Senin, 11 Agustus 2014

Hukuman berat pelaku kekerasan seksual untuk efek jera



            Amit ...amit! Alih-alih dapat ilmu berkelas dunia, ternyata justru musibah pilu membuat hati para orang tua mengelus dada. Label mentereng ternyata tidak mampu memberikan perlindungan bagi anak mereka di sekolah berlabel internasional. Anak-anak imut itu harus menangguk malu dan ketularan penyakit atas perlakuan tidak senonoh para petugas kebersihan Jakarta Internasional School (JIS).  Perbuatan biadab ala kaum Sodom di jaman nabi Luth ini tidak sepantasnya terjadi di sebuah lembaga pendidikan. Sepintas, pihak sekolah sepertinya melakukan pembiaran. Malah timbul kecurigaan, ada oknum guru JIS terlibat dalam jaringan internasional pedofilia. Karena diantara tenaga pengajarnya justru masuk daftar buron FBI sebagai pelaku tindak pedofilia. Yang lebih ironis, keberadaan sekolah asing di Indonesia ternyata tidak membawa manfaat positif bagi pengembangan sumber daya manusia dalam negeri. Tenaga pendidik Indonesia hanya sebagai tenaga pelengkap administrasi tatkala mengawali perijinan. Berikutnya, diputus kontrak dan digantikan kaum ekspatriat. Transfer ilmu nihil. Pendidikan asing laksana tempat kos-kosan ataupun rumah kontrakan. Mereka minta ijin, selebihnya terserah gue.
            Sebagai sekolah berlabel internasional, sudah barang tentu mempunyai magnet tersendiri, khususnya bagi kaum berkantong tebal. Harapan besar orang tua untuk anak mereka mengenyam pendidikan rasa internasional, meski hanya setingkat taman kanak-kanak memang menjadi impian, selain gengsi. Tetapi begitu terbongkar tindak kejahatan seksual menimpa anak-anak ini, pasti hancur lebur perasaan para orang tua. Bukan hanya mereka merasa tertipu, tetapi dampak lanjutan berupa efek penyakit dan trauma psikis anak-anak menjadi beban tersendiri. Maka menjadi hak para orang tua untuk menuntut pihak JIS bertanggung jawab. Baik secara finansial, rehabilitasi kesehatan, mental dan membawa masalah ke jalur hukum. JIS boleh dianggap telah melakukan penipuan. Sebagai rasa solidaritas, para orang tua sebaiknya mencabut keberadaan anak-anak mereka keluar dari JIS dan menyekolahkan di tempat lain, baik sekolah internasional maupun sekolah milik bangsa sendiri yang kualitasnya tidak kalah dengan sekolah internasional. Kalaulah hanya untuk taman kanak-kanak, apakah dengan mendidik  di sekolah internasional akan langsung menyulap otak sekaliber Einstin atau Habibie? Bukankah usia taman kanak-kanak merupakan usia bermain.
            Langkah ini juga harus diback up pemerintah. Kenyataan sekolah internasional tidak mampu memberikan pelayanan maksimal kelas dunia, keberadaan model sekolah ini perlu ditinjau ulang, seperti halnya keberadaan sekolah kala ada RSBI. Karena sudah terbukti ada korban, pelaku dan saksi, pihak pengelola (JIS) harus bertanggung jawab. Di bawa ke jalur hukum. Apalagi di dalam perkembangannya, pihak JIS sulit diajak bekerja sama, seperti menutup nutupi kasus pelecehan seksual ini. Langkah peninjauan keberadaan sekolah internasional, utamanya JIS pun sudah dilakukan Kemendikbud dengan menyetop operasionalnya dalam penerimaan peserta didik baru di JIS serta memerintahkan penggantian label internasional.
            Pembaca masih ingat saat fit and proper tes calon hakim agung di DPR saat calon hakim agung Daming di tanya soal hukuman mati terhadap pemerkosa? Apa jawaban calon hakim tersebut? Meski maunya untuk guyon, jawaban bahwa hukuman mati tidak perlu dengan alasan yang memerkosa dan yang diperkosa sama-sama menikmati akhirnya menimbulkan polemik. Dan akhirnya Daming gagal menjadi hakim agung. Tindakan para cleaning servis di JIS tersebut sekelas Robot Gedek, serumpun dengan tindakan pemerkosaan. Pantas dihukum berat. Mahalnya hukuman mati di Indonesia bahkan untuk kasus-kasus berat, semestinya jangan membuat pelaku kejahatan seksual merasa enteng menjalani, tidak kapok dan bisa jadi mengulang perbuatannya. Mereka pantas dihukum berat. Makanya ide mengkebirian pelaku yang dimuat di harian Jawa Pos (8/5/2014) opsi yang layak diperlakukan. Pengkebirian dalam arti menghilangkan fungsi ereksi atupun pemotongan saluran reproduksi seperti tubektomi bagi pelaku akan menjadi sock terapi bagi siapapun yang mempunyai niat serupa. Dan jika perbuatan diluar batas menurut pandangan umum dan hukum, pelaku pantas dihukum mati.
            Vonis berat seperti di atas memang sepintas tidak manusiawi. Tetapi lebih tidak manusiawi jika korban-korban tidak diperhatikan masa depannya. Dengan umur masih bau kencur, trauma psikis pasti mengganngu perkembangan jiwa, intelektual serta kehidupan sosialnya. Untuk itu kepada para korban perlu penanganan khusus. Tindakan utamanya adalah pemulihan mental. Dengan bantuan psikiater, korban dibangkitkan rasa percaya dirinya. Memindahkan ke sekolah lain agar berbaur dengan anak-anak seusianya yang tidak mengetahui cerita lama si korban. Termasuk juga memberi kegiatan positif dan bimbingan spiritual.  Dengan cara ini minimal anak mulai bisa melupakan peristiwa buruk yang menimpanya.
            Sebuah peristiwa pasti ada hikmahnya. Hikmah bisa berupa peringatan, petunjuk ataupun solusi. Solusi ada yang instan ada pula yang berjenjang. Terkait kasus yang menimpa anak-anak JIS, yang tidak jauh dari urusan sex, bukan berarti sex adalah sesuatu yang urgen bagi anak. Sex bukan hal tabu, juga bukan sesuatu yang mendesak bagi anak. Kita sering terjebak dalam budaya latah. Berkaca pembagian kondom yang konon untuk mencegah HIV, justru menimbulkan polemik dan dikuatirkan disalah tafsir bahkan disalahgunakan. Pendidikan sex untuk anak seusia SD belum perlu diberikan. Baik secara vulgar ataupun dengan bahasa simbol. Bagi anak-anak yang melek teknologi, pengetahuan sex akan diketahui dengan sendirinya, tergantung pergaulan dan lingkungannya. Disinilah peran guru (SD) dan orang tua. Para guru di tingkat SD bisa lebih menghiasi pembelajaran di kelas dengan muatan-muatan budi pekerti, nilai sosial dan spiritual, apalagi dengan Kurikulum 2013. Dengan menanamkan norma berkehidupan sosial, anak diajarkan bagaimana bergaul dan berteman, memanfaatkan kecanggihan IT secara bijak, serta menekankan pentingnya belajar agama. Karena bagaimanapun juga, agama merupakan lampu penerang, baik hidup di dunia maupun di akherat.
            Seperti dikemukakan penulis di atas, bahwa untuk membuat efek jera bagi pelaku kejahatan apapun perlu dihukum setimpal. Koruptor di Cina, pemilik heroin beberapa gram di Malaysia, bisa dengan mudah di hukum mati. Bandingkan di Indonesia. Milyaran hingga triliunan uang rakyat di korupsi, vonis ringan sering terjadi karena tidak cukup bukti, apalagi saksi. Hukuman di jalani hanya hitungan hari, dikorting remisi, cepat keluar dari jeruji besi pembatas bui. Keluar penjara malah beli mercy. Yang jualan berkilogram obat terlarang atau pemakai justru bisa jadi selebriti, negeri ini menjadi tempat ngeri!!  Maka kalau di Indonesia tidak ingin lebih banyak korban kejahatan seksual, hukuman mati patut divoniskan. Agar kita tidak ketularan India, yang sekarang ngetrend terjadi pemerkosaan berjamaah. Empati kepada pelaku boleh, tetapi nasib korban lebih utama demi masa depan anak yang lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar