Selasa, 06 Mei 2014

Mencegah Penjajahan Pendidikan dengan Semangat BERDIKARI

            Kalau mau uji nyali, pergilah ke luar. Jangan hanya jago kandang. Ini nasehat bagi semua yang bermental kompetisi. Mudah disimak dalam berbagai even, nilai kompetitif bangsa ini semakin hari kian terpuruk. Tidak hanya dalam bidang ekonomi dan olah raga, bidang sosial budaya, SDM kita semakin kalah bersaing di kancah global. Bahkan di tingkat regional ASEAN, Indonesia mulai ditinggallan Vietnam ataupun Philipina. Nah, untuk itu bangsa Indonesia harus siap bersaing dengan siapapun. Karena bagaimanapun juga bangsa Indonesia tidak bisa hidup sendiri dalam percaturan dunia internasional. Apalagi kalau menilik ke dalam negeri, kebutuhan pokok bangsa Indonesia saja masih menggantungkan dari negera lain. Oleh karena itu siap tidak siap, setuju tidak setuju Indonesia harus siap menyambut AFTA 2015.
            Dengan ditekennya MOU AFTA beberapa tahun lalu, seharusnya bangsa ini segera berbenah. Mengevaluasi diri, mencari kelemahan dan kekuatan. Kekuatan yang dimiliki diperkuat agar mempunyai nilai tawar tinggi, sedangkan kelemahan yang ada segera diperbaiki. Penolakan dan mencari kambing hitam hanya akan menghabiskan energi dan mengolor waktu persiapan. Di saat bangsa kita sibuk berdiskusi, negeri lain sudah bergerak, dan kita semakin ketinggalan. Keberadan tenaga asing/pendidikan asing di Indonesia seyogyanya dijadikan sparing partner dan pemacu untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
            Jadi wajar, jika ada rasa apriori dan pesimis dengan kemampuan kita menghadapi AFTA 2015. Namun jika saat yang dijanjikan datang, toh kita tidak bisa menghindar. Di tengah kegalauan itu, semestinya bangsa Indonesia segera berbenah. Okelah, di awal pemberlakuan AFTA nanti Indonesia akan sedikit kelabakan. Tetapi di saat kita mendapat serangan dari luar dalam bentuk apapun, di saat itu kita akan belajar. Karena belum diberlakukannya AFTA saja, saat ini kita sudah mulai merara terjajah. Coba saja tengok barang-barang di sekeliling, bahkan yang melekat pada diri kita. Produk asing sudah menghiasi kehidupan sehari-hari kita. Kesuburan tanah air kita, yang kata Koes Plus tongkat ditancap bisa jadi tanaman belum membuat bangsa kita mandiri di bidang pangan, produk pertanian serta perkebunan. Termasuk juga sektor pendidikan. Pembaca pasti sering menyimak iklan penawaran pendidikan. Banyak negara tetangga yang memberi iming-iming agar bersekolah di luar negeri. Selain fasilitas memadai, berbagai kemudahan ditawarkan, termasuk beasiswa. Sekolah-sekolah di tanah air berlabel internasional yang notabene kebanyakan sekolah swasta unggulan menawarkan keistemewaan sekolahnya, salah satunya mempekerjakan guru asing.
            Bisa dibayangkan, tatkala AFTA 2015 benar-benar diberlakukan bak genderang perang ditabuh. Di sektor pendidikan akan terjadi persaingan sengit antar sekolah. Sekolah yang mempunyai budget tinggi dan mempunyai jaringan internasional bisa menggurita di tanah air. Tentu saja sekolah-sekolah swasta yang saat ini sudah mapan lebih siap menjawab. Sementara sekolah dengan SDM pas-pasan mulai ditinggalkan, termasuk sekolah negeri. Mengingat luasnya nusantara, masuknya  guru-guru asing memang belum memberikan ancaman berarti bagi guru-guru Indonesia. Guru asing baru banyak mengisi tenaga edukasi di sekolah-sekolah tertentu. Meski demikian, hal ini dapat berpengaruh terhadap perekonomian nasional. Devisa lari keluar negeri. Lebih dipercanya guru asing yang dipekerjakan oleh sekolah-sekolah tertentu, hal ini merupakan bentuk pelecehan bagi guru Indonesia.
            Bagi guru dan dosen Indonesia, menyambut AFTA 2015 mau tidak mau harus meningkatkan kompetensi dirinya. Melakukan inovasi, meningkatkan etos kerja serta melakukan pengembangan diri, seperti melakukan riset dan publikasi ilmiah, baik di dalam maupun luar negeri. Karena dengan melihat hasil karya guru dan dosen pihak luar akan mengakui eksistensi pendidikan Indonesia. Dengan demikian negara lain juga melirik guru dan dosen Indonesia untuk mengajar di negeranya.
            Hal ini juga cocok dengan harapan Pak De Karwo, agar guru tidak hanya memikirkan kesejahteraan tetapi juga meningkatkan daya saingnya. Tidak dipungkiri, setelah adanya tambahan tunjangan profesi, dampak positifnya belum signifikan. Jika yang dimaksud Pak De Karwo guru harus memanfaatkan TPP untuk meningkatkan kompetensinya, hal ini sudah arahan memanfaatkan 10% TPP untuk pengembangan diri guru/dosen. Hanya saja aturan yang mengawasi pelaksanan hal ini belum ada. Jadi aman-aman saja guru menggunnakan TPP sesukanya. Untuk itu, agar guru/dosen siap bersaing dengan guru manca, penggunaan10% untuk pengembangan diri guru perlu dipertegas. Caranya dengan menerbitkan aturan pembuatan laporan pertanggungjawaban penggunaan TPP minimal 10% untuk pengembangan diri. Bagi guru/dosen yang tidak melaporkan, pencairan periode berikutnya ditunda bahkan tidak diberikan. 
            Meski AFTA 2015 sudah diteken, pemerintah masih perlu mengendalikan keberadaan tenaga guru/dosen asing di Indonesia. Agar tidak melanggar kesepakatan, guru-guru luar yang akan mengajar di Indonesia harus memiliki sertifikat pendidik layaknya guru Indonesia. Guru asing harus menguasai bahasa Indonesia, baik lesan maupun tulisan. Syarat ini sebagai upaya agar guru asing juga memahami budaya Indonesia dan tidak menghilangkan rasa nasionalisme siswanya. Efek lain, bahasa Indonesia bisa lebih mendunia. Sedang bagi guru/dosen Indonesia perlu di tingkatkan kemampuanya, baik dengan dana mandiri, sharing atau hibah. Memberi penghargaan kepada guru-guru yang berprestasi, inovatif, kreatif dan beretos kerja tinggi dengan memberi kesempatan meningkatkan kemampuanya dengan mengikuti diklat, workshop, seminar, bahkan beasiswa baik di dalam maupun luar negeri. Memberikan wadah yang luas kepada guru/dosen untuk melakukan penelitian, pendampingan serta mempublikasikan  hasil karyanya. Sehingga orang semakin mudah melihat kompetensi dan perkembangan pendidikan di Indonesia.
            Yang lebih urgen bagi keberadaan guru/dosen Indonesia adalah menanamkan semangat BERDIKARI (Berdiri di Atas Kaki Sendiri). Ajaran Bung Karno ini senafas dengan ajaran Gandhi dengan swadesinya. India yang umur kemerdekaannya sepantaran dengan Indonesia, kini telah menjelma sebagai salah satu negara yang diperhitungkan SDM-nya. Sekolah/Perguruan Tinggi yang mampu mengimpor guru/dosen dari luar negeri sah-sah saja. Tetapi akan lebih baik jika menggunakan bangsa sendiri. Kalau menggaji guru/dosen luar berani memberi bayaran mahal, hal sama juga diberlakukan untuk guru/dosen Indonesia. Agar guru/dosen handal tidak dibajak ke luar dan pendidikan Indonesia tidak terjajah di negeri sendiri

Artikel ini dimuat di Majalah Media edisi Mei 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar