Selasa, 19 November 2013

Inovasi dan Improvisasi Guru Sukseskan K-13



Jangan melakukan pekerjaan jika sudah ada rasa pesimis. Kalau anda mau berhasil, optimislah. Begitu pesan orang bijak. Tetapi untuk menciptakan optimis tidak cukup bermodal semangat. Diperlukan materi pendukung yang harus bersinergi dengan apik. Demikian pula dengan pelaksanaan kurikulum 2013. Melihat tarik ulur pemberlakukan K-13 ini rasanya para guru mulai was-was dengan K-13. Tidak hanya dari muatan kurikulumya, tetapi juga persiapannya. Bagaimana tidak, kurang dari satu bulan sebelum tahun ajaran baru, baru ada kepastian hukum pemberlakuan K-13. Jeda satu bulan ini digunakan untuk mematangkan pemberlakuan K-13. Mulai pelatihan insruktur, guru inti, guru sasaran serta pendistribusian buku ajar. Faktanya, begitu tahun ajaran dimulai buku ajar tidak terdistribusi dengan baik.
Pembaca pasti bisa merasakan, bagaimana waktu yang singkat ini digunakan untuk mengerjakan tugas nasional yang maha berat. Istilah Jawanya kemrungsung, tergesa-gesa. Dari pelatihan singkat menjelang pemberlakuan K13 untuk sekolah sasaran, guru-guru (termasuk nara sumber) belum bisa memberikan pemahaman yang matang. Apalagi perangkat administrasi yang harus dilaksanakan guru tidak sesederhana yang diperkirakan sebelumnya. Melihat kondisi ini tingkat keberhasilannya K13 baru 75%. Sebatas terlaksana, belum membumi.
Memang, sosialisasi K-13 cukup baik. Jauh hari Kemendikbud sudah melakukan road show dan uji publik. Walau kebanyakan guru hanya mendengar sepotong-sepotong melalui media dan katanya. Model ini baru menyentuh di tingkat perkotaan dan yang melek teknologi. Bagi guru di wilayah pinggiran, roh K13 yang dianggap kurikulum terbaik selama ini belum bisa disimak dengan seksama. Sosialisasi lebih efektif melalui forum guru di daerah. Tenaga profesional Kemendikbud langsung turba ke daerah.
Begitu juga dengan promo keunggulan K13 yang sering dilansir Mendikbud.  Para guru cenderung apatis dan mereka-reka nasib K13 sama saja pelaksanaannya dengan kurikulum sebelumnya. Bagus di atas kertas, biasa saja di lapangan. Perencanaan dan penilaian yang ribet begitu saja diabaikan ketika kenaikan kelas atau kelulusan. Demi suksesnya wajib belajar dan nama baik.
Di dunia ini tidak ada yang kekal. Yang abadi adalah perubahan. Apalagi untuk urusan kurikulum. Istilah ganti menteri ganti kurikulum masih melekat dalam angan-angan kita. Dinamika global yang begitu pesat membutuhkan sumber daya manusia yang mumpuni. Dan dunia pendidikan dituntut untuk terus dan terus berinovasi dan berimprovisasi. Semakin pesat kemajuan jaman semakin banyak tantangan dan hambatan. Baik menyangkut kemampuan intelektual, mental maupun moral. Tidak akan ada yang berani menjamin dalam 20 tahun ke depan K13 akan tetap relevan. Yang lebih klop, kurikulum akan selalu berdinamika. Yang utama, kurikulum relevan dengan perkembangan jaman, bisa dilaksanakan, bukan latah atau pesanan dan tidak bermuatan politik maupun bisnis.
Kemajemukan bangsa Indonesia ini memerlukan perlakuan khusus. Kalau dalam politik demokrasi kita demokrasi Pancasila, maka kurikulum kita juga Kurikulum Pancasila. Boleh kita berkaca ke negara manca yang maju dengan kurikulumnya. Para pakar kita tentu sudah studi banding dan mengambil pengalaman serta pelajaran terbaik dari mereka. Tetapi jika budaya kita berbeda, jangan terlalu dipaksakan. Kurikulum Indonesia harus tetap berorientasi global, memenuhi selera pasar, berbudaya serta  memuat nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila. Dengan kurikulum yang sesuai dengan kondisi bangsa kurikulum lebih lebih dilaksanakan.
Menyimak pernak pernik K13 memang kita boleh menaruh harapan besar. Kehandalan K13 untuk membentuk generasi emas mendatang yang berkarakter baik setidaknya menjadi tujuan mulia. Namun dari sisi pelaksanaan, banyak pihak masih merasa was-was. Berkaca pada proses pesetujuan pemberlakuan K13, jangan-jangan ke depan daya dukung pelaksanaan K13 terseok-seok. Karena untuk penerapan bertahap saja, hingga awal pelaksaannya juga belum berjalan mulus, terutama distribusi buku. Pelatihan bagi guru di sekolah sasaran juga belum optimal. Berdasar pengalaman guru-guru sekolah sasaran pelaksana K13 yang mengikuti pelatihan, materi diklat dari nara sumber belum bisa dicerna dengan baik. Guru-guru banyak yang bingung menerjemahkan pelaksanaan K13. Tidak seperti janji Mendikbud jauh hari yang menyatakan K13 akan memanjakan guru dari sisi administrasi guru, agar guru lebih konsentrasi mengajar di kelas.  Ternyata K13 hanya menyediakan Kompetensi inti, kompetensi dasar dan silabus. Guru harus ekstra keras membuat administrasi pembelajaran.
Untuk mengatasi kekurangan ini sekolah dan guru dituntut kreatif. Kekurangan buku bisa dengan mendownload atau mengcopy soft copy buku ajar yang diterbitkan Kemendikbud. Jika untuk mencetaknya terlalu mahal, guru memanfaatkan buku lama. Dan apabila guru-guru berkeinginan memudahkan pembelajaran, para guru bisa patungan menyusun bahan ajar berdasarkan silabus yang ada. Sedang untuk administrasi mengajar, guru-guru di sekolah pelaksana K13 bekerja sama menyusun perangkat yang disesuaikan kondisi sekolah.
Pada akhirnya, sebagus apapun program jika tidak diniati itikad baik dan semangat untuk maju tidak akan terwujud. Kolektifitas, kolegalitas dan saling membelajarkan sesama pendidik menjadi kunci untuk menyukseskan K13. Kekurangan dan ketidaktahuan dipecahkan dengan belajar sambil berkarya.  Dengan pendekatan scientific dalam pembelajaran, siswa jangan hanya dijadikan obyek. Mereka bisa menjadi subyek pembelajaran yang aktif. Siswa juga pustaka berjalan. Dari mereka guru juga akan belajar untuk mengembangkan diri demi suksesnya kurikulum 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar