Selasa, 09 September 2014

Merajut Titian Generasi Emas Sejak Dini, Kenapa Tidak?

            Pembaca masih ingat syair lagu Puput Melati kala kecil berikut?  1+1=2 ... 2+2=4 ... 4+4=8 ... 8+8=16....    Lagu berbau hitung-hitungan itu begitu femelier di kalangan anak-anak.  Mereka pun fasih melantunkannya. Sekilas orang menerka, anak-anak yang menyanyikan lagu tersebut sudah pintar hitung-hitungan. Apakah anak-anak TK memang sudah pintar menghitung (menjumlahkan) bilangan yang hasilnya lebih dari sepuluh? Coba saja. Kemudian coba lakukan hitung-hitungan pengurangan, bahkan perkalian. Hampir dipastikan, sebagian besar kesulitan.  Mengapa? Ya, karena anak-anak TK hanya hafal. Yang lancar, biasanya ikut les sempoa atau sejenisnya.
             Bagaimana dengan baca tulisnya? Berbeda sedikit dengan berhitung, untuk baca tulis, anak-anak TK lebih lancar. Karena sekolah selain mengajarkan baca tulis juga memberi les. Memang, ada fenomena, ada anggapan bahwa anak TK yang hebat adalah yang sudah pandai membaca, menulis dan berhitung. Maka tak heran, sekolah-sekolah TK pun menawarkan keunggulan dalam calistung. Tengok juga Taman Pendidikan Al Qur’an (TPQ/TPA). Banyak anak-anak kecil seusia anak TK bahkan PAUD sudah lancar membaca tulisan arab. Tidak jauh juga dengan TK bukan?
             Apa kiatnya? Sederhana saja. Metode yang tepat. Jangankan calistung untuk anak normal, untuk anak di bawah usia TK bahkan yang mempunyai kelainanpun jika metodenya tepat tidak ada hambatan untuk menciptakan anak-anak hebat. Pembaca bisa memetik pengalaman dari Deddy Corbuzier misalnya. Dalam tayangan Hitam Putih 17 Juli 2014 diceritakan, bahwa anak Dedi pada awalnya tidak bisa membaca meski sudah dileskan. Karena anak Dedi menderita disleksia, setelah diajar dengan metode khusus, menjadi hebat. Apalagi kalau kita mengikuti acara Hafizd ataupun AKSI Yunior di TV saat Ramadan. Anak-anak yang pengucapannya saja belum lancar, ternyata sudah mampu menghafal Alqur’an ataupun teks pidato dalam waktu singkat.  Melihat hal seperti ini, saya berpendapat, calistung tidak masalah diajarkan di TK. Karena sesungguhnya setiap anak itu mempunyai kemampuan tersembunyi, bahkan kemampuan nyleneh. Anak nakal, anak-anak disleksia,  hiperaktif bahkan anak autispun sebenanrnya mempunyai kemampuan lebih yang rata-rata potensi besarnya tidak terdeteksi sejak dini. Albert Einstein, Tom Cruise ataupun tokoh-tokoh dunia sekelas Agatha Critie, John Lennon ataupun Leonardo da Vinci contoh orang-orang yang punya keterbatasan ataupun kelainan ini mulai kecil ternyata setelah dewasa menjadi orang hebat.
            Suatu perbedaan pandangan pasti ada hikmahnya. Ada plus minus calistung di TK. Dengan calistung diberikan di TK, potensi anak tergarap. Mereka lebih siap kala masuk di SD/MI dan menumbuhkan rasa percaya diri. Sedang kelemahannya, dapat mengganggu perkembangan motoriknya. Mengapa? Karena, jika memfokuskan calistung, anak terbiasa duduk berdiam diri. Aktivitas dan sosialisasinya kurang. Apalagi bagi anak yang kemampuannya sedang-sedang saja. Jika kesulitan calistung  mengakibatkan rasa rendah diri yang dapat membuat anak malas belajar dan bermain.
            Tetapi hidup adalah pilihan. Kita bagian dari dunia. Kita mungkin sering terperangah oleh kemampuan anak-anak kecil seusia TK di manca negara yang dipertontonkan ataupun diberitakan di media. Mereka banyak yang hebat-hebat. Apalagi sering masyarakat, anak dan orang tua dibanding-bandingkan. Maka wajar ada keinginan agar anak negeri ini tidak kalah. Jika para pakar berbekal teori, masyarakat berharap tinggi kepada anaknya, jadilah pengelola taman kanak-kanak berimprovisasi dan melayani keinginan masyarakat. Klop kan? Jadi di lapangan tidak ada masalah.
            Iqra’, bacalah. Begitu agama mengajarkan. Untuk dapat membaca dimulai kapan? Agama juga menuturkan, carilah ilmu mulai lahir hingga akhir hayat. Pengertian membaca pun luas. Tidak hanya membaca huruf latin, tetapi juga mengenal bilangan, huruf arab termasuk menulis. Nah, masalahnya jika membaca itu sudah masuk ranah pendidikan, kapan, seperti apa dan kepada siapa membaca dalam arti sempit itu dimulai di lembaga formal? Karena faktanya, ada saja SD/MI yang melakukan tes calistung ketika PPDB. Maka, sekolah-sekolah TK pun berlomba-lomba mencekoki anak didiknya dengan calistung. Marahkan orang tua? Ternyata tidak. Orang tua lebih senang anaknya di TK diberi calistung.
            Karena, kalau berpijak dengan surat edaran Dirjen Dikdasmen nomor1839/c.c2/TU/2009, sepertinya bangsa ini hanya disiapkan untuk ikut balapan start dari pitstop dengan target juara. Hebat! Hebat! Mengapa demikian? Jelas sekali aturan itu kontraproduktif untuk  kondisi sekarang. Harus diakui, jika sekarang sekolah TK hanya mengajarkan bermain, tanpa embel-embel kemampuan plus termasuk calistung, TK itu akan sepi pendaftar. Pada awalnya TK swasta lebih menggeliat dari pada TK negeri. TK swasta lebih berani berimprovisasi. Aturan dikesampingkan. Yang penting TK-TK itu memperoleh siswa banyak dan orang tua puas karena putra-putrinya memiliki ketrampilan lebih. Tidak hanya calistung, penguasaan teknologi dan bahasa Inggris pun menjadi menu anak-anak TK. Tak mau kalah dengan TK swasta, TK negeri pun latah mengikuti. Aturan tinggal aturan. Nah! Yang perlu menjadi pertimbangan, anak-anak kita adalah pemegang tongkat estafet yang bersaing di dunia global.
            Jadi yang penting bukan boleh dan tidak mengajarakan calistung di TK. Jika di dalam aturan, anak-anak TK ini tidak diperkenankan diberi materi calistung, calistung diberikan sebagai pengayaan. Melalui tes diagnostik,  anak-anak TK dipetakan. Bagi anak yang dinilai mempunyai kemampuan untuk dikembangkan lebih lanjut, bisa diberikan materi calistung. Sedang  yang kemampuannya memang sesuai dengan tingkat berkembangan, bermain sambil belajar, belajar dengan bermain menjadi menu pokoknya. Yang penting, bentuk apapun tambahan muatannya jangan memaksa apalagi membebani anak. Tentunya kebijakan ini tidak bisa mandiri. Pihak TK perlu berkoordinasi dengan SD/MI agar di dalam penerimaan peserta didik baru tidak menyaratkan ataupun melakukan tes calistung. Kelak, calistung anak SD/MI kelas 1 menjadi tanggung jawab guru SD/MI.  Memberdayakan potensi anak TK akan lebih bermanfaat. Anak-anak TK adalah masa lanjutan usia emas. Jika tidak dioptimalkan, rugi besar. Pendidikan anak TK perlu dikemas apik sebagai titian menuju generasi emas agar kelak menjadi generasi yang produktif, inovatif, kreatif dan efektif.


Tulisan ini dimuat di majalah Media edisi september 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar