Rabu, 11 Februari 2015

Mensinergikan Pendidikan, Riset dan Pasar



            Pembaca masih ingat hancurnya industry pesawat Dirgantara Indonesia. Hanya karena kekurangan suntikan dana ratusan milyar, industry canggih itu tinggal nama. Dan, putra-putra terbaik terabaikan, dibajak perusahaan manca.  Sebuah kerugian besar.  Itu contoh tidak dihargainya riset oleh keangkuhan politik. Riset dianggap mahal dan pemborosan. Banyak SDM Indonesia menciptakan karya-karya mendunia yang justru dihidupi dan lebih dihargai  negara lain. Mereka dimanjakan dengan fasilitas hidup dan akademika agar lebih bisa mengembangkan pengetahuan. Jadi, kalau saat ini Indonesia galau, produk/hasil penelitian perguruan tinggi (PT) minim, belum bisa diterima pasar, atau bahkan justru lulusan terbaik hengkang ke negeri manca, berarti ada yang kurang dalam sistem pendidikan dan pemerintahan kita. Salah satunya mungkin karena masing-masing leading sector terlalu mempertahankan egonya sendiri.
            Ditengarai, hasil-hasil riset utamanya di PT kebanyakan mandek di rak-rak arsip kampus.  Di samping itu, hasil riset  kemungkinan belum mampu menjawab kebutuhan pasar. Karena mahalnya mematenkan, sulit dijual ke industri atau badan/lembaga yang sesuai. Dampaknya jelas, para  penemu ini tidak bisa menikmati jerih payahnya. Otomatis, mereka  juga tidak mengembangkan temuannya. Kekurang sinergisan antara riset dalam arti umum dan riset di dunia kampus yang dicoba digabung dalam satu kementerian diharapkan mampu menjembataninya. Meski sekilas dalam kaca mata awam, pendidikan terasa dikotak-kotak. PT focus dalam riset, dikdasmen berkutat pada koginitif, afektif dan psikomotor. Lantas, kemana PAUD dan TK? Bukankah Kementerian pendidikan lain bertajuk pendidikan dasar dan menengah? Kalau Kementeriannya Pendidikan dan Kebudayaan masih masuk daftar anggota, kalau tidak, apa nanti akan ada Kementerian Pendidikan dan Permainan? Yaa, semua kembali ke  politik. Bagi-bagi kekuasaan tidak harus bagi-bagi lembaga. Pemborosan saja. Yang penting sistemnya jelas, terarah dan bersinergi. Apalah arti sebuah nama?
            Jika dulu dengan satu kementerian pendidikan anggaran pendidikan sudah mencapai 20%, dengan bergabungnya kementerian riset dan bermertamorfosisi menjadi 2 kementerian pendidikan, otomatis jumlahnya menjadi lebih dari 20%. Jika tarik ulur dalam pembahasan R-APBN Perubahan terjadi, dikuatirkan prosentase dana pendidikan justru berkurang.  Dengan dalih untuk kelonggaran ruang fiscal dalam pengelolaan anggaran  dan pelaksanaan janji-janji presiden saat kampanye, dana pendidikan dalam arti sesungguhnya akan dialihkan untuk hal-hal yang bersifat populis dan mercu suar. Dua kementerian bisa tarik ulur demi pensuksesan program-programnya.
            Sesuai pernyataan Menpan untuk moratorium CPNS, 2 kementerian baru ini tidak perlu  melakukan rasionalisasi pengawai, ataupun  merekrut pegawai baru.  Kementerian hanya perlu optimalisasi fungsi dan peran masing-masing personil di setiap satuan kerja. Anggaran mengacu kepada prioritas program. Mensinergikan program pendidikan dasmen dan tinggi, agar tidak terjadi tumpang tindih program dan anggaran.
            Seperti halnya pergantian pimpinan lembaga  dalam satu pemerintahan, pergantian pimpinan adalah suatu yang wajar. Segala sesuatunya sudah ada aturan. Aset lembaga pemerintahan tetap dalam pengelolaan negara. Hanya perlu berita acara serah terima keberadaan asset beserta nilai-nilainya. Perguruan tinggi yang sudah berbadan hukum tetap menjalankan peran dan fungsi sebagaimana mestinya.
            Siapa berani menjamin terbentuknya suatu lembaga mampu menghasilkan kerja seperti yang diimpikan? Rasanya, di negeri ini belum banyak yang bisa diharap. Hanya kemauan dan komitmen untuk bekerja..bekerja..dan bekerja sesuai aturanlah yang akan membuktikannya. Contoh sederhana, kala mobil Esemka diagung-agungkan dan digadang-gadang menjadi mobil nasional, mana kelanjutannya? Saat pak Dahlan Iskan merintis mobil listrik, industry otomatif  dalam negeri mana yang mendukung?      Pencitraan boleh, tetapi yang lebih penting tekad menjadi bangsa mandiri. Kita patut belajar kepada India, dengan swadesinya. Dan itu perlu riset. Riset bukan monopoli perguruan tinggi.Anak sekolahan bisa, perlu dan harus belajar riset. Justru di tingkat sekolah ini, perlu ditanamkan sejak dini budaya riset. Pada usia sekolah biasanya banyak lahir ide-ide brilian. Hanya, karena  fasilitas dan pengetahuan dasar belum memadai, riset anak sekolahan baru banyak terlaksana sebatas pada kegiatan lomba-lomba. Sementara untuk riset di PT, perlu terobosan, kemudahan dan bantuan dana serta fasilitas. Meski menilik pengalaman, budaya riset belum mendarah daging dalam insan para mahasiswa. Budaya copy paste ataupun plagiatisme sedapat mungkin diberantas.  Keberadaan kementerian riset dan pendidikan tinggi dikuatirkan hanya akan memberikan PHP (pemberi harapan palsu) apabila tidak ada langkah strategis dalam perencanaan pembelajaran di kampus. Untuk lebih merangsang berkembangnya kualitas dan kuantitas riset, SKS mata kuliah penelitian perlu ditambah porsinya. Mahasiswa yang mempunyai nilai plus untuk hasil risetnya diberi dana hibah dan dibantu pengurusan hak atas karya intelektualnya serta difasilitasi dengan dunia usaha agar mempunyai nilai ekonomi dan diterima pasar.
            Pemisahan pendidikan dalam 2 kementerian ini mempunyai tantangan besar. Diantaranya dalam kesinergisan hasil pendidikan dasmen ke dikti,  fasilitasi atas HAKI, serta kerjasama dengan pihak industri dan pasar.  Khusus proses masuk PT, pasti akan terjadi tarik ulur. Wacana menggunakan hasil ujian akhir sebagai salah satu syarat masuk PT akan menggantung. Karena UN tidak lagi sebagai syarat utama kelulusan dan hanya sebagai pemetaan.Tentunya PT bisa berkilah untuk tidak mau menggunakannya, apalagi dalam pelaksananUN masih banyak direcoki kecurangan.
            Kata orang bijak, banyak usaha gagal karena latah. Kebijakan latah hanya akan membuat kegiatan ABS (Asak Bapak Senang). Penelitian tidak boleh dibuat latah. Penelitian harus mampu menghasilkan sesuatu. Penelitian berkualitas  berdasar dari pendidikan yang baik. Pendidikan tinggi mendapat input baik jika pelaksanaan pendidikan dasar dan menengah berjalan di atas rel yang benar. Pendidikan, riset dan pasar adalah tiga mata rantai yang sambung menyambung menjadi satu.  Pendidikan, siret dan pasar yang bermanfaat, murah, mudah didapat, multiguna, dan efisien akan menjadikan bangsa ini siap bersaing di dunia global.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar