau kuliah ke mana. Ke laut? Memang masih ada peluang. Mungkin hanya melalui program Universitas Terbukan hal ini bisa terlaksana. Tetapi dengan daya tampung terbatas, program percepatan pemenuhan standar kualifikasi pendidikan minimal S1 bagi guru sepertinya terhambat. Dengan demikian target terselesaikannya program sertifikasi guru bisa terhambat juga.
Tidak saja hanya untuk pemenuhan standar kualifikasi pendidik, batasan kuliah maksimal 60 km ini bisa juga berdampak sistemik. Munculnya ijazah S1 palsu ditengarai juga akibat kebijakan ini. Atau jika kelak untuk memenuhi standar kualifikasi pengawas baik pengawas satuan pendidikan ataupun pengawas mata pelajaran mensyaratkan S2 linear, siapa yang mengisinya. Atau juga jenjang karier lain yang memerlukan latar belakang guru bergelar S2 linear. Bukankah masih langka guru-guru yang mempunyai S2 kependidikan linear. Rasanya hanya guru-guru di kota besar yang bisa menempuhnya. Sedang guru ndeso cukup pensiun sebagai guru. Asal TPP cair tidak masalah tidak naik karier. Padahal banyak guru ndeso yang kompeten, tidak kalah dengan guru kota.
Latar belakang jarak 60 km agar guru tetap bisa memenuhi beban mengajar 24 jam atau jam kerja 37,5 jam masih bisa diatasi. Kalau bisa dipermudah mengapa harus dipersulit? Misalnya mengajar Senin s.d. Kamis, dengan tambahan tugas sekolah lain. Hari lain bisa kuliah ke tempat yang jaraknya lebih dari 60 km. Guru juga tidak dikenakan pasal tugas belajar yang menghilangkan hak-hak guru, termasuk TPP. Biarkan pendapatan tambahan guru digunakan untuk membiayai kuliahnya. Model ini bahkan lebih menguntungkan pemerintah. Pemerintah tidak keluar ongkos, standar kualifikasi guru terpenuhi. Sekali dayung dua tiga pulai terlampuai. 
Dalam keadaan mendesak utamanya untuk jurusan S1 terbatas/langka dan S2 linear, pemerintah/kementerian pendidikan dan kebudayaan dapat mengeluarkan kebijakan untuk terlaksananya pendidikan jarak jauh dengan pengawasan dan syarat ketat. Hanya bisa dibuka oleh PT negeri atau PT swasta terakreditasi A.
Jika semua sudah deadlock, pada akhirnya para guru memang hanya bisa menyandarkan kepada yang di atas. Sebagai negara hukum semua warga negara (termasuk guru) berhak mendapat pengajaran yang layak, seperti tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 pasal 31. Apakah kebijakan pembatasan menempuh pendidikan sudah sejalan dengan undang-undang yang berlaku? Sambil menggerutu mungkin para guru berkata : padalah yang membuat larangan kuliah 60 km itu mungkin saja dulunya juga ada yang kuliah instan. Kok sekarang tega! Perlukah kebijakan itu diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Akankah hakim MK tanpa Akil Mochtar membatalkan pembatasan jarak kuliah maksimal 60km? Guru bukan pakar hukum. Guru hanya bisa menghakimi dirinya sendiri. Mungkin biro hukum organisasi guru yang dapat memahami hati nurani guru. Kita para guru juga tidak ingin hanya karena sulitnya menempuh S1 terjadi aksi mogok masal guru seperti saat mempertingati hari Guru Internasioanl 5 Oktober. Meski sebatas mogok dengan doa bersama, toh PBM terganggu. Jangan ajak guru kencing berdiri, agar murid tidak kencing berlari. Selamat memperingati Hari Guru, Dirgahayu Guru Indonesia!


Tulisan ini dimuat  di majalah media edisi Okober 2013 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar